#14

08:04

Sudah beberapa kali aku lalui jalan itu. Bosan? Tidak juga. Untuk kali ini, menapaki jalan bukan lagi sebuah kebosanan yang berulang-ulang. Tapi aku malah menikmatinya. Dalam setiap tengokan yang aku lakukan, selalu ada hal yang menarik perhatian. Jalan tembus Banyumas-Patikraja masih menyimpan begitu banyak rahasia.

Pun begitu dengan hari ini. Aku lalui jalan yang lebarnya mungkin tak lebih dari enam meter. Yang ada di benak, adalah begitu ramainya jalan ini. Mulai dari motor hingga truk pun betah melewatinya. Tidak siang, tidak juga malam. Ramai. Mungkin bukan saja lantaran jarak yang bisa terpotong, tapi juga karen akemulusan jalan itu.

Kali ini, bukan kantor desa yang begitu menawan di pandangan mataku. Kali ini, aku tidak berkenan menjamah ruang kerja pemimpin desa itu. Yang menjadi primadona siang itu hanyalah ruangan yang luasnya tak lebih dari 5 m2. Warung mie ayam.

Hari memang sudah terlampau siang. Perutku juga sudah keroncongan. Padahal, tadi pagi sudah makan mie goreng. Ah, tapi memang sangat lapar. Terlebih, matahari sangat terik. Membuat tenaga yang sudah di-charge mie goreng pun cepat terserap.

Tapi, seperti hanya dengan kantor desa yang selalu aku perhatikan sembari mengendalikan motor. Warung mie ayam itu pun sama menariknya buatku. Bukan hanya lantaran nafsu yang segera dipenuhi. Tapi, hanya ingin mencoba merasakan racikan mie, minyak goreng dan cesim.

Mie ayam itu berada di Desa Wlahar Wetan Kecamatan Kaliori Banyumas.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju warung kecil itu. Motor terparkir, helm pun tergeletak di bangku. "Mie ayame setunggal pak," kataku.

Selang beberapa lama, aku kagetnya bukan kepalang. "Walah, ternyata masih ada mie ayang sebanyak ini. Melebihi mangkuk yang mewadahi," pikirku.

Mangkuk memang ukuran standar, tapi isinya, jelas melebihi porsi yang selama ini ada di Purwokerto. Apalagi dengan duit pas-pasan. Kan bisa repot kalau ternyata tidak bisa bawa uang cukup. Mana di desa yang jauh dari tempat tinggal.

"Rp 4000," jawab si penjual saat aku tanya harga satu porsi mie ayam plus es teh. Sembari menyembunyikan muka kaget, aku membayar dengan uang Rp 5000. Lantas memacu motorku lagi.

Sepanjang jalan, aku terus berpikir; apa bapak penjual mie ayam itu tidak rugi? Sedangkan aku tahu, kalau di Purwokerto atau kota besar lainnya harga satu prosi mie ayam tidak akan meneytuh angka Rp 4000. Semua harganya jelas di atasnya.

Selain soal harga, aku juga berpikir soal perbedaan kota dan desa. Tentang cara berpikir. Tentang toleransi. Tentang orientasi. Tentang relasi. Tentang penghargaan. Tentang pembangunan. Dan tentang, tentang yang lain, yang mungkin sudah tidak nyambung lagi dengan mie ayam yang lumayan enak itu.

Ternyata memang banyak perbedaan antara desa dan kota. Tidak perlu membanding kan dengan kota-kota metropolitan yang ada di Indonesia. Cukup melihat dalam Kabupaten Banyumas saja. Aku kira itu cukup.

Tapi yang jadi persoalan adalah satuhal, paling tidak saat aku menuliskan ini; pantaskan perbedaan itu dicari-cari. "Perbedaan itu untuk saling mewarnai" begitu orang bijak dikutip. Seperti halnya Bhineka Tunggal Ika.

[4/10/2010]

You Might Also Like

0 komentar