Meniti Jalanan

Manusia Perkasa Itu Ada di Pejawaran

18:41

Ini jelas bukan kali pertama aku main ke sana. Kelokan, tanjakan dan turunan tajam serta hawa dinginnya, jelas sudah aku akrabi. Meski hanya sebatas yang aku bisa.

Oh iya, Pejawaran itu merupakan salah satu kecamatan di wilayah Banjarnegara. Tempatnya jauh dari pusat kota. Kurang lebih satu jam perjalanan. Itupun setelah menempuh jalanan yang terjal nan berkelok. Lebih dekat dengan dataran tinggi Dieng.

Tapi, untuk kesekian kali itupula, aku selalu dapet hal-hal yang menarik di sana. Seharian di sana, sudah banyak cerita yang diceritain sama desa itu. Sebuah kehidupan yang mungkin udah tergerus.

Di kecamatan dengan 17 desa itu, melihat fenomena; manusia perkasa. Yah, manusia yang punya kekuatan. Menariknya, nggak cuma laki-laki, namun juga perempuan.

Orang-orang desa itu emang nggak bergaya layaknya Samson atau Xena. Cara mereka menunjukan kekuatannya pun berbeda dengan cara superhero khas barat; menolong orang-orang yang diserang monster. Dan baju khas superhero pula.

Mereka itu sangat ala kadarnya. Bercelana dan kaos lengan panjang. Mengenakan penutup kepala. Sepatu boot pun nggak ketinggalan.

Manusia-manusia perkasa itu tampak di jalanan. Pagi tampak. Siang memunculkan batang hidungnya. Sore pun ada di depan mata.

Namun, hanya di siang hari, mereka mau unjuk kekuatan. Mereka emang bukan orang yang suka pamer. Aku musti mengakui itu.

Orang-orang pegunungan itu cuma menggendong seikat kayu bakar dalam jumlah banyak di punggung. Dengan bantuan kain jarit. Kalau nggak, ya menyunggu di kepala atau memikul tumpukan rumput buat ternaknya.

Ah, itu sih enteng. Mungkin itu ada yang dibenak. Aku pun begitu, awalnya. Namun, pas diliat baik-baik. Ternyata emang nggak gampang. Coba aja bayangkan, dengan beban sebanyak itu, jarak yang panjang, dari ladang hingga ke rumah. Menanjak pula.

Yang lebih mengagetkan, ternyata, diantara laki-laki dan perempuan dewasa itu, ada anak-anak pula. Di jam sekolah mereka malah unjuk kekuatan seperti halnya orang tua mereka. Aku nggak tau mau menyebut ini apa; miris atau dilematis.

Coret Moret

Sajak Jalanan

20:47

Jalanan di mukaku itu, masih saja ramai.
Semua bersliweran begitu saja.
Ke depan, ke kanan, ke kiri, ke belakang.

Sedari pagi, masih saja begitu.
Saat malam menjelang, pun masih begitu.
Yang beda cuma cahaya ang dipancarkan saja.

Aku masih ingat, waktu kecil, aku dibikin kagum dengan cahaya kota Jakarta
Jakarta melong-melong, kataku.
Berbinar dan penuh cahaya.

Tapi, kini nggak lagi.
Cahaya di jalanan ini, nggak semempesona dulu.
Kini hanya menyakiti mataku.

Kendaraan-kendaraan itu, lewat terlampau cepat.
Nggak memberi kesempatan mataku untuk melihat lekat dirinya.
Aku pusing.

Itu, belum diitung dengan bunyi knalpot.
Selalu ada saja knalpot yang nggak ramah dengan pendengaranku.
Gara-gara itu, sesekali, aku memaki.

Kini, aku sedang menanti malam menjamah pukul 11 malam.
Saat itu, pertigaan di depan mataku ini, lengang.
Nggak ada lagi cahaya dan knalpot bising.

Di saat itulah, aku akan berjalan melenggang di tengah jalan.
Tanpa takut tertabrak dan dimaki.
Ya, aku-lah si raja jalanan.

[08/07/10]

Meniti Jalanan

Gurameh Bakar dan Hujan Deras

20:06

Waktu udah cukup sore. Sekitar pukul empat sore. Meski matahari masih tampak di sela-sela mendung, tapi jelas, ini sore yang indah.

Purwokerto tanpa ujan di sore hari. Oh betapa nikmatnya. Oh begitu indahnya. Begitu aku bersenandung dalam hati.

Seluruh keindahan dan kenimatan senja itu musnah waktu cacing di perutku keroncongan. Nila setitik rusak susu sebelangga.

Rasanya malu mengakui, aku belum sarapan hari ini. Uh, lapar.

Tapi, namanya juga lagi beruntung, jadi baru aja intro lagu kroncongan itu didengungkan, aku udah dapat tawaran makan gratis. Traktiran ulang tahun. Ijonk yang mbayarin. Meski Ultahnya udah lewat beberapa hari yang lalu, itu jelas nggak jadi soal.

Rumah makan di atas air, Mina Wisata, jadi sasaran utama. Ijonk ternyata sepakat. Di jalan, aku Ijonk dan Dodi bercanda, "unlimited mbok?".

Di Rumah makan yang terbilang luas itu, kamu kompak mesen gurameh bakar. Cuma minumnya yang beda.

Ternyata, makanan nggak kunjung datang. Jadi ya sudah, kami main "gethek", nonton sepasang arapaima gigas, sampai keliling nggak jelas gitu.

Wah, makan makanan enak emang nggak bisa lama. Semua serasa cepat. Tiba-tiba udah habis aja. Semua di lahap kurang dari 15menit. Mungkin semua lagi lapar, kayak aku ini.

Semua menu udah dilahap habis. Tangan udah di cuci. Dan Kami pun beranjak balik.

Ah, ternyata kami terjebak hujan. Lebih tepatnya kami "menjemput" ujan. Tempat yang kami tuju udah ujan duluan.

Dan kami-pun menghabiskan waktu lebih dari satu jam, hanya untuk menanti hujan yang tak kunjung reda.