Sobekan Kertas

Usaha Romantis

17:32

Ini sebuah petikan cerita dari SMS yang sempat mampir ke inbox hape punya seorang teman. Entah kenapa begitu menarik. Mungkin bukan lantaran faktor keromantisannya. Melainkan karena usaha romantis yang ternyata GAGAL!.
hahahaaaa

"Aku tuliskan sajak sederhana untuk dirimu,"

"Ya mana sajak sederhananya?"
"Mau tahu yah? Aku kira nggak mau,"
"Ya mau lah, sok pengen tahu,"
"Ah sungguh.
Aku tak mampu merangkai kata
tuk menggambarkan dirimu.
Apa memang nggak ada kata-kata indah yang tepat
buat menggambarkan dirimu?"
"Huem, aku kasihan sekali, masa nggak ada kata indah buat menggambarkan aku,"
"Saking indahnya koh,"
"Iya deh"
[28/12/10]

Tanya

Nggak Ada Pagar?

18:19

"Gimana kalau di dunia ini nggak ada pagar?"
Dari dulu, aku penasaran sama pertanyaan itu. Aku udah bisa nyari jawabannya sendiri. Tapi kok nggak nemu jawaban yang memuaskan.

Nah, kalau sekarang, aku juga nggak tau kenapa aku kembali teringat pertanyaan itu. Hm, gimana yah?

[20/12/10]

Sobekan Kertas

Lu Xun

17:19

"Ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan)," ujar dia, membuka pembicaraan.

Mendengar perkataan pria itu, dahiku mengeryit. Spontan. Aku memikirkan perkataannya yang sekonyong-konyong itu. Ah, tampaknya bukan memikirkan. Melainkan meragukan.

Semenjak aku kecil, banyak teman-teman seumuranku yang ingin jadi dokter. Tidak perduli dia kere atau kaya raya. Siapapun, berhak bercita-cita jadi dokter.

Alasan yang paling populer; mereka ingin menolong seseorang. Dan menolong selalu mengacu pada proses merubah merubah diri seseorang. Paling tidak, merubah dari sakit menjadi sehat.

Aku semakin meragukan, tatkala ingin masa aku kuliah. Saat berlabel mahasiswa, aku melihat banyak orang yang berbondong-bondong mendaftar untuk jadi mahasiswa kedokteran.

Modal yang digelontorkan pun tidak sekelas recehan. Akan tetapi ratusan juta. Rp 100 juta, Rp 160 juta, Rp 200 juta. Ah, kalau aku ingat, tiap tahun nominalnya semakin merangkak naik. Dan, aku tidak tahu, apakah itu bagian dari cita-cita mereka.

Tapi, ada semacam kesama-pandangan dengan dia yang sempat terselip di lekukan-lekukan otakku ini. Terlebih, saat aku ingat bagaimana pelayanan dokter yang asal-asalan pada orang yang sekarat. Saat aku ingat betapa mahalnya duit yang harus dibayar hanya untuk obat demam.

Ditengah kegalauan tanpa henti itu, aku mengajukan tanya. "Kenapa kau bisa berpikir demikian?" kata-kata itu meluncur begitu saja.

Dia tak tersenyum. Tatapannya masih saja tajam. Namun, dia tetap menjawab.

"Orang yang lemah dan terbelakang, sekalipun berbadan sehat-sehat, hanya menjadi saksi atas pemandangan yang sia-sia," tandas jebolan kampus Kedokteran itu.

Di dunia ini, tambah dia, banyak sekali pemandangan yang sangat sia-sia. Pemandangan yang hanya menampakan penindasan-penindasan yang kuat kepada yang lemah. Pemandangan yang menisbikan faktor kesehatan.

Sial. Sekali lagi, ada kesama-pandangan yang kembali terselip di otakku. Aku melihat apa yang dilihat pria yang membuang cita-citanya menjadi dokter cuma lantaran dia melihat adegan orang senegaranya yang diam melihat orang satu negarannya yang lain ditindas.

"Menurutku," katanya memecah keheninganku, "yang penting adalah mengubah (mental) mereka," ujar dia. Kata dia, yang dibutuhkan 'orang-orang sakit itu' adalah medical spiritual. Bukannya dokter.

Aku terperangah. Tak ada lagi kata perlawanan yang terucap. Mungkin jika aku berkaca, aku hanya akan menemui wajahku yang pucat pasi. "Lantas?" selidikku mencari pemecahan.

"Aku memilih sastra sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu," tandas Lu Xun, yang bernama asli Zhou Shuren.

[16/12/10]