Catatan Kecil Hari ini

#21

18:39

Dilihat dari mana pun, aku jelas bukan Socrates. Seorang yang dilabeli filsuf lantaran hobi bertanya sana kemari. Terutama di pasar-pasar. Bertanya sampai puas. Sampai tak ada jawaban yang bisa diberikan.

Lantaran itu pula, tidak sedikit, pada zamannya, pria asal Yunani itu dianggap sebagai orang gila. Tak sedikit pula yang membencinya.

Bahkan, sebelum Socrates dihukum mati dengan meminum racun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Aristophanes mengimajinasikan Socrates lari tunggang langgang lantaran sekolahnya, Toko Pikiran, dibakar ramai-ramai oleh warga.

Aristhopanes, yang memusuhi guru filsafat kaum muda itu, melakonkan khayalannya dalam sebuah lakon yang dipentaskan di tahun 423 Sebelum Masehi. Sebagai seorang konservatif, ia tak percaya pada sikap skeptis yang diajarkan itu.

Ah, aku jelas bukan Socrates. Dilihat dari mana pun. Aku bukan penanya yang cerewet. Bukan pula orang yang bisa berpikir terlalu mendalam. Duduk bersila, lantas memegang dagu.

Hmh. Sudahlah. Nampaknya percuma mengulang-ulang penjelasan semua itu. Toh, aku memang bukan Socrates. Sekalipun, jika di dunia ini benar-benar ada yang namanya reinkarnasi.

Cuma, belakangan ini, aku merasa, sensasi bertanya. Aku merasa, dalam dialog-dialog kecilku, dari hari ke hari selalu menghasilkan semacam sensasi. Sebuah sensasi yang mengantarku pada dunia yang berbeda-beda.

Setiap harinya, ah bukan. Setiap detiknya, aku dipertemukan dengan orang yang berbeda satu sama lain. Berbincang dengan berbagai sudut pandang, isi otak dan tema yang berbeda-beda. Tak saling mengenal, namun, kemudian terikat dengan apa yang diperbincangkan.

Selepas aku bertanya, terkadang aku berpikir; seperti inikah seorang filsuf memainkan eksistensinya. Bertanya ke sana kemari. Dengan orang-orang yang mulanya tak dikenal. Seperti halnya Socrates, mungkin.

Bersamaan dengan itu pula, aku juga berpikir; apakah aku dicintai, dibenci, atau dianggap gila. Seperti halnya Filsuf-filsuf, dulu.

Tapi, aku jelas tidak bisa memberikan balasan atas perasaan yang diberikan oleh orang-orang yang telah aku temui. Telah aku ajak berbincang, walau hanya sebentar. Hidupku dituntut untuk menjadi asosial. Bukan antisosial.

Maka itu, terkadang, terbesit di otakku, aku tak ubahnya lalat-lalat di pasar. Layaknya digambarkan Zarathustra. Hidup di keramaian, namun sebenarnya tetap saja hidup sendiri. Teralienasi. Menjadi bagian, namun tetap saja bukan bagian.

Namun, aku jelas menikmati pekerjaan bertanya ini. Banyak cerita. Banyak kepuasan. Banyak sensasi. Mungkin ini yang menyebabkan Socrates rela menenggak racun.

Tunggu dulu, apakah aku terlalu tinggi membandingkan diri? Hmm.

[08/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#20

18:36

Untuk kesekian kalinya, aku membaca 'catatan pinggir' majalah Tempo. Tulisan yang dibuat secara berkala, mingguan, oleh Goenawan Muhammad itu selalu membikin bingung. Sekaligus penasaran. Entah hanya aku-kah yang merasakan demikian setiap membaca 'caping'.

Hari ini, aku membaca caping yang berjudul orakel. Sebuah sarana untuk menjembatani "jarak antara dewa-dewa dan manusia", yang sebenarnya nggak gampang buat dijembatani.

Tapi, sekali lagi, aku bingung. bukan bingun dengan alur ceritanya. Melainkan, bingung sebenarnya dia itu sedang bicara dengan siapa? Terkadang, aku memang tidak pernah mengerti, dia berbicara dengan siapa. Kalau seorang teman bilang, GM menggunakan bahasa "langit".

Lewat orakel, GM berbicara tentang dewa-dewa, soal monotheisme, politheisme dan juga pantheistik. Aku lantas berpikir, apa di Indonesia ini muncul tema-tema seputaran itu? Ah, apakah cerita kali ini ada hubungannya dengan keributan di Yogyakarta? Aku bingung.

Meski berulang kali bingung, aku selalu suka membaca caping. Salah satunya lantaran gaya bahasa dan diksi yang terpakai. Namun, setelah baca caping, selalu ada pertanyaan yang muncul. "Sebenarnya, apa yang kamu baca?"

Jujur saja aku ingin bertanya soal itu. Aku heran betul, kenapa dia punya banyak cerita, banyak sudut cerita yang bisa digunakan. Hingga rasanya dia melangkah seribu langkah lebih jauh dari pada aku.

"Katakanlah itu takhayul. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya." Yah, dengan kata-kata itulah orakel ditutup.

Mungkin tulisan itu buatku masih absurb. Mungkin lantaran dangkalnya otakku. Tapi mungkin benar juga, siapa tahu ada yang berharga di dalamnnya (di otakku).

[03/12/2010]

Sobekan Kertas

Ceramah

17:53

Dilihat dari manapun, ini jelas bukan kali pertama buatku. Rasanya, kalau tak salah mengingat, aku sudah merasai hal ini, sejak aku menapakan kaki di dunia yang sedang kugeliti. Jadi, jelas bukan hal yang asing buatku.

Tapi, entah kenapa, rasanya berbeda. Asing. Baru. Ah, mungkin karena aku sudah lama sudah tidak kena ceramah saat berkerja.

Huh. Aku memang tiak menyangka bisa kena ceramah. Saat itu, aku cuma berdua. Dan, saat itupun, tampaknya, pembicaraan kami itu sudah hampir berakhir. Tapi, entah malaikat mana yang membisiki dia untuk memberikan petuah.

Dia berbicara terus-menerus. Sementara aku, hanya memegangi lenganku yang berbalut jaket kain warna coklat. Aku hanya diam. Sesekali melempar senyum dan manggut-manggut.

"Jangan membuat fitnah. Jangan menyakiti orang lain," begitu katanya, tiba-tiba.

Ah, aku kaget betul saat itu. Bukan soal aku jarang mengikuti ceramah secara langsung, kecuali saat Sholat Jumat. Tapi lebih disebabkan, apa yang dia katakan itu.

"Kenapa anda bilang seperti itu?" tanyaku. Tapi, hanya dalam hati.

Aku menangkap kesan, aku ini selayaknya seorang penyebar fitnah yang tak bertanggung jawab betul. Pengumbar kesalahan orang yang hobi lempar batu sembunyi tangan. Pria yang datang mendekat hanya untuk mencari celah untuk menjatuhkan.

Sial betul aku ini. Mendapatkan label semacam itu. Apa aku serendah itu. Apa aku se-"bau kencur" itu. Betul-betul.

Kata-kata dan pertanyaan semacam itu justru yang berlalu lalang dipikaranku. Sampai-sampai, yang apa-apa yang dikatakannya tak masuk ke telingaku, yang sebelah manapun. Aku bukan sedang difensif dengan ilmu yang diberikan. Hanya saja, seburuk itukah profesiku. Hingga perlu senantiasa "ditatar".

Saat, aku melepas genggamanku, aku tersadar dia mengatakan sesuatu. "Ini kata-kata Nabi Muhamad, yang disampaikan melalui sunah dan hadist," tuturnya.

Sekali lagi, aku tak sedang menghiraukan semua petuah indahmu. Aku hanya sedang berpikir. Memikirkan, sebenarnya bagaimana pola pikir yang dia pakai. Atau mungkin yang mereka pakai.

[02/12/2010]