Coret Moret

Sajak Jalanan

20:47

Jalanan di mukaku itu, masih saja ramai.
Semua bersliweran begitu saja.
Ke depan, ke kanan, ke kiri, ke belakang.

Sedari pagi, masih saja begitu.
Saat malam menjelang, pun masih begitu.
Yang beda cuma cahaya ang dipancarkan saja.

Aku masih ingat, waktu kecil, aku dibikin kagum dengan cahaya kota Jakarta
Jakarta melong-melong, kataku.
Berbinar dan penuh cahaya.

Tapi, kini nggak lagi.
Cahaya di jalanan ini, nggak semempesona dulu.
Kini hanya menyakiti mataku.

Kendaraan-kendaraan itu, lewat terlampau cepat.
Nggak memberi kesempatan mataku untuk melihat lekat dirinya.
Aku pusing.

Itu, belum diitung dengan bunyi knalpot.
Selalu ada saja knalpot yang nggak ramah dengan pendengaranku.
Gara-gara itu, sesekali, aku memaki.

Kini, aku sedang menanti malam menjamah pukul 11 malam.
Saat itu, pertigaan di depan mataku ini, lengang.
Nggak ada lagi cahaya dan knalpot bising.

Di saat itulah, aku akan berjalan melenggang di tengah jalan.
Tanpa takut tertabrak dan dimaki.
Ya, aku-lah si raja jalanan.

[08/07/10]

Meniti Jalanan

Gurameh Bakar dan Hujan Deras

20:06

Waktu udah cukup sore. Sekitar pukul empat sore. Meski matahari masih tampak di sela-sela mendung, tapi jelas, ini sore yang indah.

Purwokerto tanpa ujan di sore hari. Oh betapa nikmatnya. Oh begitu indahnya. Begitu aku bersenandung dalam hati.

Seluruh keindahan dan kenimatan senja itu musnah waktu cacing di perutku keroncongan. Nila setitik rusak susu sebelangga.

Rasanya malu mengakui, aku belum sarapan hari ini. Uh, lapar.

Tapi, namanya juga lagi beruntung, jadi baru aja intro lagu kroncongan itu didengungkan, aku udah dapat tawaran makan gratis. Traktiran ulang tahun. Ijonk yang mbayarin. Meski Ultahnya udah lewat beberapa hari yang lalu, itu jelas nggak jadi soal.

Rumah makan di atas air, Mina Wisata, jadi sasaran utama. Ijonk ternyata sepakat. Di jalan, aku Ijonk dan Dodi bercanda, "unlimited mbok?".

Di Rumah makan yang terbilang luas itu, kamu kompak mesen gurameh bakar. Cuma minumnya yang beda.

Ternyata, makanan nggak kunjung datang. Jadi ya sudah, kami main "gethek", nonton sepasang arapaima gigas, sampai keliling nggak jelas gitu.

Wah, makan makanan enak emang nggak bisa lama. Semua serasa cepat. Tiba-tiba udah habis aja. Semua di lahap kurang dari 15menit. Mungkin semua lagi lapar, kayak aku ini.

Semua menu udah dilahap habis. Tangan udah di cuci. Dan Kami pun beranjak balik.

Ah, ternyata kami terjebak hujan. Lebih tepatnya kami "menjemput" ujan. Tempat yang kami tuju udah ujan duluan.

Dan kami-pun menghabiskan waktu lebih dari satu jam, hanya untuk menanti hujan yang tak kunjung reda.

Coret Moret

Sajak Pak Ipung

20:19

Tau nggak Pah, kemarin, aku dipanggil dengan namamu.
Om Edot yang melakukan.
Pak Ipung, begitu sapanya.

Meski cuma ngbrol lewat fesbuk,
tapi aku tetep aja malu, jujur aja.
Aku merasa belum pantas disamakan denganmu.

Tapi, sebenernya, nggak cuma Om Edot yang begitu.
Masih banyak orang yang memanggilku dengan namamu.
Mulai dari Ibu sampai orang pasar yang biasa lewat.

Walau beda-beda orang, tapi alasan mereka sama;
rupa dan perawakan anakmu ini mirip denganmu.
Landaur alias landa duwur, kalo Om Edok bilang.

Ah, tapi tetep aja aku merasa belum pantas.
Aku malu, jika mereka selalu menyama-nyamakan aku denganmu.
Menyandingkan aku denganmu.

Coba bayangkan aja, kaki kirimu dapat gelar tendangan geledek,
namamu nggak cuma harum di desa tempat tinggal kita
dan Papah pun punya istri yang cantik.

Huh, maka itu, ada kebanggaan dan semacam kecemburuan
yang berkecamuk di benak ini, sekaligus.
Dan Papah pun tau, aku nggak pernah mengatakan pada siapapun.

Bukan sok misterius.
Bukan pula soal gengsi.
Tapi, aku cuma ingin dianggap sebagai lelaki olehmu.

[07/07/10]