[06/11/2011]
[06/11/2011]
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku masih memandangmu langsung
Sementara kau bermain-main dengan handphonemu
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku masih berbicara denganmu
Sementara kau asyik berucap melalui pesan singkat
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku masih melempar senyum padamu
Sementara kau terkekeh dengan ujaran di layar handphone
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku masih duduk di tepimu
Sementara kau berjalan-jalan di kotak masuk pesan
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku menghela napas, dan berniat beranjak
Namun, kau justru masih bertanya; kenapa kau suka padaku?
[16/09/2011]
Sudah untuk kesekian kali terbangun di Kota Satria, dalam sepekan ini. Namun, lantaran bangun terlampau pagi, aku memutuskan untuk mencari sarapan. Dan yang aku tuju adalah Bakul Gorengan di sebelah selatan Kampus Orange Unsoed Purwokerto.
Di pertigaan Jalan Kampus, orang-orang sangat sibuk. Kendaraan berlalu-lalang kesana kemari, dengan alsan masing-masing, yang tak terjelaskan oleh asap kendaraan. Aku mencoba menyeruput mocacino panas di gelas kecil, sambil ditemani mendoan anget dan lontong. Ah, suasana yang sangat jarang ternikmati.Tengah menjamah keramaian jalan, pria paruh baya itu bercerita. Sebenarnya, dia sudah bercerita sedari tadi, namun aku mengabaikan sekian banyak ceritanya. Aku sedang mencoba memahami keramaian. Lagipula, ia tidak sedang bercerita kepadaku. Hanya saja, penggalan ceritanya, ada yang menarik perhatian.
"Wong sekolah ganu karo siki pancen bedane pol (Sekolah dahulu dengan sekarang memang sangat berbeda)," kata dia sambil menyeruput kopi panas, sementara jarinya mengapit rokok. Pria bertopi itu sedang membandingkan masa sekolah di Sekolah Rakyat (SR) dan sekolah di masa modern ini.
Seisi warung gorengan itu hanya tersenyum. Kami memang tidak tahu, semasa dulu semacam apa. Dia menjelaskan, dulu, semasa ia masih anak-anak, setiap anak harus berangkat ke sekolah. "Nek ora mangkat ya mas, nganti diparani nang gurune (Kalau tidak berangkat mas, sampai dijemput oleh gurunya)," tuturnya selepas membuang asap rokok.
Adegan semacam itu, menurutnya, sudah barang tentu tidak pernah akan terjadi lagi. "Siki tah muride arep sekolah ya ngonoh, ora ya ngonoh. Guru-gurune wis ora urusan maning (Sekarang muridnya mau sekolah ya silahkan, tidak ya silahkan. Guru-gurunya sudah tidak peduli lagi)," ujar dia.
Huh. Aku menghela nafas. Mencoba meresapi apa yang dikatakan orang tua itu. Kopi instan pagi itu terasa terlalu manis. Si pria tua melanjutkan kerjanya. Kendaraan masih memadati jalanan. Mahasiswa asyik memperindah wajah dan penampilan mereka.
Sementara itu, di bawah matahari yang sama, anak-anak di pinggiran masih sibuk menjadi pembantu rumah tangga atau merangkai rambut menjadi bulu mata atau rambut palsu di plasma. Tanpa bisa menjawab pertanyaan mereka sendiri; inyong kapan bisa sekolah? (Aku kapan bisa sekolah)
[05/10/2011]