Tanya

Bergunakah?

18:05

Udah lama bikin blog. Tapi ada satu pertanyaan yang sangat mengganggu pikiranku. Meski udah dicoba buat nyari jawabannya, masih aja deh nggak nemu-nemu.

"Sejauh ini, apa blog yang kamu bikin itu berguna buat orang lain?"

Pertanyaan itu, temenku yang ngajuin. Sepele, tapi tetep aja nggak bisa jawab.

Hm, udah berguna nggak sih blogku ini.
Apa jangan-jangan, aku cuma bersenang-senang sendiri, - dengan menulis di blog.
dan akhirnya, semuanya cuma pecumtakgergun alias percuma dan tak berguna.
Wah-wah-wah....

Jepret

Koran Hari Ini

17:56

Ini kali kedua aku bikin postingan dalam bentuk foto. Nah, buat kali ini, aku mau mampangin gambar-gambar seputar para loper koran yang berebut koran Suara Merdeka.

Selasa (28/12) ini, memang nggak biasa. Sebab, ada pengumuman PNS 2010. Jadi, banyak orang yang mau menjual koran. Demi keuntungan, tentu.

Selain itu, proses pengiriman juga telat banget. Dari yang biasanya jam lima pagi udah nyampe, ini malah nyampe jam sembilan pagi. Molor banget kan.


BONGKAR MUAT
: Beberapa loper koran lagi mbantuin supir pengirim koran Suara Merdeka, bongkar muat koran, Selasa (28/12). Meski telat, nggak ada yang njelek-njelekin supir pengirim koran.



MENGHITUNG JATAH: Seorang pegawai Suara Merdeka perwakilan Purbalingga lagi menghitung jatah koran yang didapet. Setelah penghitungan selesai, koran baru dibagikan pada loper dan pedagang koran terbesar di Jateng itu.

[28/12/10]

Sobekan Kertas

Usaha Romantis

17:32

Ini sebuah petikan cerita dari SMS yang sempat mampir ke inbox hape punya seorang teman. Entah kenapa begitu menarik. Mungkin bukan lantaran faktor keromantisannya. Melainkan karena usaha romantis yang ternyata GAGAL!.
hahahaaaa

"Aku tuliskan sajak sederhana untuk dirimu,"

"Ya mana sajak sederhananya?"
"Mau tahu yah? Aku kira nggak mau,"
"Ya mau lah, sok pengen tahu,"
"Ah sungguh.
Aku tak mampu merangkai kata
tuk menggambarkan dirimu.
Apa memang nggak ada kata-kata indah yang tepat
buat menggambarkan dirimu?"
"Huem, aku kasihan sekali, masa nggak ada kata indah buat menggambarkan aku,"
"Saking indahnya koh,"
"Iya deh"
[28/12/10]

Tanya

Nggak Ada Pagar?

18:19

"Gimana kalau di dunia ini nggak ada pagar?"
Dari dulu, aku penasaran sama pertanyaan itu. Aku udah bisa nyari jawabannya sendiri. Tapi kok nggak nemu jawaban yang memuaskan.

Nah, kalau sekarang, aku juga nggak tau kenapa aku kembali teringat pertanyaan itu. Hm, gimana yah?

[20/12/10]

Sobekan Kertas

Lu Xun

17:19

"Ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan)," ujar dia, membuka pembicaraan.

Mendengar perkataan pria itu, dahiku mengeryit. Spontan. Aku memikirkan perkataannya yang sekonyong-konyong itu. Ah, tampaknya bukan memikirkan. Melainkan meragukan.

Semenjak aku kecil, banyak teman-teman seumuranku yang ingin jadi dokter. Tidak perduli dia kere atau kaya raya. Siapapun, berhak bercita-cita jadi dokter.

Alasan yang paling populer; mereka ingin menolong seseorang. Dan menolong selalu mengacu pada proses merubah merubah diri seseorang. Paling tidak, merubah dari sakit menjadi sehat.

Aku semakin meragukan, tatkala ingin masa aku kuliah. Saat berlabel mahasiswa, aku melihat banyak orang yang berbondong-bondong mendaftar untuk jadi mahasiswa kedokteran.

Modal yang digelontorkan pun tidak sekelas recehan. Akan tetapi ratusan juta. Rp 100 juta, Rp 160 juta, Rp 200 juta. Ah, kalau aku ingat, tiap tahun nominalnya semakin merangkak naik. Dan, aku tidak tahu, apakah itu bagian dari cita-cita mereka.

Tapi, ada semacam kesama-pandangan dengan dia yang sempat terselip di lekukan-lekukan otakku ini. Terlebih, saat aku ingat bagaimana pelayanan dokter yang asal-asalan pada orang yang sekarat. Saat aku ingat betapa mahalnya duit yang harus dibayar hanya untuk obat demam.

Ditengah kegalauan tanpa henti itu, aku mengajukan tanya. "Kenapa kau bisa berpikir demikian?" kata-kata itu meluncur begitu saja.

Dia tak tersenyum. Tatapannya masih saja tajam. Namun, dia tetap menjawab.

"Orang yang lemah dan terbelakang, sekalipun berbadan sehat-sehat, hanya menjadi saksi atas pemandangan yang sia-sia," tandas jebolan kampus Kedokteran itu.

Di dunia ini, tambah dia, banyak sekali pemandangan yang sangat sia-sia. Pemandangan yang hanya menampakan penindasan-penindasan yang kuat kepada yang lemah. Pemandangan yang menisbikan faktor kesehatan.

Sial. Sekali lagi, ada kesama-pandangan yang kembali terselip di otakku. Aku melihat apa yang dilihat pria yang membuang cita-citanya menjadi dokter cuma lantaran dia melihat adegan orang senegaranya yang diam melihat orang satu negarannya yang lain ditindas.

"Menurutku," katanya memecah keheninganku, "yang penting adalah mengubah (mental) mereka," ujar dia. Kata dia, yang dibutuhkan 'orang-orang sakit itu' adalah medical spiritual. Bukannya dokter.

Aku terperangah. Tak ada lagi kata perlawanan yang terucap. Mungkin jika aku berkaca, aku hanya akan menemui wajahku yang pucat pasi. "Lantas?" selidikku mencari pemecahan.

"Aku memilih sastra sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu," tandas Lu Xun, yang bernama asli Zhou Shuren.

[16/12/10]

Sobekan Kertas

Bahasa Nyastra?

17:01

Hari ini, ada yang nanya. Adik angkatanku di kampus itu, bertanya tentang cara menulis sastra. Dia hendak menulis karya ilmiahnya yang biasa kita kenal dengan kata 'skripsi'.

"Mas bantuin aku sih, bikin tulisan bergaya bahasa sastra tu kaya gimana?" begitu dia bertanya, lewat obrolan Facebook.

Baca pesannya, sekaligus awalan obrolan itu, aku bingung. Pertama, lantaran aku bukan seorang sastrawan. Kedua, aku sendiri masih belum tahu yang "bergaya bahasa sastra" itu semacam apa. Bahasa semacam apa.

"Gimana apanya?" akhirnya kata itu yang meluncur dari mulutku.

"Aduh mas, dibilang aku juga nggak mudeng. Keinginan mereka tuh memang begitu. Skripsi tuh jadi nggak kaku atau terlalu 'ilmiah'," jawab dia.

Temanku yang satu ini memang sudah pendadaran. Lulus memang. Tapi, satu-satunya pekerjaan rumah yang diberikan dosen pengujunya adalah mengubah bahasa yang dibangunnya dalam skripsinya itu. Sebuah PR yang mungkin lebih susah dibanding pendadaran itu sendiri.

Haduh, aku sebenarnya senang dengan niatan dosen itu. Mengubah skripsi yang singguh sialan itu menjadi sesuatu yang bisa dinikmati. Senikmat membaca novel Pramudya Ananta Toer, Dwe Lestari, atau malah Raditya "Si Kambing".

Tapi, aku malah jadi bingung, apa itu bahasa yang "nyastra". Apakah sesuatu yang lebay alias berlebihan khas lagu cinta di negeri ini. Atau cuma bahasa yang biasa saja, seperti bahasa yang aku dan kamu pakai.

Lalu, jika boleh aku bertanya, apa itu bahasa "nyastra"? Owalah dalah....

[15/12/2010]

Sobekan Kertas

Pesan Singkat yang Kamu Kirim

11:42

Mungkin cinta tak menuntut
Untuk dimiliki
Dan cinta tak selalu hadir
Tuk seseorang yang tepat
Cinta juga tak selalu adil saat berbagi
Tapi cintakan tetap indah
Meskipun pernah tersakiti
Itu isi pesan singkat yang kau kirim untukku, Jumat lalu. Jujur saja, pesan yang masuk sekitar pukul 21.00 itu sungguh mengagetkanku. Paling tidak, lantaran kamu memang tak pernah mengirim pesan macam itu.

Aku kaget. Aku juga bingung. "Kenapa kamu kirim pesan semacam itu?" tanyaku dalam hati.

Pikiranku jelas jadi tak menentu. Pikiranku semakin karut-marut karena aku belum bisa memahami, apa yang kamu bicarakan sebenarnya. Aku sudah membaca pesan itu berulang-ulang. Namun tak mampu pahami.

"Bicaralah segamblang-gamblangnya. Sejujur-jujurnya," Bukankan kata-kata itu selalu aku katakan padamu. Tapi kenapa kamu masih saja berbicara di balik simbol-simbol tak terpahamkan itu.

[12/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#22

17:16

Gitare endi yah? Aku kenchot koh yah.
Itu status di laman Facebook milikku hari ini. Kata-kata soal gitar dan kelaparan itu mungkin tidak ada hubungannya. Paling tidak buat sebagian orang.

Tapi, buatku jelas ada hubungannya. Mungkin juga buat sebagain temanku. Aku dan teman-temanku itu menganggap, bermain gitar adalah sebagian dari solusi untuk mengatasi kelaparan yang mendera.

Yah, mirip seorang pengamen saja. Hanya saja, kami bermain gitar bukan untuk dapat duit untuk makan. Genjrang-genjreng sana-sini. Kami bermain gitar dan bernyayi hanya untuk menahan lapar.

Kami selalu merasa, dengan bernyanyi sepuas hati, maka rasa lapar bisa sirna. Meski hanya untuk sementara waktu.

Hm, tapi memang tidak bisa kan? lapar jelas bukan soal persepsi atau data diatas kertas. lapar ya lapar. Obat lapar, ya makan kan.

Ah, sudah lah. Aku mau makan dulu.

Lapaaaaaaarrrr....

[10/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#21

18:39

Dilihat dari mana pun, aku jelas bukan Socrates. Seorang yang dilabeli filsuf lantaran hobi bertanya sana kemari. Terutama di pasar-pasar. Bertanya sampai puas. Sampai tak ada jawaban yang bisa diberikan.

Lantaran itu pula, tidak sedikit, pada zamannya, pria asal Yunani itu dianggap sebagai orang gila. Tak sedikit pula yang membencinya.

Bahkan, sebelum Socrates dihukum mati dengan meminum racun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Aristophanes mengimajinasikan Socrates lari tunggang langgang lantaran sekolahnya, Toko Pikiran, dibakar ramai-ramai oleh warga.

Aristhopanes, yang memusuhi guru filsafat kaum muda itu, melakonkan khayalannya dalam sebuah lakon yang dipentaskan di tahun 423 Sebelum Masehi. Sebagai seorang konservatif, ia tak percaya pada sikap skeptis yang diajarkan itu.

Ah, aku jelas bukan Socrates. Dilihat dari mana pun. Aku bukan penanya yang cerewet. Bukan pula orang yang bisa berpikir terlalu mendalam. Duduk bersila, lantas memegang dagu.

Hmh. Sudahlah. Nampaknya percuma mengulang-ulang penjelasan semua itu. Toh, aku memang bukan Socrates. Sekalipun, jika di dunia ini benar-benar ada yang namanya reinkarnasi.

Cuma, belakangan ini, aku merasa, sensasi bertanya. Aku merasa, dalam dialog-dialog kecilku, dari hari ke hari selalu menghasilkan semacam sensasi. Sebuah sensasi yang mengantarku pada dunia yang berbeda-beda.

Setiap harinya, ah bukan. Setiap detiknya, aku dipertemukan dengan orang yang berbeda satu sama lain. Berbincang dengan berbagai sudut pandang, isi otak dan tema yang berbeda-beda. Tak saling mengenal, namun, kemudian terikat dengan apa yang diperbincangkan.

Selepas aku bertanya, terkadang aku berpikir; seperti inikah seorang filsuf memainkan eksistensinya. Bertanya ke sana kemari. Dengan orang-orang yang mulanya tak dikenal. Seperti halnya Socrates, mungkin.

Bersamaan dengan itu pula, aku juga berpikir; apakah aku dicintai, dibenci, atau dianggap gila. Seperti halnya Filsuf-filsuf, dulu.

Tapi, aku jelas tidak bisa memberikan balasan atas perasaan yang diberikan oleh orang-orang yang telah aku temui. Telah aku ajak berbincang, walau hanya sebentar. Hidupku dituntut untuk menjadi asosial. Bukan antisosial.

Maka itu, terkadang, terbesit di otakku, aku tak ubahnya lalat-lalat di pasar. Layaknya digambarkan Zarathustra. Hidup di keramaian, namun sebenarnya tetap saja hidup sendiri. Teralienasi. Menjadi bagian, namun tetap saja bukan bagian.

Namun, aku jelas menikmati pekerjaan bertanya ini. Banyak cerita. Banyak kepuasan. Banyak sensasi. Mungkin ini yang menyebabkan Socrates rela menenggak racun.

Tunggu dulu, apakah aku terlalu tinggi membandingkan diri? Hmm.

[08/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#20

18:36

Untuk kesekian kalinya, aku membaca 'catatan pinggir' majalah Tempo. Tulisan yang dibuat secara berkala, mingguan, oleh Goenawan Muhammad itu selalu membikin bingung. Sekaligus penasaran. Entah hanya aku-kah yang merasakan demikian setiap membaca 'caping'.

Hari ini, aku membaca caping yang berjudul orakel. Sebuah sarana untuk menjembatani "jarak antara dewa-dewa dan manusia", yang sebenarnya nggak gampang buat dijembatani.

Tapi, sekali lagi, aku bingung. bukan bingun dengan alur ceritanya. Melainkan, bingung sebenarnya dia itu sedang bicara dengan siapa? Terkadang, aku memang tidak pernah mengerti, dia berbicara dengan siapa. Kalau seorang teman bilang, GM menggunakan bahasa "langit".

Lewat orakel, GM berbicara tentang dewa-dewa, soal monotheisme, politheisme dan juga pantheistik. Aku lantas berpikir, apa di Indonesia ini muncul tema-tema seputaran itu? Ah, apakah cerita kali ini ada hubungannya dengan keributan di Yogyakarta? Aku bingung.

Meski berulang kali bingung, aku selalu suka membaca caping. Salah satunya lantaran gaya bahasa dan diksi yang terpakai. Namun, setelah baca caping, selalu ada pertanyaan yang muncul. "Sebenarnya, apa yang kamu baca?"

Jujur saja aku ingin bertanya soal itu. Aku heran betul, kenapa dia punya banyak cerita, banyak sudut cerita yang bisa digunakan. Hingga rasanya dia melangkah seribu langkah lebih jauh dari pada aku.

"Katakanlah itu takhayul. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya." Yah, dengan kata-kata itulah orakel ditutup.

Mungkin tulisan itu buatku masih absurb. Mungkin lantaran dangkalnya otakku. Tapi mungkin benar juga, siapa tahu ada yang berharga di dalamnnya (di otakku).

[03/12/2010]

Sobekan Kertas

Ceramah

17:53

Dilihat dari manapun, ini jelas bukan kali pertama buatku. Rasanya, kalau tak salah mengingat, aku sudah merasai hal ini, sejak aku menapakan kaki di dunia yang sedang kugeliti. Jadi, jelas bukan hal yang asing buatku.

Tapi, entah kenapa, rasanya berbeda. Asing. Baru. Ah, mungkin karena aku sudah lama sudah tidak kena ceramah saat berkerja.

Huh. Aku memang tiak menyangka bisa kena ceramah. Saat itu, aku cuma berdua. Dan, saat itupun, tampaknya, pembicaraan kami itu sudah hampir berakhir. Tapi, entah malaikat mana yang membisiki dia untuk memberikan petuah.

Dia berbicara terus-menerus. Sementara aku, hanya memegangi lenganku yang berbalut jaket kain warna coklat. Aku hanya diam. Sesekali melempar senyum dan manggut-manggut.

"Jangan membuat fitnah. Jangan menyakiti orang lain," begitu katanya, tiba-tiba.

Ah, aku kaget betul saat itu. Bukan soal aku jarang mengikuti ceramah secara langsung, kecuali saat Sholat Jumat. Tapi lebih disebabkan, apa yang dia katakan itu.

"Kenapa anda bilang seperti itu?" tanyaku. Tapi, hanya dalam hati.

Aku menangkap kesan, aku ini selayaknya seorang penyebar fitnah yang tak bertanggung jawab betul. Pengumbar kesalahan orang yang hobi lempar batu sembunyi tangan. Pria yang datang mendekat hanya untuk mencari celah untuk menjatuhkan.

Sial betul aku ini. Mendapatkan label semacam itu. Apa aku serendah itu. Apa aku se-"bau kencur" itu. Betul-betul.

Kata-kata dan pertanyaan semacam itu justru yang berlalu lalang dipikaranku. Sampai-sampai, yang apa-apa yang dikatakannya tak masuk ke telingaku, yang sebelah manapun. Aku bukan sedang difensif dengan ilmu yang diberikan. Hanya saja, seburuk itukah profesiku. Hingga perlu senantiasa "ditatar".

Saat, aku melepas genggamanku, aku tersadar dia mengatakan sesuatu. "Ini kata-kata Nabi Muhamad, yang disampaikan melalui sunah dan hadist," tuturnya.

Sekali lagi, aku tak sedang menghiraukan semua petuah indahmu. Aku hanya sedang berpikir. Memikirkan, sebenarnya bagaimana pola pikir yang dia pakai. Atau mungkin yang mereka pakai.

[02/12/2010]

Sobekan Kertas

Eneng

18:29

Eneng. Begitu namanya. Aku tak terlalu yakin, lima huruf itu namanya. Aku tak yakin. Tapi, aku tak mampu berbuat banyak untuk lebih tau namanya yang sesungguhnya. Sebab, perempuan berambut panjang itupun hanya ingin dipanggil dengan nama itu. "Panggil saja, Eneng," ucap dia.

Penampilan Eneng, sangat menarik perhatian. Kaos berwarna merah jambu, melekat kuat di tubuhnya. Sementara itu, rok mini, sangat mini, melingkar dipanggulnya. Warnanya hitam dan berumbai-rumbai. Bagi mata seorang pria, jelas sangat menarik perhatian. Minimal, melirik.

Malam itu, perempuan berperawakan kecil itu memulai berbincang denganku. Namun, caranya agak aneh. Kami saling tanya, dengan menggunakan layanan "pesan" di hape. Bukan saling SMSan. Hanya saling meninjukan jawaban dan pertanyaan lewat monitor.

"Mirip kayak anak SMA yah," komentarku soal cara berkomunikasi aku dan Eneng.

Tapi, mungkin, cara itu memang yang paling pas buat kami berbincang. Tempat kami berbincang, memang sangat bising. Ruangannya juga gelap. Hanya sebersit sinar hijau menerangi. Asap rokok-pun, sangat peka terasa. Dan Eneng pun ternyata tak tahan dengan asap rokok.

"Mataku udah perih banget nih. Tolong ambilin tisu dong," pintanya. Aku mengambilkan tisu, beserta wadahnya yang putih warnanya.

Kami berbincang lagi. Ternyata Eneng, mahasiswa D3 di Unsoed Purwokerto. Masuk 2007, dan baru lulus tahun ini. Dia dari daerah Pengandaran, Ciamis.

"Pantai yah," kataku spontan. Aku sendiri bingung, kenapa kata itu malah yang keluar. Seakan yang ada di otak hanya kata: pantai. Tapi, mau bagaimana lagi, memang begitu adanya.

Tapi, berkat ketololanku berkomentar itu, pikiranku malah jadi bertanya-tanya. Benarkah dia semuda itu. Kok rasanya dia terlampau tua untuk umur segitu. Atau tren yang ada memang begitu adanya. Umur muda, muka "boros".

Itu baru satu pertanyaan yang urung kutanyakan. Sebenarnya, aku ingin tanya; apakah kamu itu yang disebut ayam kampus? Kalau iya, sudah berapa lama? Ah, tapi tak pantas. Rasanya begitu.

Dua jam, hampir. Musik terus bertalu-talu. Entah apa saja yang udah masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Atau juga sebaliknya. Entah.

Yang terang, Eneng yang masih cari pekerjaan, tak jua mengeluarkan suaranya yang seirama dengan alunan musik. Mungkin hanya beberapa bait. Mungkin hanya beberapa kata. Eneng mengaku tak bisa menyanyi. "aku suka lagi ya sudah lah," tutur dia.

Dua jam, kali ini, sudah berlalu. Eneng dan temannya pergi dengan kedua temanku. Entah kemana. Mereka pergi dengan mobil. "Mereka mau....," ucap temanku yang lain.

[01/12/2010]