Sobekan Kertas

Pesan Singkat yang Kamu Kirim

11:42

Mungkin cinta tak menuntut
Untuk dimiliki
Dan cinta tak selalu hadir
Tuk seseorang yang tepat
Cinta juga tak selalu adil saat berbagi
Tapi cintakan tetap indah
Meskipun pernah tersakiti
Itu isi pesan singkat yang kau kirim untukku, Jumat lalu. Jujur saja, pesan yang masuk sekitar pukul 21.00 itu sungguh mengagetkanku. Paling tidak, lantaran kamu memang tak pernah mengirim pesan macam itu.

Aku kaget. Aku juga bingung. "Kenapa kamu kirim pesan semacam itu?" tanyaku dalam hati.

Pikiranku jelas jadi tak menentu. Pikiranku semakin karut-marut karena aku belum bisa memahami, apa yang kamu bicarakan sebenarnya. Aku sudah membaca pesan itu berulang-ulang. Namun tak mampu pahami.

"Bicaralah segamblang-gamblangnya. Sejujur-jujurnya," Bukankan kata-kata itu selalu aku katakan padamu. Tapi kenapa kamu masih saja berbicara di balik simbol-simbol tak terpahamkan itu.

[12/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#22

17:16

Gitare endi yah? Aku kenchot koh yah.
Itu status di laman Facebook milikku hari ini. Kata-kata soal gitar dan kelaparan itu mungkin tidak ada hubungannya. Paling tidak buat sebagian orang.

Tapi, buatku jelas ada hubungannya. Mungkin juga buat sebagain temanku. Aku dan teman-temanku itu menganggap, bermain gitar adalah sebagian dari solusi untuk mengatasi kelaparan yang mendera.

Yah, mirip seorang pengamen saja. Hanya saja, kami bermain gitar bukan untuk dapat duit untuk makan. Genjrang-genjreng sana-sini. Kami bermain gitar dan bernyayi hanya untuk menahan lapar.

Kami selalu merasa, dengan bernyanyi sepuas hati, maka rasa lapar bisa sirna. Meski hanya untuk sementara waktu.

Hm, tapi memang tidak bisa kan? lapar jelas bukan soal persepsi atau data diatas kertas. lapar ya lapar. Obat lapar, ya makan kan.

Ah, sudah lah. Aku mau makan dulu.

Lapaaaaaaarrrr....

[10/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#21

18:39

Dilihat dari mana pun, aku jelas bukan Socrates. Seorang yang dilabeli filsuf lantaran hobi bertanya sana kemari. Terutama di pasar-pasar. Bertanya sampai puas. Sampai tak ada jawaban yang bisa diberikan.

Lantaran itu pula, tidak sedikit, pada zamannya, pria asal Yunani itu dianggap sebagai orang gila. Tak sedikit pula yang membencinya.

Bahkan, sebelum Socrates dihukum mati dengan meminum racun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Aristophanes mengimajinasikan Socrates lari tunggang langgang lantaran sekolahnya, Toko Pikiran, dibakar ramai-ramai oleh warga.

Aristhopanes, yang memusuhi guru filsafat kaum muda itu, melakonkan khayalannya dalam sebuah lakon yang dipentaskan di tahun 423 Sebelum Masehi. Sebagai seorang konservatif, ia tak percaya pada sikap skeptis yang diajarkan itu.

Ah, aku jelas bukan Socrates. Dilihat dari mana pun. Aku bukan penanya yang cerewet. Bukan pula orang yang bisa berpikir terlalu mendalam. Duduk bersila, lantas memegang dagu.

Hmh. Sudahlah. Nampaknya percuma mengulang-ulang penjelasan semua itu. Toh, aku memang bukan Socrates. Sekalipun, jika di dunia ini benar-benar ada yang namanya reinkarnasi.

Cuma, belakangan ini, aku merasa, sensasi bertanya. Aku merasa, dalam dialog-dialog kecilku, dari hari ke hari selalu menghasilkan semacam sensasi. Sebuah sensasi yang mengantarku pada dunia yang berbeda-beda.

Setiap harinya, ah bukan. Setiap detiknya, aku dipertemukan dengan orang yang berbeda satu sama lain. Berbincang dengan berbagai sudut pandang, isi otak dan tema yang berbeda-beda. Tak saling mengenal, namun, kemudian terikat dengan apa yang diperbincangkan.

Selepas aku bertanya, terkadang aku berpikir; seperti inikah seorang filsuf memainkan eksistensinya. Bertanya ke sana kemari. Dengan orang-orang yang mulanya tak dikenal. Seperti halnya Socrates, mungkin.

Bersamaan dengan itu pula, aku juga berpikir; apakah aku dicintai, dibenci, atau dianggap gila. Seperti halnya Filsuf-filsuf, dulu.

Tapi, aku jelas tidak bisa memberikan balasan atas perasaan yang diberikan oleh orang-orang yang telah aku temui. Telah aku ajak berbincang, walau hanya sebentar. Hidupku dituntut untuk menjadi asosial. Bukan antisosial.

Maka itu, terkadang, terbesit di otakku, aku tak ubahnya lalat-lalat di pasar. Layaknya digambarkan Zarathustra. Hidup di keramaian, namun sebenarnya tetap saja hidup sendiri. Teralienasi. Menjadi bagian, namun tetap saja bukan bagian.

Namun, aku jelas menikmati pekerjaan bertanya ini. Banyak cerita. Banyak kepuasan. Banyak sensasi. Mungkin ini yang menyebabkan Socrates rela menenggak racun.

Tunggu dulu, apakah aku terlalu tinggi membandingkan diri? Hmm.

[08/12/2010]