Sobekan Kertas

Aku dan Si Puss

17:14

Kucing kecil itu berlari kesana kemari. Namun, ia lebih banyak berada di bawah meja. Ia bermain-main di sana. Bermain kabel mouse yang terletak di atas meja. Disentuh-sentuhnya kabel yang menggelantung itu dengan kaki kanannya.

Setelah bosan, ia beralih kepada lembaran koran Suara Banyumas Suara Merdeka, yang terletak di bawah meja. Mulanya, kucing kampung berwarna abu-abu itu hanya menduduki lembaran koran terbesar di Jawa Tengah itu. Mungkin lantaran dingin.

Tetapi, kemudian, kucing kecil yang dalam beberapa pekan terakhir, rajin mendatangi rumah itu justru masuk dalam lipatan koran itu. Seakan dia masuk kedalam sana untuk menjadikan kertas itu sebagai rumah. Tempat penghangat yang tepat untuk melindungi diri dari sergapan dingin di hari yang mendung.

Pagi ini, kucing yang asyik bermain dengan dunianya itu, menjadi tontonanku. Kata adik perempuanku, kucing yang belum bernama dan hanya dipanggil "puss" itu memang manja dan lucu. Tetapi, induknya selalu tampak marah bila si puss itu dipegang. "Grrr," begitu adiku menirukan gaya induk si puss. Aku hanya tersenyum.

Polah si puss itu menjadi menarik buatku, lantaran aku menyadari sesuatu. Aku menyadari bahwa ada titik-titik dimana kita itu seharusnya memiliki daya untuk terus mencoba mengenal hal-hal baru. Memainkan hal yang tak dikenal itu dengan tangan dan seluruh indrawi.

Bermain gaya kucing, yang acuh itu, menjadi pertanda, belajar dengan modal ingin tahu, ingin mengenal sesuatu yang baru adalah hal yang wajar. Hal yang memang lumrah dilakukan. Tidak hanya oleh kucing, tetapi juga manusia itu sendiri. Kita.

Bagiku, hewan yang juga dikenal sebagai salah satu predator handal itu mengajarkan bahwa tidak perlu ragu untuk belajar. Tidak perlu memikirkan ini itu, yang sebenarnya tak jelas justrungnya. Yang sejatinya, pikiran negatif yang biasa kita sebut sebagai pertimbangan, itu tidak selamanya benar-benar.

Bukankah, bisa saja, hal negatif itu hanya buah atas stigma negatif yang tercipta dari persinggungan neuron-neuron yang memang hanya ada di otak saja. Kucing kampung itu mengajari, paling tidak aku sendiri, bahwa kemampuan belajar, mengenal hal baru adalah hal penting. Belajar dengan sedikit mengabaikan rasa malu.

[06/11/2011]

Coret Moret

Sajak Kursi

07:41

Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini

Aku masih memandangmu langsung

Sementara kau bermain-main dengan handphonemu


Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini

Aku masih berbicara denganmu

Sementara kau asyik berucap melalui pesan singkat


Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini

Aku masih melempar senyum padamu

Sementara kau terkekeh dengan ujaran di layar handphone


Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini

Aku masih duduk di tepimu

Sementara kau berjalan-jalan di kotak masuk pesan


Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini

Aku menghela napas, dan berniat beranjak

Namun, kau justru masih bertanya; kenapa kau suka padaku?


[16/09/2011]

Catatan Kecil Hari ini

#38

10:42

Sudah untuk kesekian kali terbangun di Kota Satria, dalam sepekan ini. Namun, lantaran bangun terlampau pagi, aku memutuskan untuk mencari sarapan. Dan yang aku tuju adalah Bakul Gorengan di sebelah selatan Kampus Orange Unsoed Purwokerto.

Di pertigaan Jalan Kampus, orang-orang sangat sibuk. Kendaraan berlalu-lalang kesana kemari, dengan alsan masing-masing, yang tak terjelaskan oleh asap kendaraan. Aku mencoba menyeruput mocacino panas di gelas kecil, sambil ditemani mendoan anget dan lontong. Ah, suasana yang sangat jarang ternikmati.

Tengah menjamah keramaian jalan, pria paruh baya itu bercerita. Sebenarnya, dia sudah bercerita sedari tadi, namun aku mengabaikan sekian banyak ceritanya. Aku sedang mencoba memahami keramaian. Lagipula, ia tidak sedang bercerita kepadaku. Hanya saja, penggalan ceritanya, ada yang menarik perhatian.

"Wong sekolah ganu karo siki pancen bedane pol (Sekolah dahulu dengan sekarang memang sangat berbeda)," kata dia sambil menyeruput kopi panas, sementara jarinya mengapit rokok. Pria bertopi itu sedang membandingkan masa sekolah di Sekolah Rakyat (SR) dan sekolah di masa modern ini.

Seisi warung gorengan itu hanya tersenyum. Kami memang tidak tahu, semasa dulu semacam apa. Dia menjelaskan, dulu, semasa ia masih anak-anak, setiap anak harus berangkat ke sekolah. "Nek ora mangkat ya mas, nganti diparani nang gurune (Kalau tidak berangkat mas, sampai dijemput oleh gurunya)," tuturnya selepas membuang asap rokok.

Adegan semacam itu, menurutnya, sudah barang tentu tidak pernah akan terjadi lagi. "Siki tah muride arep sekolah ya ngonoh, ora ya ngonoh. Guru-gurune wis ora urusan maning (Sekarang muridnya mau sekolah ya silahkan, tidak ya silahkan. Guru-gurunya sudah tidak peduli lagi)," ujar dia.

Huh. Aku menghela nafas. Mencoba meresapi apa yang dikatakan orang tua itu. Kopi instan pagi itu terasa terlalu manis. Si pria tua melanjutkan kerjanya. Kendaraan masih memadati jalanan. Mahasiswa asyik memperindah wajah dan penampilan mereka.

Sementara itu, di bawah matahari yang sama, anak-anak di pinggiran masih sibuk menjadi pembantu rumah tangga atau merangkai rambut menjadi bulu mata atau rambut palsu di plasma. Tanpa bisa menjawab pertanyaan mereka sendiri; inyong kapan bisa sekolah? (Aku kapan bisa sekolah)

[05/10/2011]