Catatan Kecil Hari ini

#8

10:29

"Mas, baca catatanku donk!"

Baca catatan. Belakangan, rutinitas macam itu yang aku lakuin pas lagi FBan. Awalnya sih, cuma buat seliangan biar nggak bosen aja.

Pas pertama-tama, aku cuma sempet baca catatan yang aku di-tag. Males juga kan kalo musti buka dinding orang-seorang. Tapi, selanjutnya malah jadi keranjingan gitu. Catatan yang punya judul menarik, ya dibaca aja. Dikasih komen juga. Meski nggak di-tag.

Kalo boleh jujur, tulisan temen-temen SMA,- bener-bener anak SMA lho yah, yang bikin aku malah suka baca catatan. Terlepas dari gaya menuliskannnya, aku belajar banyak dari mereka. Itu pasti.

Tapi, ada yang paling menarik dari catatan temen-temen SMA itu. Ini lebih dari sekedar judul tulisan yang seadanya, tema yang asik menggelitik, atau malah cara bercerita yang eksplosif.

Lebih dari itu. Yang menarik itu adalah ternyata, mereka itu bisa bikin catatan dalam sehari lebih dari satu. Dan itu dilakukan setiap harinya. "Bikin note kayak gini lama-lama jadi hobiku," kata seorang teman.

Coba bandingkan dengan para mahasiswa itu (termasuk para aktifis kampus). Jangan diliat dari panjang-pendeknya tulisan yang dibikin. Melainkan intensitas menulisnya. Ah, aku sendiri malu mengakuinya.

Malah gara-gara catatan temen-temen SMA itu, aku pernah iseng nanya sama seorang mahasiswa. "Berapa catatan yang pernah dibikin di FB?".

"Hehehehehehe..." Cuma begitu jawabannya yang dikasih.

Selain soal intensitas menulis, ada lagi hal yang menurutku menarik. Mereka itu yah, jarang banget sengaja nge-tag temen-temennya buat ngeliat tulisan yang dibikinnya itu. Menulis. Terbitkan. Itu pola yang lazim mereka lakuin.

Sekali lagi, coba bandingkan dengan kaum intelektual semacam mahasiswa. Kalo kita, pasti langsung tag orang. Bukan urusan bila itu ternyata tulisan pertama kita.

Aku nggak pernah bermaksud buat membandingkan, lantas melebih-lebihkan salah satu di antara keduanya. Aku hanya ingin bercerita sebagaimana temen-temen SMA itu bercerita banyak hal padaku.

Catatan Kecil Hari ini

#7

10:25

Hampir setengah hari aku online FB. Waktu yang di luar kebiasaan. Bosan, jelas. Terlebih lagi, lantaran nggak ada teman yang bisa diajak ngobrol.

Tapi, setelah ngbrol dengan dua perempuan dari dua fakultas yang beda. Jadi ada satu hal yang bikin akau tersentak. Menjadi sedikit bergairah lagi.

Ngalor-ngidul, mulanya. Banyak hal yang dipergunjingkan. Namun, ternyata, ngobrol dengan dua gadis itu ada kesamaannya. Sama-sama ngobrol soal Semester Pendek alias SP.

"Tuntutan orang tua lah," kata mahasiswi fisip 2008. Orang tuanya ternyata menuntut putrinya itu cepat lulus. Yah, meskipun habis lulus, entah mau apa.

Jika yang satu alasan tuntutan orang tua, nah yang mahasiswi ekonomi malah didorong rasa penasaran. Perempuan berjilbab angkatan 2009 itu penasaran dengan bagaimana proses SP. Dan apa yang sebeneranya dirasakan sama mahasiswa yang ikutan SP itu. "Aku nggak pengen ngecap begitu aja" ungkapnya.

Program kuliah 1,5 bulan itu memang bukan hal baru. Pro-kontra sudah ada sedari aku masuk kuliah. Tapi ya itu, SP nggak tergoyahkan eksistensinya.

Malah seiring dengan waktu, SP jadi semacam kebutuhan primer mahasiswa di Unsoed. Nggak perduli angkatan berapa pun. Aktivis anti komersialisasi atau bukan.

Ini menarik, khususnya buat aku. Jika dulu mahasiswa pro-kontra pada ranah esensi SP sebagai bentuk komersialisasi pendidikan dan dianggap mencederai proses belajar. Kalo sekarang, pro-kontranya malah seputaran harga SKS yang musti di bayar.

"20ribu, SP= Semester Pendek. 50ribu, SP= Semi Proyekan." Kalo nggak salah sampai ada poster buatan tangan yang di tempel di Kampus Orange.

Bahkan, aku beberapa kali melihat kalo ternyata konsumsi SP di mahasiswa angkatan 2009 terbilang tinggi. Malahan, mereka sudah bersiap-siap mengarungi SP selama 1,5 bulan kedepan.

Aku sendiri juga bingung kenapa begitu. Kualitas materi yang meningkat atau kualitas mahasiswanya yang turun.

Hm, aku masih nggak ngerti pemikiran mahasiswa jaman sekarang. Mungkin benar, aku terlampau tua untuk memahami apa yang mereka pikirkan soal kuliah.

15-06-2010

Catatan Kecil Hari ini

#6

10:20

"Benih Yang Berkualitas Menghasilkan Buah Yang Berkualitas."


Kata-kata yang menarik itu jadi judul acara penerimaan anggota baru LPM Husbandry Fakultas Peternakan, 11-13 Juni. Pesertanya, jelas, para calon anggota baru LPM yang sekrang diketuai Gani (aku lupa nama lengkapnya).

Nampaknya acaranya mulur. Terbukti, saat aku datang, Apank masih ngerokok di sekre Husbandry. Padahal waktu sudah menunjuk pukul 15.30. Di ruang itu, Mantan PU Memi itu lagi asik ngbrol sama koordinator Aliansi Persma se-Unsoed, Asta. Dan seperti biasa, aku langsung nimbrung.

Aku datang bukan untuk melihat performa Apank sebagai pembicara, pastinya. Ketertarikanku itu lebih tertuju pada materi yang bakal disampaikan Apank. Diskusi soal pers mahasiswa kekinian. Ini jelas menarik. Terlebih lagi buat insan pers mahasiswa (persma).

"Objektifitas itu sebuah mitos!" Begitu Apank memulai pembicaraan. Bagi mahasiswa Managemen Unsoed itu, persma unsoed itu terlampau terjebak dengan kata itu. Alhasil, gerak dinamis persma pun tersendat.

Dengan menggebu-gebu Apank berbicara soal keberpihakan yang jadi semacam ruh dari persma. Kemudian soal persma sebagai sebuah gerakan yang jelas bebas nilai.

Mungkin nggak semua orang sepakat dengan pernyataan Apank itu. Tapi, mungkin nggak buat anak-anak Husbandry. Ini terlihat dari diamnya mereka. Kan kata orang tua, diam itu tanda setuju.

Namun, semakin lama aku merasa bosan juga hanya mendengarkan diskusi sore itu. Pertanyaan yang muncul masih belum tajam. Atau minimal menggelitik. Hanya seputaran, apa sih nilai-nilai persma, apa bedanya persma dengan pers umum, atau tentang narasumber off the record.

Nah, di tengah kebosanan itu, aku iseng bertanya dengan salah satu anggota baru Husbandry, - yang ajaibnya satu kecamatan denganku, Bobotsari. Alvi, namanya.

"Kenapa sih masuk Husbandry? mank bener-bener suka nulis?" tanyaku.

"Nggak suka nulis kok. Cuma pengen aja" ungkapnya sambil terkekeh-kekeh.

Wah, aku nggak nyangka bakal ada jawaban macam itu. Selama ini, aku mikir orang itu masuk persma cuma memenuhin hasrat hobinya, menulis. Ternyata, asumsiku nggak laku kali ini buat perempuan berambut panjang itu.

"Nah, menurut kamu, pekerjaan jurnalis sih ngapain aja?" tanyaku lag. Nah, kalo ini sih cuma pertanyaan ngetes doank.

"Nggak tau tuh. Hehehehe... kan baru mau memperdalam. Baru pengin." katanya. Tawa kecil pun menyusul jawabannya itu.

Nah loh. Kalo gini ngapain juga ikutan persma. Mau ngapa juga belum tau. Hal macam ini, mungkin yang nyebabin persma itu labil. Kehilangan identitas. Kayak yang dipermasalahin di diskusi Jumat sore itu.

Diskusi selesai bertepatan dengan adzan maghrib. Semua keluar dengan wajah yang sumringah. Seakan menggambarkan sebuah perasaan; lega. Dan aku nggak tau, lega lantaran apa.

Aku pulang. Bersepeda.

Teringat dengan empat tahun yang lalu saat muter-muter ke persma-persma. Anehnya, pertanyaan yang muncul di benak pun masih sama dengan saat awal-awal berkenalan dengan dunia pers kampus. Pers mahasiswa itu sebenarnya apa?

11-06-2010