Sobekan Kertas

Bahasa Nyastra?

17:01

Hari ini, ada yang nanya. Adik angkatanku di kampus itu, bertanya tentang cara menulis sastra. Dia hendak menulis karya ilmiahnya yang biasa kita kenal dengan kata 'skripsi'.

"Mas bantuin aku sih, bikin tulisan bergaya bahasa sastra tu kaya gimana?" begitu dia bertanya, lewat obrolan Facebook.

Baca pesannya, sekaligus awalan obrolan itu, aku bingung. Pertama, lantaran aku bukan seorang sastrawan. Kedua, aku sendiri masih belum tahu yang "bergaya bahasa sastra" itu semacam apa. Bahasa semacam apa.

"Gimana apanya?" akhirnya kata itu yang meluncur dari mulutku.

"Aduh mas, dibilang aku juga nggak mudeng. Keinginan mereka tuh memang begitu. Skripsi tuh jadi nggak kaku atau terlalu 'ilmiah'," jawab dia.

Temanku yang satu ini memang sudah pendadaran. Lulus memang. Tapi, satu-satunya pekerjaan rumah yang diberikan dosen pengujunya adalah mengubah bahasa yang dibangunnya dalam skripsinya itu. Sebuah PR yang mungkin lebih susah dibanding pendadaran itu sendiri.

Haduh, aku sebenarnya senang dengan niatan dosen itu. Mengubah skripsi yang singguh sialan itu menjadi sesuatu yang bisa dinikmati. Senikmat membaca novel Pramudya Ananta Toer, Dwe Lestari, atau malah Raditya "Si Kambing".

Tapi, aku malah jadi bingung, apa itu bahasa yang "nyastra". Apakah sesuatu yang lebay alias berlebihan khas lagu cinta di negeri ini. Atau cuma bahasa yang biasa saja, seperti bahasa yang aku dan kamu pakai.

Lalu, jika boleh aku bertanya, apa itu bahasa "nyastra"? Owalah dalah....

[15/12/2010]

Sobekan Kertas

Pesan Singkat yang Kamu Kirim

11:42

Mungkin cinta tak menuntut
Untuk dimiliki
Dan cinta tak selalu hadir
Tuk seseorang yang tepat
Cinta juga tak selalu adil saat berbagi
Tapi cintakan tetap indah
Meskipun pernah tersakiti
Itu isi pesan singkat yang kau kirim untukku, Jumat lalu. Jujur saja, pesan yang masuk sekitar pukul 21.00 itu sungguh mengagetkanku. Paling tidak, lantaran kamu memang tak pernah mengirim pesan macam itu.

Aku kaget. Aku juga bingung. "Kenapa kamu kirim pesan semacam itu?" tanyaku dalam hati.

Pikiranku jelas jadi tak menentu. Pikiranku semakin karut-marut karena aku belum bisa memahami, apa yang kamu bicarakan sebenarnya. Aku sudah membaca pesan itu berulang-ulang. Namun tak mampu pahami.

"Bicaralah segamblang-gamblangnya. Sejujur-jujurnya," Bukankan kata-kata itu selalu aku katakan padamu. Tapi kenapa kamu masih saja berbicara di balik simbol-simbol tak terpahamkan itu.

[12/12/2010]

Catatan Kecil Hari ini

#22

17:16

Gitare endi yah? Aku kenchot koh yah.
Itu status di laman Facebook milikku hari ini. Kata-kata soal gitar dan kelaparan itu mungkin tidak ada hubungannya. Paling tidak buat sebagian orang.

Tapi, buatku jelas ada hubungannya. Mungkin juga buat sebagain temanku. Aku dan teman-temanku itu menganggap, bermain gitar adalah sebagian dari solusi untuk mengatasi kelaparan yang mendera.

Yah, mirip seorang pengamen saja. Hanya saja, kami bermain gitar bukan untuk dapat duit untuk makan. Genjrang-genjreng sana-sini. Kami bermain gitar dan bernyayi hanya untuk menahan lapar.

Kami selalu merasa, dengan bernyanyi sepuas hati, maka rasa lapar bisa sirna. Meski hanya untuk sementara waktu.

Hm, tapi memang tidak bisa kan? lapar jelas bukan soal persepsi atau data diatas kertas. lapar ya lapar. Obat lapar, ya makan kan.

Ah, sudah lah. Aku mau makan dulu.

Lapaaaaaaarrrr....

[10/12/2010]