Catatan Kecil Hari ini

#17

14:27

Jibril mendatangku. Mulanya aku tak menyadari kedatangannya. Mungkin karena kebodohanku. Mungkin juga lantanan aku, belakangan, asyik berskeptis ria. Tapi, aku cenderung meyakini alasan soal skeptis itu.

Aku tidak yakin itu jibril. Sebab, bagaimana mungkin jibril akan mengenali aku. Dengan rasa yang benar-benar dekat. Seakan aku dan dia sudah karib betul. Dia datang sekoyong-konyong, lantas menyapa dalam bahasa jawa banyumasan. Ah, pastinya bukan hanya aku yang bakal meragukan jibril itu.

Tapi keraguan itu juga semakin diragukan. Terutama saat aku tahu sosok jibril itu tidak bisa tersentuh. Maya. Hanya kata-katanya saja yang terbaca indera manusiawiku ini. Lagi pula, dalam-kata-kata yang singkat itu, ada semacam wahyu.

Memang tidak mirip dengan rangkaian kata selayaknya kitab suci, tapi aku pikir kata-kata jibril itu sejenis wahyu. Memang tidak dalam bentuk pernyataan indah layaknya sajak bikinan Tuhan, melainkan pertanyaan yang singkat dan sama sekali tak indah. Tapi aku pikir itu wahyu.

Di tengah kegalauan akan keyakinan eksistensi jibril itu, aku mendengarnya berujar padaku. Jibril bertanya soal kesibukanku. Soal hal-hal yang aku lihat, belakangan ini.

Namun, belum sempat aku menjawab. JIbril benar-benar lenyap. Bukan hanya dalam arti maya. Tapi juga dalam artian yang sesungguhnya. Dia tidak ada sekelilingku lagi. Buktinya, aku tidak mendengar suaranya dengan gamblang lagi. Sesaat itu, aku sedikit menghardik. "Ah, sial!"

Kesialan semakin merajai, saat aku pulang keperaduan. Jalan panjang Purbalingga-Bobotsari tak teraliri listrik. Hanya lampu berwarna kekuningan yang menyala di sepanjang jalan. Sewaktu aku di atas motor, aku berpikir, jangan-jangan, semua ini azab untuk diriku. Atas sikap skepitisku yang berlebihan atas eksistensi Jibril.

Temaran lilin menyambut saat aku sampai rumah. Kini, giliran sosok selain jibril yang berbicang denganku. Dia bukan malaikat. Kalau yang satu ini, aku tanpa meragu. Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang seniman. Cuma, aku tidak tahu dia pandai dalam hal apa. Puisi, cerpen, novel atau apa. Entahlah.

Ah, aku juga lupa namanya. Tapi biarlah. Bukankah selalu ada kata-kata ajaib kalau kita lupa dengan nama. Apalah arti sebuah nama. Kira-kira begitu ungkapannya.

Yang terang, lelaki itu berbicara soal imajinasi dan fakta. Katanya, faktapun bisa jadi fiksi.Dan ujung-ujungnya, hanya fakta-fakta yang pedih, ngilu, atau menyenangkan itu akan dipermainkan dengan indah oleh imajinasi. Tiap cerita nyata, memiliki akhir cerita berbeda satu sama lain. Tergantung imaji yang tiap-tiap orang mainkan.

Cerita tentang merapi misalnya. Jika kita doyan dengan cerita-cerita yang menguras air mata, maka kita akan menunggu-nunggu akhir cerita gunung di wilayah Jogja itu. Semenderita apa warga di sana? Penyakit macam apa yang akan menyerang warga papa itu.

Jika kita doyan dengan cerita-cerita tentang alam yang membikin deg-degan, maka kita akan menanti, apakah ada gunung lain yang turut bersolidaritas dengan merapi. Dan akhirnya turut meluapkan isi bumi itu. Kita pun lantas dag-dig-dug.

Atau kita hobi mendengar cerita aksi heroik khas pahlawan kesiangan. Maka bersamaan dengan cerita merapi, mentawai dan wasior, cerita tentang politik konspirasi pun mencuat. Teknologi pemusnah massal bikinan amerika pun bisa saja muncul.

Aku mengakhiri perbincangan dengan seniman ternama itu. Sebab, aku tahu, seniman itu punya pikiran yang liar. Dan aku sedang takut. "Keterjebakan atau malah kenikmatan tersendiri," begitu kata ku pada seorang teman. Pun begitu dengan pembicaraan dengan seniman yang satu itu.

Dan senyatanya, aku malah jadi kembali memainkan imajinasiku. Imaji tentang Jibril dan seminan laki-laki itu. Memikirkan bagaimana akhir ceritanya, jika aku begini, jika aku begitu. Dan, sekali lagi, aku menghardik. "Ah sial!"

[30/10/2010]

Coret Moret

Sajak De-fi-ni-si

14:25

Arti…

Makna…

Maksud…

Penjelasan…

Pengertian…

Tidak jelas…

Bingung…

Paham…

Bertanya…

Dia…

Senang…

Bersedih…

Cantik…

Biru…

Imoet…

Wagu…

Diam…

Cerdas…

Menyenangkan…

Menyakitkan…

Dirindukan…

Dicintai…

Dibenci…

Diasingkan…

Menungggu…

Ditunggu…

Terserah kita untuk berkata-kata, semua akhirnya akan sama saja

Apa mau "Dunia dalam de-fi-ni-si" atau "de-fi-ni-si dalam Dunia"

Karena memang begitulah ia, de-fi-ni-si!!

[26/03/2007]

*sajak pendek yang aku temukan di situs friendster yang usang

Catatan Kecil Hari ini

#16

14:23

Aku ingin membuat catatan kecil hari ini. Tapi, karena kebodohanku sendiri, tak ada ide yang kunjung datang. Jadi aku sudahi saja. Bukan apa-apa. Hanya tak ingin melantur.

[25/10/2010]

Coret Moret

Sajak Sungguh

14:22

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

Aku tidak terlalu merisaukan besaran yang diberi.

Pun begitu dengan pamrih lain yang menanti.

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

Meski aku tahu, semakin menapak, malah banyak duri.

Duri yang terus mencaci, memaki.

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

Tapi semakin melaju, semakin tampak bodoh diri ini.

Memang bodoh, tak tanggap, atau tak tahu diri?

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

Ini bukan soal materi ataupun pujian yang melangit tinggi.

Aku hanya mencintai.

Mencintai dunia ini.

Dunia yang baru seumur jagung aku tapaki.

Sungguh, aku hanya ingin menikmati.

[20/10/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#15

08:12

Suara khas Duta, vokalis Sheila On 7 melengking tinggi. Sedari tadi, dari aku datang hingga duduk lebih dari sepuluh menit, dia terus bercerita. Banyak hal yang dikatakan. Tapi, tampaknya, dia nggak ngerasa bosan.

Dan semoga, bukan kebosanan yang menjadikan dia dan teman-temannya memiliki alasan untuk berhenti berbincang denganku. Terlebih, lantaran aku dari tadi mengacuhkan semua hal yang coba dia katakan padaku. Aku lebih memilih asyik sendiri dengan duniaku,- yang sempit ini.

Tapi, jujur saja, meski nggak berniat mendengar, dan nggak berniat mencuri dengar. Tapi toh, aku mendengarkan banyak hal yang di katakan. Tema-tema yang mungkin bisa menggelitik sejak dia ngecebres. Bahan-bahan pembicaraan yang pada akhirnya menuntunku pada jalan-jalan yang sudah cukup lama terlupakan. Hal-hal yang pada akhirnya justru menjebloskan diriku dalam romantisme masa lalu.

Duta yang lahir di Kentucky, AS, 30 April 1980 itu memang berbicara banyak hal. Hingga, aku lupa secara lengkap, apa saja yang dia katakan padaku. Kali ini, aku hanya mampu menangkap inti pembicaraan saja. Ah, itu kebodohanku malam ini.

Tapi, walau sepenggal-penggal, aku masih bisa membiarkan pikiranku merajalela menulusuri jalan kenangan secara liar. Aku teringat teman-teman sepermainanku, tentang kesepiannya teman-temanku yang berjenis kelamin laki-laki, soal perselingkuhan, dan tentang berbagai hal yang lainnya. Ingatan kecil itu aku dapatkan saat pria yang bernama lengkap Akhdiyat Duta Modjo mulia berbincang padaku.

Hm, suami Adelia Lontoh itu memang punya suara khas. Itu memang benar. Tapi, pada akhirnya, aku semakin menginsafi, terkadang syair-syair lagu memang mampu menggambarkan hidup seseorang. Itu yang ada dipikiranku.

"Aku banget nih." Lazimnya kan memang begitu yang dipikirkan ada lagu yang sejurus dengan nasibnya. Maka itu, dari dulu, aku cuma berpikir kalau sebenarnya, semua orang hanya mempas-paskan saja, dengan lagu dengan nasibnya. Yang lagi senang, ya lagu yang senang yang bakal didengar. Kalau sedih, ya di playlist isinya cuma lagu sedih saja.

Ah, celoteh penyanyi yang jadi juri Icil itu nggak kunjung reda. Malah semakin menggila. Ada yang semakin romantis, Ada juga yang semakin picisan. Tapi, telinga sudah nggak mau mendengar lagi. Bukan apa-apa. Aku juga ingin bercerita. Jadi, jika aku hanya mampu mendengar cerita Duta saja, lalu kapan ceritaku bakal didengar.

[09/10/2010]

Coret Moret

Sajak Ingin

07:51

Aku ingin memujamu

Selayaknya rasa pria lain padamu.

Tapi, aku tahu

Diriku takkan mampu.

Kau pasti tahu

Aku tak pandai merayu

Apalagi mencumbu.

Tapi, aku hendak memujamu.

Walau caranya, aku tak tahu.

Aku hanya ingin memujamu.

Aku ingin memujamu

Selayaknya rasa pria lain padamu.

Namun, dengan rasa yang tidak palsu.

Terlebih, dengan makna tak menentu.

[05/10/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#14

08:04

Sudah beberapa kali aku lalui jalan itu. Bosan? Tidak juga. Untuk kali ini, menapaki jalan bukan lagi sebuah kebosanan yang berulang-ulang. Tapi aku malah menikmatinya. Dalam setiap tengokan yang aku lakukan, selalu ada hal yang menarik perhatian. Jalan tembus Banyumas-Patikraja masih menyimpan begitu banyak rahasia.

Pun begitu dengan hari ini. Aku lalui jalan yang lebarnya mungkin tak lebih dari enam meter. Yang ada di benak, adalah begitu ramainya jalan ini. Mulai dari motor hingga truk pun betah melewatinya. Tidak siang, tidak juga malam. Ramai. Mungkin bukan saja lantaran jarak yang bisa terpotong, tapi juga karen akemulusan jalan itu.

Kali ini, bukan kantor desa yang begitu menawan di pandangan mataku. Kali ini, aku tidak berkenan menjamah ruang kerja pemimpin desa itu. Yang menjadi primadona siang itu hanyalah ruangan yang luasnya tak lebih dari 5 m2. Warung mie ayam.

Hari memang sudah terlampau siang. Perutku juga sudah keroncongan. Padahal, tadi pagi sudah makan mie goreng. Ah, tapi memang sangat lapar. Terlebih, matahari sangat terik. Membuat tenaga yang sudah di-charge mie goreng pun cepat terserap.

Tapi, seperti hanya dengan kantor desa yang selalu aku perhatikan sembari mengendalikan motor. Warung mie ayam itu pun sama menariknya buatku. Bukan hanya lantaran nafsu yang segera dipenuhi. Tapi, hanya ingin mencoba merasakan racikan mie, minyak goreng dan cesim.

Mie ayam itu berada di Desa Wlahar Wetan Kecamatan Kaliori Banyumas.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju warung kecil itu. Motor terparkir, helm pun tergeletak di bangku. "Mie ayame setunggal pak," kataku.

Selang beberapa lama, aku kagetnya bukan kepalang. "Walah, ternyata masih ada mie ayang sebanyak ini. Melebihi mangkuk yang mewadahi," pikirku.

Mangkuk memang ukuran standar, tapi isinya, jelas melebihi porsi yang selama ini ada di Purwokerto. Apalagi dengan duit pas-pasan. Kan bisa repot kalau ternyata tidak bisa bawa uang cukup. Mana di desa yang jauh dari tempat tinggal.

"Rp 4000," jawab si penjual saat aku tanya harga satu porsi mie ayam plus es teh. Sembari menyembunyikan muka kaget, aku membayar dengan uang Rp 5000. Lantas memacu motorku lagi.

Sepanjang jalan, aku terus berpikir; apa bapak penjual mie ayam itu tidak rugi? Sedangkan aku tahu, kalau di Purwokerto atau kota besar lainnya harga satu prosi mie ayam tidak akan meneytuh angka Rp 4000. Semua harganya jelas di atasnya.

Selain soal harga, aku juga berpikir soal perbedaan kota dan desa. Tentang cara berpikir. Tentang toleransi. Tentang orientasi. Tentang relasi. Tentang penghargaan. Tentang pembangunan. Dan tentang, tentang yang lain, yang mungkin sudah tidak nyambung lagi dengan mie ayam yang lumayan enak itu.

Ternyata memang banyak perbedaan antara desa dan kota. Tidak perlu membanding kan dengan kota-kota metropolitan yang ada di Indonesia. Cukup melihat dalam Kabupaten Banyumas saja. Aku kira itu cukup.

Tapi yang jadi persoalan adalah satuhal, paling tidak saat aku menuliskan ini; pantaskan perbedaan itu dicari-cari. "Perbedaan itu untuk saling mewarnai" begitu orang bijak dikutip. Seperti halnya Bhineka Tunggal Ika.

[4/10/2010]

Jepret

Pembuatan Saluran Irigasi Desa Wlahar Kulon

17:45

PASANG PARALON: Warga Desa Wlahar Kulon Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas, baru-baru ini, lagi kerja bakti buat membangun saluran irigasi.

JADI TONTONAN: Sejumlah pelajar sedang asyik melihat warga yang sedang mengebor saluran air di bawah jalan desa.
BERMODAL BAMBU: Bermodal bambu, tali dan palu, warga membuat saluran air di bawah jalan desa. Sudah dua hari proses pengeboran manual tersebut dilakukan.

[Ceritanya, lagi bikin cerita tapi lewat foto asal jepret. Buat aku sendiri, ternyata menarik berbicara lewat lensa.]

Coret Moret

Sajak Mendung

17:24

Mendung menggelayut lagi.

Mencaci, tepatkah sebagai solusi.

Aku mengerti rasa petani

Yang ingin sawahnya dibanjiri.

Aku pun tau rasa pengrajin bata.

Yang berkehendak batanya bisa kering.

Ingin mencaci, tapi tak terpuji.

Ingin memuji, namun tak pahami.

Hujan tampaknya turun lagi.

Aku, hanya merenungi.

[3/10/2010]

Coret Moret

Sajak Pikiran

08:07

Aku terlalu banyak pikiran.

Mungkin lantaran punya banyak angan.

Kini, aku kebingungan.

Tanggungan ini-itu belum terselesaikan.

[2/10/2010]

Coret Moret

Sajak Lagu

08:06

Ibu,

Aku mendengar lagu-lagu pujaanmu.

Taukah apa yang terpikirkan?

Aku ingat saat masa SMA dulu.

Saat kau dengan rajin memutar cd lagu di kala pagi.

Saat kau dengan rajin membangunkan anak-anakmu.

Dan taukah ibu,

Meski terkadang bosan, harus aku akui, aku menikmatinya.

Ibu,

Aku mendengar lagu-lagu pujaanmu.

Aku merindukan pagi yang dulu begitu indah.

Aku dan semua anakmu.

[23/09/2010]