Tanya

Bergunakah?

18:05

Udah lama bikin blog. Tapi ada satu pertanyaan yang sangat mengganggu pikiranku. Meski udah dicoba buat nyari jawabannya, masih aja deh nggak nemu-nemu.

"Sejauh ini, apa blog yang kamu bikin itu berguna buat orang lain?"

Pertanyaan itu, temenku yang ngajuin. Sepele, tapi tetep aja nggak bisa jawab.

Hm, udah berguna nggak sih blogku ini.
Apa jangan-jangan, aku cuma bersenang-senang sendiri, - dengan menulis di blog.
dan akhirnya, semuanya cuma pecumtakgergun alias percuma dan tak berguna.
Wah-wah-wah....

Jepret

Koran Hari Ini

17:56

Ini kali kedua aku bikin postingan dalam bentuk foto. Nah, buat kali ini, aku mau mampangin gambar-gambar seputar para loper koran yang berebut koran Suara Merdeka.

Selasa (28/12) ini, memang nggak biasa. Sebab, ada pengumuman PNS 2010. Jadi, banyak orang yang mau menjual koran. Demi keuntungan, tentu.

Selain itu, proses pengiriman juga telat banget. Dari yang biasanya jam lima pagi udah nyampe, ini malah nyampe jam sembilan pagi. Molor banget kan.


BONGKAR MUAT
: Beberapa loper koran lagi mbantuin supir pengirim koran Suara Merdeka, bongkar muat koran, Selasa (28/12). Meski telat, nggak ada yang njelek-njelekin supir pengirim koran.



MENGHITUNG JATAH: Seorang pegawai Suara Merdeka perwakilan Purbalingga lagi menghitung jatah koran yang didapet. Setelah penghitungan selesai, koran baru dibagikan pada loper dan pedagang koran terbesar di Jateng itu.

[28/12/10]

Sobekan Kertas

Usaha Romantis

17:32

Ini sebuah petikan cerita dari SMS yang sempat mampir ke inbox hape punya seorang teman. Entah kenapa begitu menarik. Mungkin bukan lantaran faktor keromantisannya. Melainkan karena usaha romantis yang ternyata GAGAL!.
hahahaaaa

"Aku tuliskan sajak sederhana untuk dirimu,"

"Ya mana sajak sederhananya?"
"Mau tahu yah? Aku kira nggak mau,"
"Ya mau lah, sok pengen tahu,"
"Ah sungguh.
Aku tak mampu merangkai kata
tuk menggambarkan dirimu.
Apa memang nggak ada kata-kata indah yang tepat
buat menggambarkan dirimu?"
"Huem, aku kasihan sekali, masa nggak ada kata indah buat menggambarkan aku,"
"Saking indahnya koh,"
"Iya deh"
[28/12/10]

Tanya

Nggak Ada Pagar?

18:19

"Gimana kalau di dunia ini nggak ada pagar?"
Dari dulu, aku penasaran sama pertanyaan itu. Aku udah bisa nyari jawabannya sendiri. Tapi kok nggak nemu jawaban yang memuaskan.

Nah, kalau sekarang, aku juga nggak tau kenapa aku kembali teringat pertanyaan itu. Hm, gimana yah?

[20/12/10]

Sobekan Kertas

Lu Xun

17:19

"Ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan)," ujar dia, membuka pembicaraan.

Mendengar perkataan pria itu, dahiku mengeryit. Spontan. Aku memikirkan perkataannya yang sekonyong-konyong itu. Ah, tampaknya bukan memikirkan. Melainkan meragukan.

Semenjak aku kecil, banyak teman-teman seumuranku yang ingin jadi dokter. Tidak perduli dia kere atau kaya raya. Siapapun, berhak bercita-cita jadi dokter.

Alasan yang paling populer; mereka ingin menolong seseorang. Dan menolong selalu mengacu pada proses merubah merubah diri seseorang. Paling tidak, merubah dari sakit menjadi sehat.

Aku semakin meragukan, tatkala ingin masa aku kuliah. Saat berlabel mahasiswa, aku melihat banyak orang yang berbondong-bondong mendaftar untuk jadi mahasiswa kedokteran.

Modal yang digelontorkan pun tidak sekelas recehan. Akan tetapi ratusan juta. Rp 100 juta, Rp 160 juta, Rp 200 juta. Ah, kalau aku ingat, tiap tahun nominalnya semakin merangkak naik. Dan, aku tidak tahu, apakah itu bagian dari cita-cita mereka.

Tapi, ada semacam kesama-pandangan dengan dia yang sempat terselip di lekukan-lekukan otakku ini. Terlebih, saat aku ingat bagaimana pelayanan dokter yang asal-asalan pada orang yang sekarat. Saat aku ingat betapa mahalnya duit yang harus dibayar hanya untuk obat demam.

Ditengah kegalauan tanpa henti itu, aku mengajukan tanya. "Kenapa kau bisa berpikir demikian?" kata-kata itu meluncur begitu saja.

Dia tak tersenyum. Tatapannya masih saja tajam. Namun, dia tetap menjawab.

"Orang yang lemah dan terbelakang, sekalipun berbadan sehat-sehat, hanya menjadi saksi atas pemandangan yang sia-sia," tandas jebolan kampus Kedokteran itu.

Di dunia ini, tambah dia, banyak sekali pemandangan yang sangat sia-sia. Pemandangan yang hanya menampakan penindasan-penindasan yang kuat kepada yang lemah. Pemandangan yang menisbikan faktor kesehatan.

Sial. Sekali lagi, ada kesama-pandangan yang kembali terselip di otakku. Aku melihat apa yang dilihat pria yang membuang cita-citanya menjadi dokter cuma lantaran dia melihat adegan orang senegaranya yang diam melihat orang satu negarannya yang lain ditindas.

"Menurutku," katanya memecah keheninganku, "yang penting adalah mengubah (mental) mereka," ujar dia. Kata dia, yang dibutuhkan 'orang-orang sakit itu' adalah medical spiritual. Bukannya dokter.

Aku terperangah. Tak ada lagi kata perlawanan yang terucap. Mungkin jika aku berkaca, aku hanya akan menemui wajahku yang pucat pasi. "Lantas?" selidikku mencari pemecahan.

"Aku memilih sastra sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu," tandas Lu Xun, yang bernama asli Zhou Shuren.

[16/12/10]

Sobekan Kertas

Bahasa Nyastra?

17:01

Hari ini, ada yang nanya. Adik angkatanku di kampus itu, bertanya tentang cara menulis sastra. Dia hendak menulis karya ilmiahnya yang biasa kita kenal dengan kata 'skripsi'.

"Mas bantuin aku sih, bikin tulisan bergaya bahasa sastra tu kaya gimana?" begitu dia bertanya, lewat obrolan Facebook.

Baca pesannya, sekaligus awalan obrolan itu, aku bingung. Pertama, lantaran aku bukan seorang sastrawan. Kedua, aku sendiri masih belum tahu yang "bergaya bahasa sastra" itu semacam apa. Bahasa semacam apa.

"Gimana apanya?" akhirnya kata itu yang meluncur dari mulutku.

"Aduh mas, dibilang aku juga nggak mudeng. Keinginan mereka tuh memang begitu. Skripsi tuh jadi nggak kaku atau terlalu 'ilmiah'," jawab dia.

Temanku yang satu ini memang sudah pendadaran. Lulus memang. Tapi, satu-satunya pekerjaan rumah yang diberikan dosen pengujunya adalah mengubah bahasa yang dibangunnya dalam skripsinya itu. Sebuah PR yang mungkin lebih susah dibanding pendadaran itu sendiri.

Haduh, aku sebenarnya senang dengan niatan dosen itu. Mengubah skripsi yang singguh sialan itu menjadi sesuatu yang bisa dinikmati. Senikmat membaca novel Pramudya Ananta Toer, Dwe Lestari, atau malah Raditya "Si Kambing".

Tapi, aku malah jadi bingung, apa itu bahasa yang "nyastra". Apakah sesuatu yang lebay alias berlebihan khas lagu cinta di negeri ini. Atau cuma bahasa yang biasa saja, seperti bahasa yang aku dan kamu pakai.

Lalu, jika boleh aku bertanya, apa itu bahasa "nyastra"? Owalah dalah....

[15/12/2010]

Sobekan Kertas

Pesan Singkat yang Kamu Kirim

11:42

Mungkin cinta tak menuntut
Untuk dimiliki
Dan cinta tak selalu hadir
Tuk seseorang yang tepat
Cinta juga tak selalu adil saat berbagi
Tapi cintakan tetap indah
Meskipun pernah tersakiti
Itu isi pesan singkat yang kau kirim untukku, Jumat lalu. Jujur saja, pesan yang masuk sekitar pukul 21.00 itu sungguh mengagetkanku. Paling tidak, lantaran kamu memang tak pernah mengirim pesan macam itu.

Aku kaget. Aku juga bingung. "Kenapa kamu kirim pesan semacam itu?" tanyaku dalam hati.

Pikiranku jelas jadi tak menentu. Pikiranku semakin karut-marut karena aku belum bisa memahami, apa yang kamu bicarakan sebenarnya. Aku sudah membaca pesan itu berulang-ulang. Namun tak mampu pahami.

"Bicaralah segamblang-gamblangnya. Sejujur-jujurnya," Bukankan kata-kata itu selalu aku katakan padamu. Tapi kenapa kamu masih saja berbicara di balik simbol-simbol tak terpahamkan itu.

[12/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#22

17:16

Gitare endi yah? Aku kenchot koh yah.
Itu status di laman Facebook milikku hari ini. Kata-kata soal gitar dan kelaparan itu mungkin tidak ada hubungannya. Paling tidak buat sebagian orang.

Tapi, buatku jelas ada hubungannya. Mungkin juga buat sebagain temanku. Aku dan teman-temanku itu menganggap, bermain gitar adalah sebagian dari solusi untuk mengatasi kelaparan yang mendera.

Yah, mirip seorang pengamen saja. Hanya saja, kami bermain gitar bukan untuk dapat duit untuk makan. Genjrang-genjreng sana-sini. Kami bermain gitar dan bernyayi hanya untuk menahan lapar.

Kami selalu merasa, dengan bernyanyi sepuas hati, maka rasa lapar bisa sirna. Meski hanya untuk sementara waktu.

Hm, tapi memang tidak bisa kan? lapar jelas bukan soal persepsi atau data diatas kertas. lapar ya lapar. Obat lapar, ya makan kan.

Ah, sudah lah. Aku mau makan dulu.

Lapaaaaaaarrrr....

[10/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#21

18:39

Dilihat dari mana pun, aku jelas bukan Socrates. Seorang yang dilabeli filsuf lantaran hobi bertanya sana kemari. Terutama di pasar-pasar. Bertanya sampai puas. Sampai tak ada jawaban yang bisa diberikan.

Lantaran itu pula, tidak sedikit, pada zamannya, pria asal Yunani itu dianggap sebagai orang gila. Tak sedikit pula yang membencinya.

Bahkan, sebelum Socrates dihukum mati dengan meminum racun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Aristophanes mengimajinasikan Socrates lari tunggang langgang lantaran sekolahnya, Toko Pikiran, dibakar ramai-ramai oleh warga.

Aristhopanes, yang memusuhi guru filsafat kaum muda itu, melakonkan khayalannya dalam sebuah lakon yang dipentaskan di tahun 423 Sebelum Masehi. Sebagai seorang konservatif, ia tak percaya pada sikap skeptis yang diajarkan itu.

Ah, aku jelas bukan Socrates. Dilihat dari mana pun. Aku bukan penanya yang cerewet. Bukan pula orang yang bisa berpikir terlalu mendalam. Duduk bersila, lantas memegang dagu.

Hmh. Sudahlah. Nampaknya percuma mengulang-ulang penjelasan semua itu. Toh, aku memang bukan Socrates. Sekalipun, jika di dunia ini benar-benar ada yang namanya reinkarnasi.

Cuma, belakangan ini, aku merasa, sensasi bertanya. Aku merasa, dalam dialog-dialog kecilku, dari hari ke hari selalu menghasilkan semacam sensasi. Sebuah sensasi yang mengantarku pada dunia yang berbeda-beda.

Setiap harinya, ah bukan. Setiap detiknya, aku dipertemukan dengan orang yang berbeda satu sama lain. Berbincang dengan berbagai sudut pandang, isi otak dan tema yang berbeda-beda. Tak saling mengenal, namun, kemudian terikat dengan apa yang diperbincangkan.

Selepas aku bertanya, terkadang aku berpikir; seperti inikah seorang filsuf memainkan eksistensinya. Bertanya ke sana kemari. Dengan orang-orang yang mulanya tak dikenal. Seperti halnya Socrates, mungkin.

Bersamaan dengan itu pula, aku juga berpikir; apakah aku dicintai, dibenci, atau dianggap gila. Seperti halnya Filsuf-filsuf, dulu.

Tapi, aku jelas tidak bisa memberikan balasan atas perasaan yang diberikan oleh orang-orang yang telah aku temui. Telah aku ajak berbincang, walau hanya sebentar. Hidupku dituntut untuk menjadi asosial. Bukan antisosial.

Maka itu, terkadang, terbesit di otakku, aku tak ubahnya lalat-lalat di pasar. Layaknya digambarkan Zarathustra. Hidup di keramaian, namun sebenarnya tetap saja hidup sendiri. Teralienasi. Menjadi bagian, namun tetap saja bukan bagian.

Namun, aku jelas menikmati pekerjaan bertanya ini. Banyak cerita. Banyak kepuasan. Banyak sensasi. Mungkin ini yang menyebabkan Socrates rela menenggak racun.

Tunggu dulu, apakah aku terlalu tinggi membandingkan diri? Hmm.

[08/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#20

18:36

Untuk kesekian kalinya, aku membaca 'catatan pinggir' majalah Tempo. Tulisan yang dibuat secara berkala, mingguan, oleh Goenawan Muhammad itu selalu membikin bingung. Sekaligus penasaran. Entah hanya aku-kah yang merasakan demikian setiap membaca 'caping'.

Hari ini, aku membaca caping yang berjudul orakel. Sebuah sarana untuk menjembatani "jarak antara dewa-dewa dan manusia", yang sebenarnya nggak gampang buat dijembatani.

Tapi, sekali lagi, aku bingung. bukan bingun dengan alur ceritanya. Melainkan, bingung sebenarnya dia itu sedang bicara dengan siapa? Terkadang, aku memang tidak pernah mengerti, dia berbicara dengan siapa. Kalau seorang teman bilang, GM menggunakan bahasa "langit".

Lewat orakel, GM berbicara tentang dewa-dewa, soal monotheisme, politheisme dan juga pantheistik. Aku lantas berpikir, apa di Indonesia ini muncul tema-tema seputaran itu? Ah, apakah cerita kali ini ada hubungannya dengan keributan di Yogyakarta? Aku bingung.

Meski berulang kali bingung, aku selalu suka membaca caping. Salah satunya lantaran gaya bahasa dan diksi yang terpakai. Namun, setelah baca caping, selalu ada pertanyaan yang muncul. "Sebenarnya, apa yang kamu baca?"

Jujur saja aku ingin bertanya soal itu. Aku heran betul, kenapa dia punya banyak cerita, banyak sudut cerita yang bisa digunakan. Hingga rasanya dia melangkah seribu langkah lebih jauh dari pada aku.

"Katakanlah itu takhayul. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya." Yah, dengan kata-kata itulah orakel ditutup.

Mungkin tulisan itu buatku masih absurb. Mungkin lantaran dangkalnya otakku. Tapi mungkin benar juga, siapa tahu ada yang berharga di dalamnnya (di otakku).

[03/12/2010]

Sobekan Kertas

Ceramah

17:53

Dilihat dari manapun, ini jelas bukan kali pertama buatku. Rasanya, kalau tak salah mengingat, aku sudah merasai hal ini, sejak aku menapakan kaki di dunia yang sedang kugeliti. Jadi, jelas bukan hal yang asing buatku.

Tapi, entah kenapa, rasanya berbeda. Asing. Baru. Ah, mungkin karena aku sudah lama sudah tidak kena ceramah saat berkerja.

Huh. Aku memang tiak menyangka bisa kena ceramah. Saat itu, aku cuma berdua. Dan, saat itupun, tampaknya, pembicaraan kami itu sudah hampir berakhir. Tapi, entah malaikat mana yang membisiki dia untuk memberikan petuah.

Dia berbicara terus-menerus. Sementara aku, hanya memegangi lenganku yang berbalut jaket kain warna coklat. Aku hanya diam. Sesekali melempar senyum dan manggut-manggut.

"Jangan membuat fitnah. Jangan menyakiti orang lain," begitu katanya, tiba-tiba.

Ah, aku kaget betul saat itu. Bukan soal aku jarang mengikuti ceramah secara langsung, kecuali saat Sholat Jumat. Tapi lebih disebabkan, apa yang dia katakan itu.

"Kenapa anda bilang seperti itu?" tanyaku. Tapi, hanya dalam hati.

Aku menangkap kesan, aku ini selayaknya seorang penyebar fitnah yang tak bertanggung jawab betul. Pengumbar kesalahan orang yang hobi lempar batu sembunyi tangan. Pria yang datang mendekat hanya untuk mencari celah untuk menjatuhkan.

Sial betul aku ini. Mendapatkan label semacam itu. Apa aku serendah itu. Apa aku se-"bau kencur" itu. Betul-betul.

Kata-kata dan pertanyaan semacam itu justru yang berlalu lalang dipikaranku. Sampai-sampai, yang apa-apa yang dikatakannya tak masuk ke telingaku, yang sebelah manapun. Aku bukan sedang difensif dengan ilmu yang diberikan. Hanya saja, seburuk itukah profesiku. Hingga perlu senantiasa "ditatar".

Saat, aku melepas genggamanku, aku tersadar dia mengatakan sesuatu. "Ini kata-kata Nabi Muhamad, yang disampaikan melalui sunah dan hadist," tuturnya.

Sekali lagi, aku tak sedang menghiraukan semua petuah indahmu. Aku hanya sedang berpikir. Memikirkan, sebenarnya bagaimana pola pikir yang dia pakai. Atau mungkin yang mereka pakai.

[02/12/2010]

Sobekan Kertas

Eneng

18:29

Eneng. Begitu namanya. Aku tak terlalu yakin, lima huruf itu namanya. Aku tak yakin. Tapi, aku tak mampu berbuat banyak untuk lebih tau namanya yang sesungguhnya. Sebab, perempuan berambut panjang itupun hanya ingin dipanggil dengan nama itu. "Panggil saja, Eneng," ucap dia.

Penampilan Eneng, sangat menarik perhatian. Kaos berwarna merah jambu, melekat kuat di tubuhnya. Sementara itu, rok mini, sangat mini, melingkar dipanggulnya. Warnanya hitam dan berumbai-rumbai. Bagi mata seorang pria, jelas sangat menarik perhatian. Minimal, melirik.

Malam itu, perempuan berperawakan kecil itu memulai berbincang denganku. Namun, caranya agak aneh. Kami saling tanya, dengan menggunakan layanan "pesan" di hape. Bukan saling SMSan. Hanya saling meninjukan jawaban dan pertanyaan lewat monitor.

"Mirip kayak anak SMA yah," komentarku soal cara berkomunikasi aku dan Eneng.

Tapi, mungkin, cara itu memang yang paling pas buat kami berbincang. Tempat kami berbincang, memang sangat bising. Ruangannya juga gelap. Hanya sebersit sinar hijau menerangi. Asap rokok-pun, sangat peka terasa. Dan Eneng pun ternyata tak tahan dengan asap rokok.

"Mataku udah perih banget nih. Tolong ambilin tisu dong," pintanya. Aku mengambilkan tisu, beserta wadahnya yang putih warnanya.

Kami berbincang lagi. Ternyata Eneng, mahasiswa D3 di Unsoed Purwokerto. Masuk 2007, dan baru lulus tahun ini. Dia dari daerah Pengandaran, Ciamis.

"Pantai yah," kataku spontan. Aku sendiri bingung, kenapa kata itu malah yang keluar. Seakan yang ada di otak hanya kata: pantai. Tapi, mau bagaimana lagi, memang begitu adanya.

Tapi, berkat ketololanku berkomentar itu, pikiranku malah jadi bertanya-tanya. Benarkah dia semuda itu. Kok rasanya dia terlampau tua untuk umur segitu. Atau tren yang ada memang begitu adanya. Umur muda, muka "boros".

Itu baru satu pertanyaan yang urung kutanyakan. Sebenarnya, aku ingin tanya; apakah kamu itu yang disebut ayam kampus? Kalau iya, sudah berapa lama? Ah, tapi tak pantas. Rasanya begitu.

Dua jam, hampir. Musik terus bertalu-talu. Entah apa saja yang udah masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Atau juga sebaliknya. Entah.

Yang terang, Eneng yang masih cari pekerjaan, tak jua mengeluarkan suaranya yang seirama dengan alunan musik. Mungkin hanya beberapa bait. Mungkin hanya beberapa kata. Eneng mengaku tak bisa menyanyi. "aku suka lagi ya sudah lah," tutur dia.

Dua jam, kali ini, sudah berlalu. Eneng dan temannya pergi dengan kedua temanku. Entah kemana. Mereka pergi dengan mobil. "Mereka mau....," ucap temanku yang lain.

[01/12/2010]

Jepret

Berburu Di Bendungan Gerak Serayu (BGS)

13:53

PAKAI TOMBAK: Berbeda dengan cara memulung kebanyakan, pemulung di Bendung Gerak Serayu menggunakan tombak bambu untuk mengambil "harta karun" buruannya, yaitu kayu.
MEMANGGUL: Seorang warga Desa Kebasen Kabupaten Banyumas sedang memanggul kayu yang diambilnya dari Bendung Gerak Serayu.

DIKERINGKAN: Kayu yang telah diambil dari Kali Serayu Banyumas, akan dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar dan dijual Rp 20.000,- perikatnya.

[Gambar kali ini coba menunjukkan kegiatan para pemulung kayu bakar di Kali Serayu Kabupaten Banyumas, lebih tepatnya lagi di Bendung Gerak Serayu. Selain tempatnya yang nggak lazim, barang buruan dan cara yang digunakan pun berbeda dengan pemulung yang lainnya.

Pemulung jenis yang satu ini, buruan utamanya adalah kayu-kayu yang hanyut aliran sungai. Nantinya, kayu tersebut, akan dikeringkan untuk membuat kayu bakar dan dijual ke warga sekitar.

Selain itu, cara yang digunakan mereka pun terbilang unik. Mereka menggunakan tombak untuk mengambil kayu-kayu tersebut. Dan juga menggunakan tali untuk menjerat kayu, layaknya koboi dari negeri Paman Sam.]

Coret Moret

Sajak Tatapan

13:27

Lebih baik aku jauhi saja tatapanmu.

Biar kebimbangan ini sirna.

Sebab, tampaknya, inspirasi tak kunjung kudapat.

Sesuatu yang dari dulu selalu kurengkuh dari tatapanmu

Kamu yang mulai enggan.

Atau aku yang mulai bosan.

Aku lelah dalam keterpasungan.

Aku lelah membohongi diri.

Tapi, aku rasa, tatapanmu tak lagi bisa menggambarkan.

Mencipta berbagai cerita penuh nyata.

[21/11/2010]

Sobekan Kertas

Blog!

20:07

Belakangan, aku malah kepikiran soal nama blog bikinanku ini. Pas aku ngasih nama "Rumah Imajinasi", semangat yang coba aku tularkan bukan main.

Aku pengin semua memainkan imajinasi yang ada di otaknya. Buat aku pribadi, aku jadi semakin semangat buat nulis. Buat menghasilkan cerita-cerita yang nggak kalah menariknya sama cerita di film-film bikinan temen-temenku.

Yah, paling nggak, aku bisa mempraktekan rumusan sederhana yang ditularkan guruku semasa SMA dulu. Tulis apa yang kamu pikirkan, bukan pikirkan yang mau kamu tulis. Kira-kira begitu bunyi pesan guru Bahasa Indonesia-ku, dulu.

Tapi, sekali lagi, ternyata menjadi sosok-sosok yang bisa nyiptakan imajinasi dalam bentuk cerita nggak gampang. Terutama, buat aku sendiri, lantaran terlalu banyak yang dipikirin.

Bagus-jelek. Pas-mengganjal. Wagu-asyik. Dan berbagai pertentangan mendasar lainnya. Mulanya, aku menafikan pertentangan semacam itu. Tapi nyatanya, aku cuma menunda kemeranaanku sendiri. Ah, sial betul aku ini, musti terjebak dalam pertentangan itu.

Lantaran keterjebakanku itu, berbagai imajinasi yang harusnya dengan gampang tercipta pun sirna sudah. Ini kesialan yang sungguh pantas diratapi.

Maka itu, aku sempet terpikir, apa aku harus mengubah nama blogku ini. Biar terasa lebih realistis. Biar lebih terasa mudah digapai.

[17/10/2010]

Catatan Kecil Hari Ini #19

19:56

And please, let me be free

I can face the truth.

Entah kenapa penggalan kata itu begitu menggodaku. Sungguh ingin mendengar kata-kata itu diulang-ulang di telinga ini. Sudah hampir sebulan, sejak lagu "pretend" milik Secondhand Serenade itu diunduh, lagu itu diputar diulang-ulang. Lagi, lagi dan lagi. Rasanya enggan bosan.

Aku mencoba mencari jawaban akan ketertarikanku itu. Bukankah, kata orang, selalu ada alasan atas sebuah rasa ketertarikan. Meskipun itu sekedar "pingin ajah".

Dan, senyatanya, itu bukan hanya soal "pingin ajah". Bukan semata lantaran easy listening. Atau malah gara-gara lirik-lirik itu mengandung nilai-nilai keromantisan. Bukan itu.

Setelah berpikir sekian lama, terang sudah. Aku agaknya bisa sedikit menyimpulkan kenapa begitu doyan dengan lirik itu. Tanpa tersadari, aku hanya ingin bebas!

Namun, bukan bebas yang sekonyong-konyong. Hanya bebas menghadapi kebenaran itu sendiri. Hanya ingin bisa menghadapi kebenaran.

Orang gagal. Kuliah yang tak kunjung kelar. Dan keterbatasan. Kebenaran-kebenaran yang selalu dipungkiri. Hanya untuk mendapatkan sebuah kepercayaan diri.

Haduh, bahasaku kembali tidak bisa terpahami. Rasanya, sulit benar berbincang dengan bahasa dan tema yang ringan. Huh!

Hal itulah yang merupakan kebenaran bagiku. Berbicara ngelantur. Walah.

[12/11/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#17

14:27

Jibril mendatangku. Mulanya aku tak menyadari kedatangannya. Mungkin karena kebodohanku. Mungkin juga lantanan aku, belakangan, asyik berskeptis ria. Tapi, aku cenderung meyakini alasan soal skeptis itu.

Aku tidak yakin itu jibril. Sebab, bagaimana mungkin jibril akan mengenali aku. Dengan rasa yang benar-benar dekat. Seakan aku dan dia sudah karib betul. Dia datang sekoyong-konyong, lantas menyapa dalam bahasa jawa banyumasan. Ah, pastinya bukan hanya aku yang bakal meragukan jibril itu.

Tapi keraguan itu juga semakin diragukan. Terutama saat aku tahu sosok jibril itu tidak bisa tersentuh. Maya. Hanya kata-katanya saja yang terbaca indera manusiawiku ini. Lagi pula, dalam-kata-kata yang singkat itu, ada semacam wahyu.

Memang tidak mirip dengan rangkaian kata selayaknya kitab suci, tapi aku pikir kata-kata jibril itu sejenis wahyu. Memang tidak dalam bentuk pernyataan indah layaknya sajak bikinan Tuhan, melainkan pertanyaan yang singkat dan sama sekali tak indah. Tapi aku pikir itu wahyu.

Di tengah kegalauan akan keyakinan eksistensi jibril itu, aku mendengarnya berujar padaku. Jibril bertanya soal kesibukanku. Soal hal-hal yang aku lihat, belakangan ini.

Namun, belum sempat aku menjawab. JIbril benar-benar lenyap. Bukan hanya dalam arti maya. Tapi juga dalam artian yang sesungguhnya. Dia tidak ada sekelilingku lagi. Buktinya, aku tidak mendengar suaranya dengan gamblang lagi. Sesaat itu, aku sedikit menghardik. "Ah, sial!"

Kesialan semakin merajai, saat aku pulang keperaduan. Jalan panjang Purbalingga-Bobotsari tak teraliri listrik. Hanya lampu berwarna kekuningan yang menyala di sepanjang jalan. Sewaktu aku di atas motor, aku berpikir, jangan-jangan, semua ini azab untuk diriku. Atas sikap skepitisku yang berlebihan atas eksistensi Jibril.

Temaran lilin menyambut saat aku sampai rumah. Kini, giliran sosok selain jibril yang berbicang denganku. Dia bukan malaikat. Kalau yang satu ini, aku tanpa meragu. Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang seniman. Cuma, aku tidak tahu dia pandai dalam hal apa. Puisi, cerpen, novel atau apa. Entahlah.

Ah, aku juga lupa namanya. Tapi biarlah. Bukankah selalu ada kata-kata ajaib kalau kita lupa dengan nama. Apalah arti sebuah nama. Kira-kira begitu ungkapannya.

Yang terang, lelaki itu berbicara soal imajinasi dan fakta. Katanya, faktapun bisa jadi fiksi.Dan ujung-ujungnya, hanya fakta-fakta yang pedih, ngilu, atau menyenangkan itu akan dipermainkan dengan indah oleh imajinasi. Tiap cerita nyata, memiliki akhir cerita berbeda satu sama lain. Tergantung imaji yang tiap-tiap orang mainkan.

Cerita tentang merapi misalnya. Jika kita doyan dengan cerita-cerita yang menguras air mata, maka kita akan menunggu-nunggu akhir cerita gunung di wilayah Jogja itu. Semenderita apa warga di sana? Penyakit macam apa yang akan menyerang warga papa itu.

Jika kita doyan dengan cerita-cerita tentang alam yang membikin deg-degan, maka kita akan menanti, apakah ada gunung lain yang turut bersolidaritas dengan merapi. Dan akhirnya turut meluapkan isi bumi itu. Kita pun lantas dag-dig-dug.

Atau kita hobi mendengar cerita aksi heroik khas pahlawan kesiangan. Maka bersamaan dengan cerita merapi, mentawai dan wasior, cerita tentang politik konspirasi pun mencuat. Teknologi pemusnah massal bikinan amerika pun bisa saja muncul.

Aku mengakhiri perbincangan dengan seniman ternama itu. Sebab, aku tahu, seniman itu punya pikiran yang liar. Dan aku sedang takut. "Keterjebakan atau malah kenikmatan tersendiri," begitu kata ku pada seorang teman. Pun begitu dengan pembicaraan dengan seniman yang satu itu.

Dan senyatanya, aku malah jadi kembali memainkan imajinasiku. Imaji tentang Jibril dan seminan laki-laki itu. Memikirkan bagaimana akhir ceritanya, jika aku begini, jika aku begitu. Dan, sekali lagi, aku menghardik. "Ah sial!"

[30/10/2010]

Coret Moret

Sajak De-fi-ni-si

14:25

Arti…

Makna…

Maksud…

Penjelasan…

Pengertian…

Tidak jelas…

Bingung…

Paham…

Bertanya…

Dia…

Senang…

Bersedih…

Cantik…

Biru…

Imoet…

Wagu…

Diam…

Cerdas…

Menyenangkan…

Menyakitkan…

Dirindukan…

Dicintai…

Dibenci…

Diasingkan…

Menungggu…

Ditunggu…

Terserah kita untuk berkata-kata, semua akhirnya akan sama saja

Apa mau "Dunia dalam de-fi-ni-si" atau "de-fi-ni-si dalam Dunia"

Karena memang begitulah ia, de-fi-ni-si!!

[26/03/2007]

*sajak pendek yang aku temukan di situs friendster yang usang

Catatan Kecil Hari ini

#16

14:23

Aku ingin membuat catatan kecil hari ini. Tapi, karena kebodohanku sendiri, tak ada ide yang kunjung datang. Jadi aku sudahi saja. Bukan apa-apa. Hanya tak ingin melantur.

[25/10/2010]

Coret Moret

Sajak Sungguh

14:22

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

Aku tidak terlalu merisaukan besaran yang diberi.

Pun begitu dengan pamrih lain yang menanti.

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

Meski aku tahu, semakin menapak, malah banyak duri.

Duri yang terus mencaci, memaki.

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

Tapi semakin melaju, semakin tampak bodoh diri ini.

Memang bodoh, tak tanggap, atau tak tahu diri?

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

Ini bukan soal materi ataupun pujian yang melangit tinggi.

Aku hanya mencintai.

Mencintai dunia ini.

Dunia yang baru seumur jagung aku tapaki.

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

[20/10/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#15

08:12

Suara khas Duta, vokalis Sheila On 7 melengking tinggi. Sedari tadi, dari aku datang hingga duduk lebih dari sepuluh menit, dia terus bercerita. Banyak hal yang dikatakan. Tapi, tampaknya, dia nggak ngerasa bosan.

Dan semoga, bukan kebosanan yang menjadikan dia dan teman-temannya memiliki alasan untuk berhenti berbincang denganku. Terlebih, lantaran aku dari tadi mengacuhkan semua hal yang coba dia katakan padaku. Aku lebih memilih asyik sendiri dengan duniaku,- yang sempit ini.

Tapi, jujur saja, meski nggak berniat mendengar, dan nggak berniat mencuri dengar. Tapi toh, aku mendengarkan banyak hal yang di katakan. Tema-tema yang mungkin bisa menggelitik sejak dia ngecebres. Bahan-bahan pembicaraan yang pada akhirnya menuntunku pada jalan-jalan yang sudah cukup lama terlupakan. Hal-hal yang pada akhirnya justru menjebloskan diriku dalam romantisme masa lalu.

Duta yang lahir di Kentucky, AS, 30 April 1980 itu memang berbicara banyak hal. Hingga, aku lupa secara lengkap, apa saja yang dia katakan padaku. Kali ini, aku hanya mampu menangkap inti pembicaraan saja. Ah, itu kebodohanku malam ini.

Tapi, walau sepenggal-penggal, aku masih bisa membiarkan pikiranku merajalela menulusuri jalan kenangan secara liar. Aku teringat teman-teman sepermainanku, tentang kesepiannya teman-temanku yang berjenis kelamin laki-laki, soal perselingkuhan, dan tentang berbagai hal yang lainnya. Ingatan kecil itu aku dapatkan saat pria yang bernama lengkap Akhdiyat Duta Modjo mulia berbincang padaku.

Hm, suami Adelia Lontoh itu memang punya suara khas. Itu memang benar. Tapi, pada akhirnya, aku semakin menginsafi, terkadang syair-syair lagu memang mampu menggambarkan hidup seseorang. Itu yang ada dipikiranku.

"Aku banget nih." Lazimnya kan memang begitu yang dipikirkan ada lagu yang sejurus dengan nasibnya. Maka itu, dari dulu, aku cuma berpikir kalau sebenarnya, semua orang hanya mempas-paskan saja, dengan lagu dengan nasibnya. Yang lagi senang, ya lagu yang senang yang bakal didengar. Kalau sedih, ya di playlist isinya cuma lagu sedih saja.

Ah, celoteh penyanyi yang jadi juri Icil itu nggak kunjung reda. Malah semakin menggila. Ada yang semakin romantis, Ada juga yang semakin picisan. Tapi, telinga sudah nggak mau mendengar lagi. Bukan apa-apa. Aku juga ingin bercerita. Jadi, jika aku hanya mampu mendengar cerita Duta saja, lalu kapan ceritaku bakal didengar.

[09/10/2010]

Coret Moret

Sajak Ingin

07:51

Aku ingin memujamu

Selayaknya rasa pria lain padamu.

Tapi, aku tahu

Diriku takkan mampu.

Kau pasti tahu

Aku tak pandai merayu

Apalagi mencumbu.

Tapi, aku hendak memujamu.

Walau caranya, aku tak tahu.

Aku hanya ingin memujamu.

Aku ingin memujamu

Selayaknya rasa pria lain padamu.

Namun, dengan rasa yang tidak palsu.

Terlebih, dengan makna tak menentu.

[05/10/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#14

08:04

Sudah beberapa kali aku lalui jalan itu. Bosan? Tidak juga. Untuk kali ini, menapaki jalan bukan lagi sebuah kebosanan yang berulang-ulang. Tapi aku malah menikmatinya. Dalam setiap tengokan yang aku lakukan, selalu ada hal yang menarik perhatian. Jalan tembus Banyumas-Patikraja masih menyimpan begitu banyak rahasia.

Pun begitu dengan hari ini. Aku lalui jalan yang lebarnya mungkin tak lebih dari enam meter. Yang ada di benak, adalah begitu ramainya jalan ini. Mulai dari motor hingga truk pun betah melewatinya. Tidak siang, tidak juga malam. Ramai. Mungkin bukan saja lantaran jarak yang bisa terpotong, tapi juga karen akemulusan jalan itu.

Kali ini, bukan kantor desa yang begitu menawan di pandangan mataku. Kali ini, aku tidak berkenan menjamah ruang kerja pemimpin desa itu. Yang menjadi primadona siang itu hanyalah ruangan yang luasnya tak lebih dari 5 m2. Warung mie ayam.

Hari memang sudah terlampau siang. Perutku juga sudah keroncongan. Padahal, tadi pagi sudah makan mie goreng. Ah, tapi memang sangat lapar. Terlebih, matahari sangat terik. Membuat tenaga yang sudah di-charge mie goreng pun cepat terserap.

Tapi, seperti hanya dengan kantor desa yang selalu aku perhatikan sembari mengendalikan motor. Warung mie ayam itu pun sama menariknya buatku. Bukan hanya lantaran nafsu yang segera dipenuhi. Tapi, hanya ingin mencoba merasakan racikan mie, minyak goreng dan cesim.

Mie ayam itu berada di Desa Wlahar Wetan Kecamatan Kaliori Banyumas.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju warung kecil itu. Motor terparkir, helm pun tergeletak di bangku. "Mie ayame setunggal pak," kataku.

Selang beberapa lama, aku kagetnya bukan kepalang. "Walah, ternyata masih ada mie ayang sebanyak ini. Melebihi mangkuk yang mewadahi," pikirku.

Mangkuk memang ukuran standar, tapi isinya, jelas melebihi porsi yang selama ini ada di Purwokerto. Apalagi dengan duit pas-pasan. Kan bisa repot kalau ternyata tidak bisa bawa uang cukup. Mana di desa yang jauh dari tempat tinggal.

"Rp 4000," jawab si penjual saat aku tanya harga satu porsi mie ayam plus es teh. Sembari menyembunyikan muka kaget, aku membayar dengan uang Rp 5000. Lantas memacu motorku lagi.

Sepanjang jalan, aku terus berpikir; apa bapak penjual mie ayam itu tidak rugi? Sedangkan aku tahu, kalau di Purwokerto atau kota besar lainnya harga satu prosi mie ayam tidak akan meneytuh angka Rp 4000. Semua harganya jelas di atasnya.

Selain soal harga, aku juga berpikir soal perbedaan kota dan desa. Tentang cara berpikir. Tentang toleransi. Tentang orientasi. Tentang relasi. Tentang penghargaan. Tentang pembangunan. Dan tentang, tentang yang lain, yang mungkin sudah tidak nyambung lagi dengan mie ayam yang lumayan enak itu.

Ternyata memang banyak perbedaan antara desa dan kota. Tidak perlu membanding kan dengan kota-kota metropolitan yang ada di Indonesia. Cukup melihat dalam Kabupaten Banyumas saja. Aku kira itu cukup.

Tapi yang jadi persoalan adalah satuhal, paling tidak saat aku menuliskan ini; pantaskan perbedaan itu dicari-cari. "Perbedaan itu untuk saling mewarnai" begitu orang bijak dikutip. Seperti halnya Bhineka Tunggal Ika.

[4/10/2010]

Jepret

Pembuatan Saluran Irigasi Desa Wlahar Kulon

17:45

PASANG PARALON: Warga Desa Wlahar Kulon Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas, baru-baru ini, lagi kerja bakti buat membangun saluran irigasi.

JADI TONTONAN: Sejumlah pelajar sedang asyik melihat warga yang sedang mengebor saluran air di bawah jalan desa.
BERMODAL BAMBU: Bermodal bambu, tali dan palu, warga membuat saluran air di bawah jalan desa. Sudah dua hari proses pengeboran manual tersebut dilakukan.

[Ceritanya, lagi bikin cerita tapi lewat foto asal jepret. Buat aku sendiri, ternyata menarik berbicara lewat lensa.]

Coret Moret

Sajak Mendung

17:24

Mendung menggelayut lagi.

Mencaci, tepatkah sebagai solusi.

Aku mengerti rasa petani

Yang ingin sawahnya dibanjiri.

Aku pun tau rasa pengrajin bata.

Yang berkehendak batanya bisa kering.

Ingin mencaci, tapi tak terpuji.

Ingin memuji, namun tak pahami.

Hujan tampaknya turun lagi.

Aku, hanya merenungi.

[3/10/2010]

Coret Moret

Sajak Pikiran

08:07

Aku terlalu banyak pikiran.

Mungkin lantaran punya banyak angan.

Kini, aku kebingungan.

Tanggungan ini-itu belum terselesaikan.

[2/10/2010]

Coret Moret

Sajak Lagu

08:06

Ibu,

Aku mendengar lagu-lagu pujaanmu.

Taukah apa yang terpikirkan?

Aku ingat saat masa SMA dulu.

Saat kau dengan rajin memutar cd lagu di kala pagi.

Saat kau dengan rajin membangunkan anak-anakmu.

Dan taukah ibu,

Meski terkadang bosan, harus aku akui, aku menikmatinya.

Ibu,

Aku mendengar lagu-lagu pujaanmu.

Aku merindukan pagi yang dulu begitu indah.

Aku dan semua anakmu.

[23/09/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#13

18:10

"Sayang... Luv u..."

Pernah liat, status atau dinding FB orang bertuliskan kayak gitu? Kalau aku sih sering banget. Yah, maklum aja, kerjaan sampinganku ya buka FB tiap hari. Plus ngeliat dinding orang. Hehehehee...

Dari dulu, aku emang muak betul dengan kata-kata sejenis itu. Kalau dulu, alasan yang aku punya mungkin hanya sekedar "tidak tepat". Yang terpikirkan, ya cuma kok rasanya nggak tepat pamer cinta-cintaan di status. Pamer benar. "Kaya iya-iyaha gole pacaran," itu yang aku pikirkan.

Tapi, setelah aku pikir baik-baik, kekurangtepatan temen-temenku yang lagi asyik bercinta itu, bukan sekadar pamer. Melainkan lebih berbahaya dari pada itu. Mereka yang asyik bercinta di FB itu nggak cuma lagi dimabok cinta, tapi juga pemahaman.

Pemahaman soal apa? Ya Pemahaman soal Facebook!

Begini, dari hasil pembelajaranku secara ilmiah, sebenernya, situs jejaring sosial bikinan mahasiswa Havard ini adalah Ruang Publik. BUkan Ruang Privat.

Nah, sebagai ruang publik, otomatis setiap orang bisa dengan leluasa ngeliat apa yang terjadi dengan status dan dinding kita. Sehingga sangat mustahil kalau orang lain nggak ngeliat kita sedang bercinta.

Di situlah mabok pemahaman terjadi. Kita nggak bisa membedakan mana ruang publik dan mana ruang privat lagi. Kalau kita emang sadar, ya kita bakal bercinta via pesan kan.

Tapi, sejatinya, mebok pemahaman itu nggak cuma terjadi sama orang yang hobi bercinta di FB. Tapi juga hampir semua orang yang punya akun FB. Curhat yang berlebihan tnpa tedeng aling-aling bisa jadi buktinya. Menariknya, curhatan itu nggak cuma dilakuin sama kaum hawa aja, tapi juga kaum pria.

Itu dulu. Aku lagi tidak mau membikin catatan yang terlampau panjang. Yang penting bisa jadi pengantar.

[17/09/2010]

Coret Moret

Sajak Dulurku

18:03

Dulurku Lanang Bangkit

Kit…….

Wulan iki limang tahun kepungkur

Sliramu lair.

Ngancani aku ngrewangi bapak ibu.

Najan kadang mung dadine tukaran.

Aja salah tampa

Kabeh mau merga kowe adiku lan aku tresna

Ewa semana aku uga njaluk pangapura.

Dulurku lanang bangkit

Ayo wiwit dina iki pada ngatokna bektine marang wong tua

Kanti manut miturut lanm sregep sinau.

Kejaba saka kuwe.

Kowe aja nakal,

Aja dumeh lanang dewek.

Lan kuwe uga aja wedi merga ara nana kanca lanang

Mbok isih ana bapak.

Kit….

Aku lan adimu apit ora bisa paring hadiah.

Kejaba rasa syukur, muga muga Gusti Allah paring umur panjang

lan kepinteran.

Mung gegurit iki minangka rasa bungah syukurku.

Uga tak hadiahi Al Fatihah iki….

Slamet ya kit

Slamet……


[Sajak ini bikinan bapakku pas aku masih umur lima tahun. Kakak perempuanku yang baca puisi ini sewaktu ulang tahunku. Judul aslinya nggak ada, jadi aku bikin judul sendiri.]

Coret Moret

Sajak Rumah

19:39

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana ibu tertawa.
Menertawai tingkah polah adikku,
yang ternyata terus tumbuh dewasa.

Aku rindu rumah.
Saat ingat bagaimana ibu tertidur.
Tidur seraya terus menjaga matanya,
untuk menjaga seisi rumah.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana aku terjatuh dari motor.
Terjatuh dengan ci intan yang bergaya mengendarainya,
padahal waktu itu kami disuruh tidur.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana mata ini berinai air.
Menangis lantaran aku, ci intan, dan adik-adikku bertengkar,
untuk hal-hal yang sepele.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana seisi rumah tertawa.
Menertawai setiap polah anggota keluarga,
yang nggak terpikirkan.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana adik-adikku pagi kemarin.
Bangun tidur kesiangan, bergegas mandi, menyiapkan sarapan,
padahal detik jam terus menuju angka tujuh.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana aku bangun tengah malam.
Bangun lantaran aku terjatuh dari kasur,
malam itu aku bermimpi terjun payung.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat wajah-wajah kalian,
Ibu, papah, ci intan, mas didi, bisma, tanjung, satrio, dan tata.
Aku rindu rumah.

[24/07/10]

Catatan Kecil Hari ini

#11

18:55

Tanpa bir dan kondom, layani sepuasnya.

Satu baris kata itu ternyata berhasil memberikan satu pelajaran buatku. Padahal, awalnya, aku enggan melihat kata-kata itu. Bukan kata-kata itu terkesan nakal, tapi lebih lantaran proses kemunculan kata-kata itu.

Kata-kata nyentil itu yang jelas bukan rangkaian kata-kata jorok. Tapi, kalo provokatif sih iya. Hm, kata itu yang jadi spanduk Koperasi Kampus Unsoed (Kopkun). Serangkaian kata buat promosi swalayan.

Nah, lalu mana yang jadi pelajarannya. Pelajaran yang aku dapet bukan dipermainan kata itu, tentu. Melainkan, pada proses pemasangan spanduk itu.

Ya, kemaren, hari jumat malem, aku yang dapet jatah masang spanduk. Lebih sih tepatnya, aku yang nemenin temenku, ijonk, buat masang spanduk di jalanan sekitar kampus Unsoed.

Mulanya, sambil naik motor, kamu menilik titik-titik mana yang perlu dipasang spanduk. Jatah spanduk yang musti dipasang ada dua buah.

Kami, berkeliling buat melihat view yang bagus. Melihat spanduk-spanduk yang malang melintang dijalanan. Mengamati sisi kanan dan kiri jalan. Memandang pohon dan tiang listrik ataupun telpon.

Pengamatan ini menjadi penting adanya. Benar-benar sangat krusial. Salah posisi atau salah cara masang, bisa berabe jadinya. Bukan soal ongkos pemasangan yang bisa dipotong, tapi soal minimnya pelangggan yang membeli barang di Kopkun Swalayan. Maklum, ini kan tahun ajaran baru.

Malam semakin larut. Berbekal tangga lipat aluminium dan spanduk, aksi kami mulai. Aku memasang tangga di tiang listrik. Nah, si Ijonk pasang gaya buat masang tali di tiang. Dengan lincahnya dia menjeratkan tai dari tiang yang satu ke tiang yang lain. Aku cuma berjaga sambil memegangi tangga.

Aksi kami selesai pukul 1-an. Berbarengan dengan kabut yang menyelimuti Purwokerto.

Sebenernya, aku udah dikasih tau soal prinsip periklanan macam itu di ruang kuliah. Ironisnya hanya secuil doank.

Tapi, karena itulah aku jadi malu sendiri. Bagaimana bisa ilmu periklanan yang aku cari di ruang kuliah nggak bisa menjawab banyak soal teknis beriklan lewat spanduk. Hm, aku jadi malu sama orang-orang yang nggak perlu kuliah di Ilmu Komunikasi tapi paham seluk beluk pemasangan iklan. Bahkan kualitas hasil pemasangan iklan mereka jauh lebih efektif dan efisien.

Ya, di titik itulah aku mulai dapat pelajaran baru. Dan seperti kata seorang teman, saat ada pengetahuan baru, berarti ada gugatan yang bisa kita sampaikan. Minim-minimnya tanda tanya.

Nah, aku sekarang lagi menaruh curiga nih. Jangan-jangan, ilmu yang aku dapetin dari bangku kuliah, juga nggak ada gunannya di dunia kerja. Ah, jangan-jangan....

17-07-2010

Meniti Jalanan

Manusia Perkasa Itu Ada di Pejawaran

18:41

Ini jelas bukan kali pertama aku main ke sana. Kelokan, tanjakan dan turunan tajam serta hawa dinginnya, jelas sudah aku akrabi. Meski hanya sebatas yang aku bisa.

Oh iya, Pejawaran itu merupakan salah satu kecamatan di wilayah Banjarnegara. Tempatnya jauh dari pusat kota. Kurang lebih satu jam perjalanan. Itupun setelah menempuh jalanan yang terjal nan berkelok. Lebih dekat dengan dataran tinggi Dieng.

Tapi, untuk kesekian kali itupula, aku selalu dapet hal-hal yang menarik di sana. Seharian di sana, sudah banyak cerita yang diceritain sama desa itu. Sebuah kehidupan yang mungkin udah tergerus.

Di kecamatan dengan 17 desa itu, melihat fenomena; manusia perkasa. Yah, manusia yang punya kekuatan. Menariknya, nggak cuma laki-laki, namun juga perempuan.

Orang-orang desa itu emang nggak bergaya layaknya Samson atau Xena. Cara mereka menunjukan kekuatannya pun berbeda dengan cara superhero khas barat; menolong orang-orang yang diserang monster. Dan baju khas superhero pula.

Mereka itu sangat ala kadarnya. Bercelana dan kaos lengan panjang. Mengenakan penutup kepala. Sepatu boot pun nggak ketinggalan.

Manusia-manusia perkasa itu tampak di jalanan. Pagi tampak. Siang memunculkan batang hidungnya. Sore pun ada di depan mata.

Namun, hanya di siang hari, mereka mau unjuk kekuatan. Mereka emang bukan orang yang suka pamer. Aku musti mengakui itu.

Orang-orang pegunungan itu cuma menggendong seikat kayu bakar dalam jumlah banyak di punggung. Dengan bantuan kain jarit. Kalau nggak, ya menyunggu di kepala atau memikul tumpukan rumput buat ternaknya.

Ah, itu sih enteng. Mungkin itu ada yang dibenak. Aku pun begitu, awalnya. Namun, pas diliat baik-baik. Ternyata emang nggak gampang. Coba aja bayangkan, dengan beban sebanyak itu, jarak yang panjang, dari ladang hingga ke rumah. Menanjak pula.

Yang lebih mengagetkan, ternyata, diantara laki-laki dan perempuan dewasa itu, ada anak-anak pula. Di jam sekolah mereka malah unjuk kekuatan seperti halnya orang tua mereka. Aku nggak tau mau menyebut ini apa; miris atau dilematis.

Coret Moret

Sajak Jalanan

20:47

Jalanan di mukaku itu, masih saja ramai.
Semua bersliweran begitu saja.
Ke depan, ke kanan, ke kiri, ke belakang.

Sedari pagi, masih saja begitu.
Saat malam menjelang, pun masih begitu.
Yang beda cuma cahaya ang dipancarkan saja.

Aku masih ingat, waktu kecil, aku dibikin kagum dengan cahaya kota Jakarta
Jakarta melong-melong, kataku.
Berbinar dan penuh cahaya.

Tapi, kini nggak lagi.
Cahaya di jalanan ini, nggak semempesona dulu.
Kini hanya menyakiti mataku.

Kendaraan-kendaraan itu, lewat terlampau cepat.
Nggak memberi kesempatan mataku untuk melihat lekat dirinya.
Aku pusing.

Itu, belum diitung dengan bunyi knalpot.
Selalu ada saja knalpot yang nggak ramah dengan pendengaranku.
Gara-gara itu, sesekali, aku memaki.

Kini, aku sedang menanti malam menjamah pukul 11 malam.
Saat itu, pertigaan di depan mataku ini, lengang.
Nggak ada lagi cahaya dan knalpot bising.

Di saat itulah, aku akan berjalan melenggang di tengah jalan.
Tanpa takut tertabrak dan dimaki.
Ya, aku-lah si raja jalanan.

[08/07/10]

Meniti Jalanan

Gurameh Bakar dan Hujan Deras

20:06

Waktu udah cukup sore. Sekitar pukul empat sore. Meski matahari masih tampak di sela-sela mendung, tapi jelas, ini sore yang indah.

Purwokerto tanpa ujan di sore hari. Oh betapa nikmatnya. Oh begitu indahnya. Begitu aku bersenandung dalam hati.

Seluruh keindahan dan kenimatan senja itu musnah waktu cacing di perutku keroncongan. Nila setitik rusak susu sebelangga.

Rasanya malu mengakui, aku belum sarapan hari ini. Uh, lapar.

Tapi, namanya juga lagi beruntung, jadi baru aja intro lagu kroncongan itu didengungkan, aku udah dapat tawaran makan gratis. Traktiran ulang tahun. Ijonk yang mbayarin. Meski Ultahnya udah lewat beberapa hari yang lalu, itu jelas nggak jadi soal.

Rumah makan di atas air, Mina Wisata, jadi sasaran utama. Ijonk ternyata sepakat. Di jalan, aku Ijonk dan Dodi bercanda, "unlimited mbok?".

Di Rumah makan yang terbilang luas itu, kamu kompak mesen gurameh bakar. Cuma minumnya yang beda.

Ternyata, makanan nggak kunjung datang. Jadi ya sudah, kami main "gethek", nonton sepasang arapaima gigas, sampai keliling nggak jelas gitu.

Wah, makan makanan enak emang nggak bisa lama. Semua serasa cepat. Tiba-tiba udah habis aja. Semua di lahap kurang dari 15menit. Mungkin semua lagi lapar, kayak aku ini.

Semua menu udah dilahap habis. Tangan udah di cuci. Dan Kami pun beranjak balik.

Ah, ternyata kami terjebak hujan. Lebih tepatnya kami "menjemput" ujan. Tempat yang kami tuju udah ujan duluan.

Dan kami-pun menghabiskan waktu lebih dari satu jam, hanya untuk menanti hujan yang tak kunjung reda.

Coret Moret

Sajak Pak Ipung

20:19

Tau nggak Pah, kemarin, aku dipanggil dengan namamu.
Om Edot yang melakukan.
Pak Ipung, begitu sapanya.

Meski cuma ngbrol lewat fesbuk,
tapi aku tetep aja malu, jujur aja.
Aku merasa belum pantas disamakan denganmu.

Tapi, sebenernya, nggak cuma Om Edot yang begitu.
Masih banyak orang yang memanggilku dengan namamu.
Mulai dari Ibu sampai orang pasar yang biasa lewat.

Walau beda-beda orang, tapi alasan mereka sama;
rupa dan perawakan anakmu ini mirip denganmu.
Landaur alias landa duwur, kalo Om Edok bilang.

Ah, tapi tetep aja aku merasa belum pantas.
Aku malu, jika mereka selalu menyama-nyamakan aku denganmu.
Menyandingkan aku denganmu.

Coba bayangkan aja, kaki kirimu dapat gelar tendangan geledek,
namamu nggak cuma harum di desa tempat tinggal kita
dan Papah pun punya istri yang cantik.

Huh, maka itu, ada kebanggaan dan semacam kecemburuan
yang berkecamuk di benak ini, sekaligus.
Dan Papah pun tau, aku nggak pernah mengatakan pada siapapun.

Bukan sok misterius.
Bukan pula soal gengsi.
Tapi, aku cuma ingin dianggap sebagai lelaki olehmu.

[07/07/10]

Coret Moret

Sajak Senyuman

20:17

Hari ini aku melihat namamu lagi
Aku teringat kembali dengan senyumanmu
Sekonyong-konyong saja ingatan itu muncul,
meski aku sebenarnya engan
Ah, aku nggak tau apa alasannya

Sajak ini, jelas nggak serupa dengan puisi-puisi yang aku kirim, dulu
Dan sajak ini, jelas sama nggak berartinya dengan sajak-sajaku yang dulu

Tapi, kamu pasti tau sajak ini buat apa
Mirip saat kamu pura-pura tanya
"kenapa sih kamu suka aku?"

Ya, sajak ini untuk senyumanmu.

[06/07/10]

Meniti Jalanan

Perjalanan Tiga Hari Ke Klaten

17:21

Inilah yang disebut perjalanan panjang. Bahkan, bisa dibilang perjalanan yang sangat panjang. Mungkin kalo dibandingkan pelsiran ke jakarta ataupun ke bali, perjalananku belum seberapa. Tapi, soal rasa, ini bener-bener jauh.

Sabtu, 3 juli, ada tiga motor yang dipersiapkan. Semuanya penuh. Yang di depan cowok, sementara yang belakang cewek. Klaten adalah kota tujuannya. Orezh, Rini, Indra, Ade, aku dan Hanie hendak main ke rumah mbah Refi alias Rofik Suharwanto.

Ketiga Motor mulai melaju sekitar pukul 10.00. Rombongan nggak langsung ngebut aja ke Klaten. Tapi, mampir dulu kerumah Indra, buat makan siang dulu. Alhasil nyampe Klaten pukul 7.30 malem deh.

Nyampe di rumah Refi, wuih cape banget. Mata perih. Pantat juga panas banget rasanya. Tpi, tetep aja ada semacam rasa senang pas masuk rumah.

Malam itu, semua beranjak itur cepet. Mungkin gara-gara cape. Tapi, aku habiskan malam itu buat meratapi kekalahan memalukan Argentina atas Jerman. Huh...

Pagi menjelang. Aku bangun paling siang. Tapi, itu jelas bukan masalah. Ya wong cuma mau jalan-jalan di Desa Ceper. Kami keliling desa sambil bernarsis-narsis ria.

Setelah beberes, siangnya, kami menuju Jogja, sekalian balik Purwokerto. Tamansari dan Pekan Raya Yogyakarta (PRY), berhasil kami sambangi. Nggak perduli panas, nggak perduli kepulan asap kendaraan yang menjajali kota pelajar itu.

Di Tamansari, Orezh dan Rini menjadi pemandu rombongan. Mereka secara bergantian menjelaskan soal Tamansari. Terutama soal sejarahnya. Tentu aja diselingi dengan gaya-gaya berpose bersama.

Nah, kalo di PRY, semua punya aktifitas masing-masing. Mulai dari foto-foto, ngeliat sovenir, sampai duduk-duduk doank. Tapi, ya gitu, selalu ada kesamaan dia antara kami; kami sama-sama cape.

Ini kali pertama aku naik motor di jalanan jogja melewati gang-gang kecil. Ah, sampe sekarang, aku pun nggak bisa mengingat lagi. Hehehehe.... Tapi, tetep aja nyenengin.

Pasca makan malam, kami beranjak ke Purwokerto. Tapi, gara-gara dianggap udah malem, jadi ya nginep deh di rumah indra. Paginya, baru melanjutkan ke Purwokerto.

Pukul 08.59 kami sampai ke Purwokerto. Benar-benar Kota Mendoan. Nggak ada lagi pemberhentian sementara.

Ah, melelahkan, tapi tetep aja tiga hari yang nyenengin.

Catatan Kecil Hari ini

#10

23:33

Becak. Becak. Tolong bawa saya.

Masih inget sama lagu yang ada kata-kata itu sebagai liriknya. Aku masih ingat. Maklum aja, itu salah satu lagi favorit aku. Tapi, belakangan tahun ini, aku nggak lagi mendendangkan lirik-lirik sederhana itu. Lagu jaman kanak-kanakku itu, udah tergantikan sama lgu garapan Avenged Sevenfold, D'Masiv, atau malah Armada.

Namun, bukan berarti aku sama sekali lupa. Cuma udah lama nggak bersenandung lagu soal becak itu.

Pas lagi ngobrol bareng sama Apank dan Tarwin di sebuah kafe, aku kembali ingat sama becak. Malam itu, kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul. Becak jadi salah satu bahan yang sempat dibicarain.

Ketiga mantan Pimpinan Umum Lembaga Pers mahasiswa dari tiga fakultas itu banyak ngomongin soal nasib becak sekarang ini. Banyak pengalaman bersama becak yang kedua temenku ceritain. Dari banyak sisi. Namun, intinya hampir serupa. Becak dan tukangnya adalah salah satu "pasangan" yang menderita.

Aku lebih memilih buat ndengerin cerita yang mereka punya itu. Dan aku menikmatinya. Oya, aku juga setuju dengan mereka.

Ah, aku jadi inget nih. Dulu, pas aku TK, aku selalu naik becak. Terutama pas balik sekolah. Pernah suatu kali, saking ramenya anak-anak yang mau balik bareng becak langgananku, becak yang kami naikin sampai terbalik. Untung aja, waktu itu, becak masih berhenti dan si tukang belum duduk di kursinya.

Tapi, liat tukang-tukang becak itu. Mereka cuma menghabiskan waktunya buat berpose di becaknya. Sambil memejamkan mata pula alias tidur.

Kekuatan pria-pria tengah baya itu udah kalah sama kecanggihan mesin yang bertenaga berkuda-kuda. Itu belum lagi dengan anak-anak muda yang enggan betul naik becak. Apalagi buat jadi tukang becak.

Itu belum diitung sama razia-razia terhadap kereta yang nggak berkuda itu. Dikejar-kejar satpol PP bak sampah yang musti dihempaskan.

Huh...sayangnya, aku nggak bisa merangkai kata-kata indah. Kata-kata yang bisa membikin orang-orang bisa kembali bernostalgia dengan becak. Berbulan madu bersama becak di masa lalunya, dulu.

Yang ada dibenakku ini, cuma pikiran bisa menikmati keramaian kota yang ada dengan kereta nggak berkuda itu. Entah aku masih berani melakukan itu ato nggak. Huh..

01-07-2010

Catatan Kecil Hari ini

#9

22:06

Aku lelah hari ini. Aku nggak yakin kenapa hari ini terasa sangat mudah cape. Mungkin lantaran terlalu banyak hal yang datang menghampiri secara bersamaan. Ini satu-satunya alasan yang bisa aku munculkan.

Hm, hari ini aku sms-an dengan ibuku. Sebenernya sih nggak lama aku sms-an sama ibu tercinta. Dan jujur aja, ini hal yang jarang yang aku lakuin. Jadi yah gitu, rasa aneh sekaligus senang.

Kami berbincang soal adikku yang hendak masuk SMA. Dia mendaftar di dua sekolahan. SMA 1 Bobotsari dan SMKN 1 Purbalingga. Yang satu deket, sementara yang lainnya, lumayan jauh. Satrio, adikku itu, emang ngebet banget masuk SMA Bobotsari. Sementara NEMnya, cuma 29-an. Dan ini titik pangkal persoalannya. Dan nggak tau kenapa, ogah bener kalo di suruh ndaftar ke SMA 1 Karangreja

SMA Karangreja sebenernya terbilang deket dibanding SMKN 1 Purbalingga. Selain itu, di Karang reja, banyak guru yang keluargaku kenal. Termasuk seorang teman sepermainanku, yang kebetulan masih saudara.

Tapi, Satrio masih aja enggan. Kalo dibilang jauh, kenapa dia mau kalo sekolah di SMKN 1. Untung aja, buat sementara ini, ibu masih menyetujui.

Aku sendiri, merasa bangga dengan adik cowo yang satu itu. Dan semua adik dan kakakku, tentu.

Dulu, aku musti datang ke Kantor BK, lantaran Satrio jarang masuk sekolah. Padahal dari rumah pamitnya buat sekolah. Sempat aku marah saat itu. Tapi, pas nyampe sekolahan, aku malah pake 'nada tinggi' pas ngbrol sama pak gurunya.

"Setiap anak punya cara perkembangan masing-masing. Jangan samakan adik saya dengan orang lain dong," itu kata-kata yang aku lontarin. Ah, marah betul aku waktu itu.

Tapi, aku sekarang bangga dengan dia. Dia lulus, meski dengan nilai pas-pasan. Soalnya, aku bukan meliat dari pencapaian nilainya, tapi dari usahanya buat memperbaiki diri.

Aku nggak pengin mempersoalkan dia sekolah dimana. Yang terlintas dipikiranku, aku cuma pengin ngeliat Satrio bisa sekolah dengan "ringan" dan tenang. Aku pengen ngeliat potensi yang selama ini terkubur dalam dirinya.

Sempat beberapa lama, ibu nggak lagi. Mungkin lagi sibuk. Tapi, kemudian sms lagi.

Ibu bilang kalo satrio tetap enggan ndaftar di Karangreja. Sampai teriak-teriak, kata ibu. Lalu ibu bilang "Aku kepengin kaya mas bangkit", cerita ibu menirukan kata-kata satrio yang sambil teriak itu.

"De, kamu ada yang mengidolakan," ledek ibu.

Jujur aja, aku malu. Ah, sial.

30-06-2010

Sobekan Kertas

Wong Banyumas Itu Bermental Mendoan!

10:52

purwokerto. aku mengenal kota ini sudah cukup lama. mungkin sedari aku kecil. tapi, yang aku kenal dari dulu dari purwokerto hanyalah sri ratu, rita dan moro. tak lebih dari itu. unsoed? jujur saja, aku baru mengenal pas aku mendaftar spmb.

sekarang, aku sudah tiga tahun lebih berada di purwokerto. malah ada semacam perasaan kalau kota ini menjadi kota kelahiranku yang kedua. setelah purbalinggaku yang perwira. aku banyak merasakan hal-hal yang sama sekali tak terduga dalam hidupku. sekaligus, mengantarkanku pada kuburan penyesalan karena tak mamu berbuat apapun sedari dulu buat bumi pijakanku.

namun, purwokerto telah menjadi sebuah cerminan yang menggelikan bagiku. mungkin jadi cermin mental orang banyumas dan sekitarnya. aku menyadari kalu purwokerto tak pernah akan berkembang jika tanpa camour tangan orang dari luar banyumas. lihat saja ruang-ruang kreatif macam film, tulisan, musik, atau yang lainnya, hampir tak pernah berasal dari buah tangan orang-orang banyumas. orang jakarta dan sekitarnyalah yang banyak berperan. mungkin aku menyarankan agar orang banyumas berterima kasih kepa orang-orang luar itu.

lalu, kemana orang-orang banyumas? aku melihat mereka lebih menyukai beranjak dari kota kecil ini. mereka enggan membangun kota ini. mereka lebih memilih pergi dari banyumas ini. seakan banyumas tak akan mampu menjamin kehidupannya. yah, meski setelah pergi jauh mereka juga cuma jadi pembantu rumah tangga. sayangnya, dalam hal akdemis pun mereka lebih memilih studi di kota lain.

memang sih ada yang tetap berada di banyumas. paling tidak remajanya. tapi, ini yag paling aku sesali, para kaum mudanya lebih menyibukan diri mereka dengan bersolek di muka cermin. atau malah sibk belajar bahasa loe-gue. padahal orang banyumas saja, mati-matian belajar ngomong ngapak.

hahahaha... aku nggak ngerti nih, aku mesti marah ato nggak. tapi, yang jelas, nggak berkembangnya kota kecil ini jelas ukan karena orang lain. tapi karena orang banyumas sendiri.

ya mbok?

28-07-2009

Sobekan Kertas

SMS Dari Mbayu Malam Itu

10:42

"Duh pusinq y,q mw ambl bhs jwa mz,kra2 blpa y mz byr q biz ancnq2 dal ckg." sms itu aku terima tepat pukul 20:37:35. tepatnya tangal 5 februari kemarin.

sms itu dikirim oleh seorang teman perempuanku semasa SMA dulu. aku kerap memanggilnya mbayu. sudah lama memang aku nggak pernah ngobrol dengannya. baru beberapa bulan ini aku sering smsan dengannya. dia sekarang sudah bekerja jadi staff administrasi di sebuah pabrik di bandung.

beberapa waktu yang lalu, dia cerita kalo punya niatan buat sekolah lagi. ingin kuliah. "gila" itulah kata yang pertama terpikirkan diotakku. aku udah hampir jadi sarjana, nah dia, baru punya niatan pengen kuliah. jujur aja, aku kaget!

dia pun bercerita kalo selama ini dia itu iri dengan teman seumurannya yang mampu menikmati bangku kuliah. makanya, dia masih memendam cita-cita menjadi seorang sarjana. dia pingin jadi guru!

demi cita-citanya itulah, dia akhirnya rela jauh dari keluarga buat kerja di kota kembang. bekerja keras demi mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya. sedikit demi sedikit.

makanya, meski sempet kaget, aku masih ngerasain seneng. sebuah kebanggaan, tentu. sementara aku di purwokerto sering ngeliat orang-orang yang katanya udah jadi mahasiswa kuliah seenaknya dan asal-asalan. temanku itu justru bersemangat buat kuliah.

"tolong cariin informasinya ya mz..." begitu katanya suatu waktu. dia hendak pulang ke desanya, untuk bekerja di sana, sambil kuliah.

dengan penuh semangat aku pun mencari universitas yang punya program keguruan. ketemu! ada satu, tapi swasta. aku pun langsung kesana, ngambil pamflet di ruangan panitia PMB.

busyet!! mahal bener kuliah di kampus ini, kataku pas ngeliat isi brosur pembiayaan. huh...apa mbayu itu bisa membayarkan semua pembiayaan ini. aku cuma bisa ngelus dada. serasa nggak tega memupupuskan impiannya itu. "argh...sial," kataku dalam hati.

tapi, akhirnya aku beranikan diri menceritakan semuanya. pembiayaannya dan tentu saja program studi yang ditawarkan.

dan, ternyata benar, uang yang dia tabung lebih dari tiga tahun ini belum juga cukup. meski hanya sekedar membayar awalannya aja. itu yang program reguler, belum yang nonreguler. lagi-lagi cita-citanya kembali terancam pupus sudah.

sejujurnya, aku malu sendiri. aku yang kuliah sampe sejauh ini aja masih belum berpikir layaknya apa yang dia pikirkan. mahasiswa amacam apa aku ini. yang katanya agen of change, tapi membantu teman sendiri aja nggak mampu.

"Huh..Q kul pie y maz?Mas biaya gde teing,q bngung mw nyari dar mana ge?" katanya lewat sms.

08-02-2010

SMS Dari mbayu Malam Itu

Sobekan Kertas

Film; Seks Atau Seni

10:39

"film apa yang bagus yah?" status itu kira-kira begitu bunyinya. udah beberapa hari yang lalu temenku menuliskannya. sekilas memang nggak menarik buat dikomen. apalagi buat yang nggak sering up date film-film terbaru.

tapi, status itu menjadi tampak menarik lantaran seorang teman perempuan yang lain itu ikutan komentar. "american pie bae," begitu katanya, sambil terkekeh-kekeh.

melihat komentar itu aku jadi ikutan komen. intinya sih, dah nggak jaman nonton film kaya gitu. sekarang itu jamannya alur sama makna cerita. dan ternyata temenku setuju. "aku be wis ora doyan," kata si empunya status. aku sih nggak ambil pusing kenapa dia nggak doyan lagi. mungkin emang nggak suka, mungkin sudah bosan. entahlah.

aku melewatkan pembahasan status itu lagi. aku nggak tau sampe mana ujungnya.

pagi ini, aku melihat acara "apa kabar indonesia" di tvOne. mereka berbincang soal kontroversi film "hantu puncak datang bulan" yang dibintangi andi soraya. ada LSF, andi soraya, FPI, ma sang produser.

fpi berkeras bakalan menentang semua film yang sok porno. ini soal moral bangsa, katanya. andi soraya berkilah ini adalah SENI. (kata ini sengaja aku besarin biar tampak ada penekanan). si produser sejalur dengan andi soraya. sementara lsf jadi pendiam yang tampak nggak amu disalahin.

emang, belakangan sumua film2 indonesia selalu ngedepanin soal seksualitas. seakan, yang ada di otak orang indonesia cuma seputar selangkangan doank. betul ato nggak, aku nggak mau menghakimi siapapun.

huft. aku bener-bener nggak ngerti. mungkin ini lantaran kebebalanku memahami itu semua. tapi aku tau kalo itu realitas sosial. mungkin juga seni.

makanya, aku terkadang menaruh curiga dengan semua film2 yang dibikin, adakah hal yang saru2 yang bisa dinikmati di sana? malah terkadang aku berpikir soal teater. mungkin akan beralih pad sex appeal biar semakin rame penonton mereka.

aku nggak munafik. ini hanya pemikiran, yang aku sendiri tak mudeng.

aku nggak mau ambil pusing. makanya, aku memilih "inbox" jadi tontonanku. padahal aku pun nggak suka!

05-02-2010

Sobekan Kertas

Aku dan Para Kakang dan Mbakayu Purbalingga 2009

10:33

hari ini adalah awalnya, yah meskipun buka sepenuhnya sebagai sebuah awal. paling tidak perkenankan aku beranggapan kayak gitu. ya, hari ini adalah awalnya. sebuah awal dari sebiah kegilaan, atau mungkin malah yang lain akan menganggapnya sebagai sebuah kegelian. apalagi, jika tahu kalau aku yang harus merasakan "deraan" kegilaan ini.

pagi tadi aku berangkat ke dinas pariwisata, kebudayaan, pemuda, dan olah raga purbalingga. lazim disingkat dinparbudpor. hal, yang bisa dikatakan, menyebalkan buatku. bagaimana tidak, harus bangun pagi, berangkat dengan kedinginan lantaran gerimis yang setia menyiram bumi.

sebagian dari kalian mungkin menganggap remeh apa yang aku lakukan. sedang sebagian yang lain mungkin ingin tau kenapa gerangan aku harus memburu pagi hanya untuk tiba di dinparbudpor. makanya, agar kalian merasakan kegeliannya sendiri, maka ada baiknya aku ceritakan kenapa aku musti berada di salah satu deretan kursi biru itu.

pagi itu, aku berada di sebuah aula yang tak cukup besar. dan aku pun sebenarnya lebih menganggap itu bukan sebagai aula. namun, yang pasti, aku benar-benar berada di sana bersama paling tidak dengan 40-an orang. putra dan putri. semuanya berasal dari berbagai wilayah di purbalingga. sekitar pukul 9.15 acara technical meeting kakang-mbakayu purbalingga 2009 dimulai.

ya, jangan heran kalau aku juga bagian dari peserta technical meeting itu.

sekarang, kalian mungkin sudah mulai merasakan sebuah kegelian yang tadi aku ceritakan. tapi, aku tak perlu lagi merasa malu atas kegelian yang mungkin kalian rasakan itu. seperti kata atut "kejujuran itu memang pedih". hanya saja, kejujuranku ini bukan suatu kepedihan. melainkan kelegaan yang teramat sangat.

huh...aku sendiri bingung, kenapa bisa aku berada di deretan kursi itu, guna mendengarkan cerita yang panjang lebar itu. yang jelas, asal mulanya tak seperti afid.

tapi sebenarnya, yang paling menarik buatku hari ini, bukan lagi soal bertebarannya wajah-wajah cantik jelita, mempesonanya muka-muka gagah itu, atau sedikitnya snack yang aku dapatkan. bukan itu semua. tapi, justru pernyataan-pernyataan tak terduga dari pak sucipto, kepala dinas bagian pariwisata purbalingga.

beliau memang berbicara banyak. ada juga pak kuncoro yang juga berbicara lebih banyak. namun, ada dua hal utama yang paling menarik perhatianku. paling tidak berhasil membangunkanku dari kantuk. yaitu soal KERUDUNG dan PUISI. mungkin ada baiknya aku juga sampaikan secra terpisah saja.

"pak bagaimana soal sanggul perempuan yang pakai kerudung?", tanya seorang peserta putri yang masih SMA. itu awalnya yang menjadikan adanya pembahasan soal kerudung. pak cipto memang tampak tak mempermasalahkan penggunaan kerudung sewaktu final nanti.

"itu hak anda", katanya.

hanya saja ada "tapinya". ya, nantinya ada semacam pengurangan nilai atas busana yang dipakai. soalnya ini soal filosofi budaya. dan kerudung tidak ada dalam daftar penjelasan filosofi budaya banyumasan.

waktu itu mengeluarkan sebuah pertanyaan, yang akan terjawab nanti waktu final. apakah perempuan itu akan menggadaikan kerudungnya demi ketenaran? atau mungkin pertanyaannya menjadi; adakan nanti yang berkerudung lagi saat final???

itu baru polemik soal kerudung. belum soal puisi!

"saya harap nanti tidak ada yang membaca puisi sewaktu uji ketrampilan", bagitu kata pak cipto, serius. alasannya, tanpa bakat pun semua BISA BACA puisi.

jujur saja, dalam hati aku tertawa. betul-betul tertawa. bagaimana tidak, aku mengenal teman-teman yang berjuang keras hanya untuk membaca puisi. bahkan waktu aku mencobanya pun terasa sukar betul. tapi, pak cipto malah menghimbau tidak baca puisi, lantaran semua bisa baca puisi.

aku tak tau bagaimana teman-temanku yang berjuang keras membaca puisi kalau berada di posisiku pagi itu.

ah, betul hari yang melelahkan plus menyenangkan. banyak pengalaman. banyak kegelian. oh ya, itu juga belum termasuk denga tingkah polah para calon "pedagang pariwisata" purbalingga itu. mungkin kalian memang harus melihatnya sendiri.

tak sabar menunggu nasib kota buruh di tangan pemuda-pemudi masa depan macam itu.

01-10-2010

Catatan Kecil Hari ini

#8

10:29

"Mas, baca catatanku donk!"

Baca catatan. Belakangan, rutinitas macam itu yang aku lakuin pas lagi FBan. Awalnya sih, cuma buat seliangan biar nggak bosen aja.

Pas pertama-tama, aku cuma sempet baca catatan yang aku di-tag. Males juga kan kalo musti buka dinding orang-seorang. Tapi, selanjutnya malah jadi keranjingan gitu. Catatan yang punya judul menarik, ya dibaca aja. Dikasih komen juga. Meski nggak di-tag.

Kalo boleh jujur, tulisan temen-temen SMA,- bener-bener anak SMA lho yah, yang bikin aku malah suka baca catatan. Terlepas dari gaya menuliskannnya, aku belajar banyak dari mereka. Itu pasti.

Tapi, ada yang paling menarik dari catatan temen-temen SMA itu. Ini lebih dari sekedar judul tulisan yang seadanya, tema yang asik menggelitik, atau malah cara bercerita yang eksplosif.

Lebih dari itu. Yang menarik itu adalah ternyata, mereka itu bisa bikin catatan dalam sehari lebih dari satu. Dan itu dilakukan setiap harinya. "Bikin note kayak gini lama-lama jadi hobiku," kata seorang teman.

Coba bandingkan dengan para mahasiswa itu (termasuk para aktifis kampus). Jangan diliat dari panjang-pendeknya tulisan yang dibikin. Melainkan intensitas menulisnya. Ah, aku sendiri malu mengakuinya.

Malah gara-gara catatan temen-temen SMA itu, aku pernah iseng nanya sama seorang mahasiswa. "Berapa catatan yang pernah dibikin di FB?".

"Hehehehehehe..." Cuma begitu jawabannya yang dikasih.

Selain soal intensitas menulis, ada lagi hal yang menurutku menarik. Mereka itu yah, jarang banget sengaja nge-tag temen-temennya buat ngeliat tulisan yang dibikinnya itu. Menulis. Terbitkan. Itu pola yang lazim mereka lakuin.

Sekali lagi, coba bandingkan dengan kaum intelektual semacam mahasiswa. Kalo kita, pasti langsung tag orang. Bukan urusan bila itu ternyata tulisan pertama kita.

Aku nggak pernah bermaksud buat membandingkan, lantas melebih-lebihkan salah satu di antara keduanya. Aku hanya ingin bercerita sebagaimana temen-temen SMA itu bercerita banyak hal padaku.

Catatan Kecil Hari ini

#7

10:25

Hampir setengah hari aku online FB. Waktu yang di luar kebiasaan. Bosan, jelas. Terlebih lagi, lantaran nggak ada teman yang bisa diajak ngobrol.

Tapi, setelah ngbrol dengan dua perempuan dari dua fakultas yang beda. Jadi ada satu hal yang bikin akau tersentak. Menjadi sedikit bergairah lagi.

Ngalor-ngidul, mulanya. Banyak hal yang dipergunjingkan. Namun, ternyata, ngobrol dengan dua gadis itu ada kesamaannya. Sama-sama ngobrol soal Semester Pendek alias SP.

"Tuntutan orang tua lah," kata mahasiswi fisip 2008. Orang tuanya ternyata menuntut putrinya itu cepat lulus. Yah, meskipun habis lulus, entah mau apa.

Jika yang satu alasan tuntutan orang tua, nah yang mahasiswi ekonomi malah didorong rasa penasaran. Perempuan berjilbab angkatan 2009 itu penasaran dengan bagaimana proses SP. Dan apa yang sebeneranya dirasakan sama mahasiswa yang ikutan SP itu. "Aku nggak pengen ngecap begitu aja" ungkapnya.

Program kuliah 1,5 bulan itu memang bukan hal baru. Pro-kontra sudah ada sedari aku masuk kuliah. Tapi ya itu, SP nggak tergoyahkan eksistensinya.

Malah seiring dengan waktu, SP jadi semacam kebutuhan primer mahasiswa di Unsoed. Nggak perduli angkatan berapa pun. Aktivis anti komersialisasi atau bukan.

Ini menarik, khususnya buat aku. Jika dulu mahasiswa pro-kontra pada ranah esensi SP sebagai bentuk komersialisasi pendidikan dan dianggap mencederai proses belajar. Kalo sekarang, pro-kontranya malah seputaran harga SKS yang musti di bayar.

"20ribu, SP= Semester Pendek. 50ribu, SP= Semi Proyekan." Kalo nggak salah sampai ada poster buatan tangan yang di tempel di Kampus Orange.

Bahkan, aku beberapa kali melihat kalo ternyata konsumsi SP di mahasiswa angkatan 2009 terbilang tinggi. Malahan, mereka sudah bersiap-siap mengarungi SP selama 1,5 bulan kedepan.

Aku sendiri juga bingung kenapa begitu. Kualitas materi yang meningkat atau kualitas mahasiswanya yang turun.

Hm, aku masih nggak ngerti pemikiran mahasiswa jaman sekarang. Mungkin benar, aku terlampau tua untuk memahami apa yang mereka pikirkan soal kuliah.

15-06-2010

Catatan Kecil Hari ini

#6

10:20

"Benih Yang Berkualitas Menghasilkan Buah Yang Berkualitas."


Kata-kata yang menarik itu jadi judul acara penerimaan anggota baru LPM Husbandry Fakultas Peternakan, 11-13 Juni. Pesertanya, jelas, para calon anggota baru LPM yang sekrang diketuai Gani (aku lupa nama lengkapnya).

Nampaknya acaranya mulur. Terbukti, saat aku datang, Apank masih ngerokok di sekre Husbandry. Padahal waktu sudah menunjuk pukul 15.30. Di ruang itu, Mantan PU Memi itu lagi asik ngbrol sama koordinator Aliansi Persma se-Unsoed, Asta. Dan seperti biasa, aku langsung nimbrung.

Aku datang bukan untuk melihat performa Apank sebagai pembicara, pastinya. Ketertarikanku itu lebih tertuju pada materi yang bakal disampaikan Apank. Diskusi soal pers mahasiswa kekinian. Ini jelas menarik. Terlebih lagi buat insan pers mahasiswa (persma).

"Objektifitas itu sebuah mitos!" Begitu Apank memulai pembicaraan. Bagi mahasiswa Managemen Unsoed itu, persma unsoed itu terlampau terjebak dengan kata itu. Alhasil, gerak dinamis persma pun tersendat.

Dengan menggebu-gebu Apank berbicara soal keberpihakan yang jadi semacam ruh dari persma. Kemudian soal persma sebagai sebuah gerakan yang jelas bebas nilai.

Mungkin nggak semua orang sepakat dengan pernyataan Apank itu. Tapi, mungkin nggak buat anak-anak Husbandry. Ini terlihat dari diamnya mereka. Kan kata orang tua, diam itu tanda setuju.

Namun, semakin lama aku merasa bosan juga hanya mendengarkan diskusi sore itu. Pertanyaan yang muncul masih belum tajam. Atau minimal menggelitik. Hanya seputaran, apa sih nilai-nilai persma, apa bedanya persma dengan pers umum, atau tentang narasumber off the record.

Nah, di tengah kebosanan itu, aku iseng bertanya dengan salah satu anggota baru Husbandry, - yang ajaibnya satu kecamatan denganku, Bobotsari. Alvi, namanya.

"Kenapa sih masuk Husbandry? mank bener-bener suka nulis?" tanyaku.

"Nggak suka nulis kok. Cuma pengen aja" ungkapnya sambil terkekeh-kekeh.

Wah, aku nggak nyangka bakal ada jawaban macam itu. Selama ini, aku mikir orang itu masuk persma cuma memenuhin hasrat hobinya, menulis. Ternyata, asumsiku nggak laku kali ini buat perempuan berambut panjang itu.

"Nah, menurut kamu, pekerjaan jurnalis sih ngapain aja?" tanyaku lag. Nah, kalo ini sih cuma pertanyaan ngetes doank.

"Nggak tau tuh. Hehehehe... kan baru mau memperdalam. Baru pengin." katanya. Tawa kecil pun menyusul jawabannya itu.

Nah loh. Kalo gini ngapain juga ikutan persma. Mau ngapa juga belum tau. Hal macam ini, mungkin yang nyebabin persma itu labil. Kehilangan identitas. Kayak yang dipermasalahin di diskusi Jumat sore itu.

Diskusi selesai bertepatan dengan adzan maghrib. Semua keluar dengan wajah yang sumringah. Seakan menggambarkan sebuah perasaan; lega. Dan aku nggak tau, lega lantaran apa.

Aku pulang. Bersepeda.

Teringat dengan empat tahun yang lalu saat muter-muter ke persma-persma. Anehnya, pertanyaan yang muncul di benak pun masih sama dengan saat awal-awal berkenalan dengan dunia pers kampus. Pers mahasiswa itu sebenarnya apa?

11-06-2010