Catatan Kecil Hari ini

#22

17:16

Gitare endi yah? Aku kenchot koh yah.
Itu status di laman Facebook milikku hari ini. Kata-kata soal gitar dan kelaparan itu mungkin tidak ada hubungannya. Paling tidak buat sebagian orang.

Tapi, buatku jelas ada hubungannya. Mungkin juga buat sebagain temanku. Aku dan teman-temanku itu menganggap, bermain gitar adalah sebagian dari solusi untuk mengatasi kelaparan yang mendera.

Yah, mirip seorang pengamen saja. Hanya saja, kami bermain gitar bukan untuk dapat duit untuk makan. Genjrang-genjreng sana-sini. Kami bermain gitar dan bernyayi hanya untuk menahan lapar.

Kami selalu merasa, dengan bernyanyi sepuas hati, maka rasa lapar bisa sirna. Meski hanya untuk sementara waktu.

Hm, tapi memang tidak bisa kan? lapar jelas bukan soal persepsi atau data diatas kertas. lapar ya lapar. Obat lapar, ya makan kan.

Ah, sudah lah. Aku mau makan dulu.

Lapaaaaaaarrrr....

[10/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#21

18:39

Dilihat dari mana pun, aku jelas bukan Socrates. Seorang yang dilabeli filsuf lantaran hobi bertanya sana kemari. Terutama di pasar-pasar. Bertanya sampai puas. Sampai tak ada jawaban yang bisa diberikan.

Lantaran itu pula, tidak sedikit, pada zamannya, pria asal Yunani itu dianggap sebagai orang gila. Tak sedikit pula yang membencinya.

Bahkan, sebelum Socrates dihukum mati dengan meminum racun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Aristophanes mengimajinasikan Socrates lari tunggang langgang lantaran sekolahnya, Toko Pikiran, dibakar ramai-ramai oleh warga.

Aristhopanes, yang memusuhi guru filsafat kaum muda itu, melakonkan khayalannya dalam sebuah lakon yang dipentaskan di tahun 423 Sebelum Masehi. Sebagai seorang konservatif, ia tak percaya pada sikap skeptis yang diajarkan itu.

Ah, aku jelas bukan Socrates. Dilihat dari mana pun. Aku bukan penanya yang cerewet. Bukan pula orang yang bisa berpikir terlalu mendalam. Duduk bersila, lantas memegang dagu.

Hmh. Sudahlah. Nampaknya percuma mengulang-ulang penjelasan semua itu. Toh, aku memang bukan Socrates. Sekalipun, jika di dunia ini benar-benar ada yang namanya reinkarnasi.

Cuma, belakangan ini, aku merasa, sensasi bertanya. Aku merasa, dalam dialog-dialog kecilku, dari hari ke hari selalu menghasilkan semacam sensasi. Sebuah sensasi yang mengantarku pada dunia yang berbeda-beda.

Setiap harinya, ah bukan. Setiap detiknya, aku dipertemukan dengan orang yang berbeda satu sama lain. Berbincang dengan berbagai sudut pandang, isi otak dan tema yang berbeda-beda. Tak saling mengenal, namun, kemudian terikat dengan apa yang diperbincangkan.

Selepas aku bertanya, terkadang aku berpikir; seperti inikah seorang filsuf memainkan eksistensinya. Bertanya ke sana kemari. Dengan orang-orang yang mulanya tak dikenal. Seperti halnya Socrates, mungkin.

Bersamaan dengan itu pula, aku juga berpikir; apakah aku dicintai, dibenci, atau dianggap gila. Seperti halnya Filsuf-filsuf, dulu.

Tapi, aku jelas tidak bisa memberikan balasan atas perasaan yang diberikan oleh orang-orang yang telah aku temui. Telah aku ajak berbincang, walau hanya sebentar. Hidupku dituntut untuk menjadi asosial. Bukan antisosial.

Maka itu, terkadang, terbesit di otakku, aku tak ubahnya lalat-lalat di pasar. Layaknya digambarkan Zarathustra. Hidup di keramaian, namun sebenarnya tetap saja hidup sendiri. Teralienasi. Menjadi bagian, namun tetap saja bukan bagian.

Namun, aku jelas menikmati pekerjaan bertanya ini. Banyak cerita. Banyak kepuasan. Banyak sensasi. Mungkin ini yang menyebabkan Socrates rela menenggak racun.

Tunggu dulu, apakah aku terlalu tinggi membandingkan diri? Hmm.

[08/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#20

18:36

Untuk kesekian kalinya, aku membaca 'catatan pinggir' majalah Tempo. Tulisan yang dibuat secara berkala, mingguan, oleh Goenawan Muhammad itu selalu membikin bingung. Sekaligus penasaran. Entah hanya aku-kah yang merasakan demikian setiap membaca 'caping'.

Hari ini, aku membaca caping yang berjudul orakel. Sebuah sarana untuk menjembatani "jarak antara dewa-dewa dan manusia", yang sebenarnya nggak gampang buat dijembatani.

Tapi, sekali lagi, aku bingung. bukan bingun dengan alur ceritanya. Melainkan, bingung sebenarnya dia itu sedang bicara dengan siapa? Terkadang, aku memang tidak pernah mengerti, dia berbicara dengan siapa. Kalau seorang teman bilang, GM menggunakan bahasa "langit".

Lewat orakel, GM berbicara tentang dewa-dewa, soal monotheisme, politheisme dan juga pantheistik. Aku lantas berpikir, apa di Indonesia ini muncul tema-tema seputaran itu? Ah, apakah cerita kali ini ada hubungannya dengan keributan di Yogyakarta? Aku bingung.

Meski berulang kali bingung, aku selalu suka membaca caping. Salah satunya lantaran gaya bahasa dan diksi yang terpakai. Namun, setelah baca caping, selalu ada pertanyaan yang muncul. "Sebenarnya, apa yang kamu baca?"

Jujur saja aku ingin bertanya soal itu. Aku heran betul, kenapa dia punya banyak cerita, banyak sudut cerita yang bisa digunakan. Hingga rasanya dia melangkah seribu langkah lebih jauh dari pada aku.

"Katakanlah itu takhayul. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya." Yah, dengan kata-kata itulah orakel ditutup.

Mungkin tulisan itu buatku masih absurb. Mungkin lantaran dangkalnya otakku. Tapi mungkin benar juga, siapa tahu ada yang berharga di dalamnnya (di otakku).

[03/12/2010]