Sobekan Kertas

Lu Xun

17:19

"Ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan)," ujar dia, membuka pembicaraan.

Mendengar perkataan pria itu, dahiku mengeryit. Spontan. Aku memikirkan perkataannya yang sekonyong-konyong itu. Ah, tampaknya bukan memikirkan. Melainkan meragukan.

Semenjak aku kecil, banyak teman-teman seumuranku yang ingin jadi dokter. Tidak perduli dia kere atau kaya raya. Siapapun, berhak bercita-cita jadi dokter.

Alasan yang paling populer; mereka ingin menolong seseorang. Dan menolong selalu mengacu pada proses merubah merubah diri seseorang. Paling tidak, merubah dari sakit menjadi sehat.

Aku semakin meragukan, tatkala ingin masa aku kuliah. Saat berlabel mahasiswa, aku melihat banyak orang yang berbondong-bondong mendaftar untuk jadi mahasiswa kedokteran.

Modal yang digelontorkan pun tidak sekelas recehan. Akan tetapi ratusan juta. Rp 100 juta, Rp 160 juta, Rp 200 juta. Ah, kalau aku ingat, tiap tahun nominalnya semakin merangkak naik. Dan, aku tidak tahu, apakah itu bagian dari cita-cita mereka.

Tapi, ada semacam kesama-pandangan dengan dia yang sempat terselip di lekukan-lekukan otakku ini. Terlebih, saat aku ingat bagaimana pelayanan dokter yang asal-asalan pada orang yang sekarat. Saat aku ingat betapa mahalnya duit yang harus dibayar hanya untuk obat demam.

Ditengah kegalauan tanpa henti itu, aku mengajukan tanya. "Kenapa kau bisa berpikir demikian?" kata-kata itu meluncur begitu saja.

Dia tak tersenyum. Tatapannya masih saja tajam. Namun, dia tetap menjawab.

"Orang yang lemah dan terbelakang, sekalipun berbadan sehat-sehat, hanya menjadi saksi atas pemandangan yang sia-sia," tandas jebolan kampus Kedokteran itu.

Di dunia ini, tambah dia, banyak sekali pemandangan yang sangat sia-sia. Pemandangan yang hanya menampakan penindasan-penindasan yang kuat kepada yang lemah. Pemandangan yang menisbikan faktor kesehatan.

Sial. Sekali lagi, ada kesama-pandangan yang kembali terselip di otakku. Aku melihat apa yang dilihat pria yang membuang cita-citanya menjadi dokter cuma lantaran dia melihat adegan orang senegaranya yang diam melihat orang satu negarannya yang lain ditindas.

"Menurutku," katanya memecah keheninganku, "yang penting adalah mengubah (mental) mereka," ujar dia. Kata dia, yang dibutuhkan 'orang-orang sakit itu' adalah medical spiritual. Bukannya dokter.

Aku terperangah. Tak ada lagi kata perlawanan yang terucap. Mungkin jika aku berkaca, aku hanya akan menemui wajahku yang pucat pasi. "Lantas?" selidikku mencari pemecahan.

"Aku memilih sastra sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu," tandas Lu Xun, yang bernama asli Zhou Shuren.

[16/12/10]

Sobekan Kertas

Bahasa Nyastra?

17:01

Hari ini, ada yang nanya. Adik angkatanku di kampus itu, bertanya tentang cara menulis sastra. Dia hendak menulis karya ilmiahnya yang biasa kita kenal dengan kata 'skripsi'.

"Mas bantuin aku sih, bikin tulisan bergaya bahasa sastra tu kaya gimana?" begitu dia bertanya, lewat obrolan Facebook.

Baca pesannya, sekaligus awalan obrolan itu, aku bingung. Pertama, lantaran aku bukan seorang sastrawan. Kedua, aku sendiri masih belum tahu yang "bergaya bahasa sastra" itu semacam apa. Bahasa semacam apa.

"Gimana apanya?" akhirnya kata itu yang meluncur dari mulutku.

"Aduh mas, dibilang aku juga nggak mudeng. Keinginan mereka tuh memang begitu. Skripsi tuh jadi nggak kaku atau terlalu 'ilmiah'," jawab dia.

Temanku yang satu ini memang sudah pendadaran. Lulus memang. Tapi, satu-satunya pekerjaan rumah yang diberikan dosen pengujunya adalah mengubah bahasa yang dibangunnya dalam skripsinya itu. Sebuah PR yang mungkin lebih susah dibanding pendadaran itu sendiri.

Haduh, aku sebenarnya senang dengan niatan dosen itu. Mengubah skripsi yang singguh sialan itu menjadi sesuatu yang bisa dinikmati. Senikmat membaca novel Pramudya Ananta Toer, Dwe Lestari, atau malah Raditya "Si Kambing".

Tapi, aku malah jadi bingung, apa itu bahasa yang "nyastra". Apakah sesuatu yang lebay alias berlebihan khas lagu cinta di negeri ini. Atau cuma bahasa yang biasa saja, seperti bahasa yang aku dan kamu pakai.

Lalu, jika boleh aku bertanya, apa itu bahasa "nyastra"? Owalah dalah....

[15/12/2010]

Sobekan Kertas

Pesan Singkat yang Kamu Kirim

11:42

Mungkin cinta tak menuntut
Untuk dimiliki
Dan cinta tak selalu hadir
Tuk seseorang yang tepat
Cinta juga tak selalu adil saat berbagi
Tapi cintakan tetap indah
Meskipun pernah tersakiti
Itu isi pesan singkat yang kau kirim untukku, Jumat lalu. Jujur saja, pesan yang masuk sekitar pukul 21.00 itu sungguh mengagetkanku. Paling tidak, lantaran kamu memang tak pernah mengirim pesan macam itu.

Aku kaget. Aku juga bingung. "Kenapa kamu kirim pesan semacam itu?" tanyaku dalam hati.

Pikiranku jelas jadi tak menentu. Pikiranku semakin karut-marut karena aku belum bisa memahami, apa yang kamu bicarakan sebenarnya. Aku sudah membaca pesan itu berulang-ulang. Namun tak mampu pahami.

"Bicaralah segamblang-gamblangnya. Sejujur-jujurnya," Bukankan kata-kata itu selalu aku katakan padamu. Tapi kenapa kamu masih saja berbicara di balik simbol-simbol tak terpahamkan itu.

[12/12/2010]