Catatan Kecil Hari ini

#15

08:12

Suara khas Duta, vokalis Sheila On 7 melengking tinggi. Sedari tadi, dari aku datang hingga duduk lebih dari sepuluh menit, dia terus bercerita. Banyak hal yang dikatakan. Tapi, tampaknya, dia nggak ngerasa bosan.

Dan semoga, bukan kebosanan yang menjadikan dia dan teman-temannya memiliki alasan untuk berhenti berbincang denganku. Terlebih, lantaran aku dari tadi mengacuhkan semua hal yang coba dia katakan padaku. Aku lebih memilih asyik sendiri dengan duniaku,- yang sempit ini.

Tapi, jujur saja, meski nggak berniat mendengar, dan nggak berniat mencuri dengar. Tapi toh, aku mendengarkan banyak hal yang di katakan. Tema-tema yang mungkin bisa menggelitik sejak dia ngecebres. Bahan-bahan pembicaraan yang pada akhirnya menuntunku pada jalan-jalan yang sudah cukup lama terlupakan. Hal-hal yang pada akhirnya justru menjebloskan diriku dalam romantisme masa lalu.

Duta yang lahir di Kentucky, AS, 30 April 1980 itu memang berbicara banyak hal. Hingga, aku lupa secara lengkap, apa saja yang dia katakan padaku. Kali ini, aku hanya mampu menangkap inti pembicaraan saja. Ah, itu kebodohanku malam ini.

Tapi, walau sepenggal-penggal, aku masih bisa membiarkan pikiranku merajalela menulusuri jalan kenangan secara liar. Aku teringat teman-teman sepermainanku, tentang kesepiannya teman-temanku yang berjenis kelamin laki-laki, soal perselingkuhan, dan tentang berbagai hal yang lainnya. Ingatan kecil itu aku dapatkan saat pria yang bernama lengkap Akhdiyat Duta Modjo mulia berbincang padaku.

Hm, suami Adelia Lontoh itu memang punya suara khas. Itu memang benar. Tapi, pada akhirnya, aku semakin menginsafi, terkadang syair-syair lagu memang mampu menggambarkan hidup seseorang. Itu yang ada dipikiranku.

"Aku banget nih." Lazimnya kan memang begitu yang dipikirkan ada lagu yang sejurus dengan nasibnya. Maka itu, dari dulu, aku cuma berpikir kalau sebenarnya, semua orang hanya mempas-paskan saja, dengan lagu dengan nasibnya. Yang lagi senang, ya lagu yang senang yang bakal didengar. Kalau sedih, ya di playlist isinya cuma lagu sedih saja.

Ah, celoteh penyanyi yang jadi juri Icil itu nggak kunjung reda. Malah semakin menggila. Ada yang semakin romantis, Ada juga yang semakin picisan. Tapi, telinga sudah nggak mau mendengar lagi. Bukan apa-apa. Aku juga ingin bercerita. Jadi, jika aku hanya mampu mendengar cerita Duta saja, lalu kapan ceritaku bakal didengar.

[09/10/2010]

Coret Moret

Sajak Ingin

07:51

Aku ingin memujamu

Selayaknya rasa pria lain padamu.

Tapi, aku tahu

Diriku takkan mampu.

Kau pasti tahu

Aku tak pandai merayu

Apalagi mencumbu.

Tapi, aku hendak memujamu.

Walau caranya, aku tak tahu.

Aku hanya ingin memujamu.

Aku ingin memujamu

Selayaknya rasa pria lain padamu.

Namun, dengan rasa yang tidak palsu.

Terlebih, dengan makna tak menentu.

[05/10/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#14

08:04

Sudah beberapa kali aku lalui jalan itu. Bosan? Tidak juga. Untuk kali ini, menapaki jalan bukan lagi sebuah kebosanan yang berulang-ulang. Tapi aku malah menikmatinya. Dalam setiap tengokan yang aku lakukan, selalu ada hal yang menarik perhatian. Jalan tembus Banyumas-Patikraja masih menyimpan begitu banyak rahasia.

Pun begitu dengan hari ini. Aku lalui jalan yang lebarnya mungkin tak lebih dari enam meter. Yang ada di benak, adalah begitu ramainya jalan ini. Mulai dari motor hingga truk pun betah melewatinya. Tidak siang, tidak juga malam. Ramai. Mungkin bukan saja lantaran jarak yang bisa terpotong, tapi juga karen akemulusan jalan itu.

Kali ini, bukan kantor desa yang begitu menawan di pandangan mataku. Kali ini, aku tidak berkenan menjamah ruang kerja pemimpin desa itu. Yang menjadi primadona siang itu hanyalah ruangan yang luasnya tak lebih dari 5 m2. Warung mie ayam.

Hari memang sudah terlampau siang. Perutku juga sudah keroncongan. Padahal, tadi pagi sudah makan mie goreng. Ah, tapi memang sangat lapar. Terlebih, matahari sangat terik. Membuat tenaga yang sudah di-charge mie goreng pun cepat terserap.

Tapi, seperti hanya dengan kantor desa yang selalu aku perhatikan sembari mengendalikan motor. Warung mie ayam itu pun sama menariknya buatku. Bukan hanya lantaran nafsu yang segera dipenuhi. Tapi, hanya ingin mencoba merasakan racikan mie, minyak goreng dan cesim.

Mie ayam itu berada di Desa Wlahar Wetan Kecamatan Kaliori Banyumas.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju warung kecil itu. Motor terparkir, helm pun tergeletak di bangku. "Mie ayame setunggal pak," kataku.

Selang beberapa lama, aku kagetnya bukan kepalang. "Walah, ternyata masih ada mie ayang sebanyak ini. Melebihi mangkuk yang mewadahi," pikirku.

Mangkuk memang ukuran standar, tapi isinya, jelas melebihi porsi yang selama ini ada di Purwokerto. Apalagi dengan duit pas-pasan. Kan bisa repot kalau ternyata tidak bisa bawa uang cukup. Mana di desa yang jauh dari tempat tinggal.

"Rp 4000," jawab si penjual saat aku tanya harga satu porsi mie ayam plus es teh. Sembari menyembunyikan muka kaget, aku membayar dengan uang Rp 5000. Lantas memacu motorku lagi.

Sepanjang jalan, aku terus berpikir; apa bapak penjual mie ayam itu tidak rugi? Sedangkan aku tahu, kalau di Purwokerto atau kota besar lainnya harga satu prosi mie ayam tidak akan meneytuh angka Rp 4000. Semua harganya jelas di atasnya.

Selain soal harga, aku juga berpikir soal perbedaan kota dan desa. Tentang cara berpikir. Tentang toleransi. Tentang orientasi. Tentang relasi. Tentang penghargaan. Tentang pembangunan. Dan tentang, tentang yang lain, yang mungkin sudah tidak nyambung lagi dengan mie ayam yang lumayan enak itu.

Ternyata memang banyak perbedaan antara desa dan kota. Tidak perlu membanding kan dengan kota-kota metropolitan yang ada di Indonesia. Cukup melihat dalam Kabupaten Banyumas saja. Aku kira itu cukup.

Tapi yang jadi persoalan adalah satuhal, paling tidak saat aku menuliskan ini; pantaskan perbedaan itu dicari-cari. "Perbedaan itu untuk saling mewarnai" begitu orang bijak dikutip. Seperti halnya Bhineka Tunggal Ika.

[4/10/2010]