PAKAI TOMBAK: Berbeda dengan cara memulung kebanyakan, pemulung di Bendung Gerak Serayu menggunakan tombak bambu untuk mengambil "harta karun" buruannya, yaitu kayu.
MEMANGGUL: Seorang warga Desa Kebasen Kabupaten Banyumas sedang memanggul kayu yang diambilnya dari Bendung Gerak Serayu.
DIKERINGKAN: Kayu yang telah diambil dari Kali Serayu Banyumas, akan dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar dan dijual Rp 20.000,- perikatnya.
[Gambar kali ini coba menunjukkan kegiatan para pemulung kayu bakar di Kali Serayu Kabupaten Banyumas, lebih tepatnya lagi di Bendung Gerak Serayu. Selain tempatnya yang nggak lazim, barang buruan dan cara yang digunakan pun berbeda dengan pemulung yang lainnya.
Pemulung jenis yang satu ini, buruan utamanya adalah kayu-kayu yang hanyut aliran sungai. Nantinya, kayu tersebut, akan dikeringkan untuk membuat kayu bakar dan dijual ke warga sekitar.
Selain itu, cara yang digunakan mereka pun terbilang unik. Mereka menggunakan tombak untuk mengambil kayu-kayu tersebut. Dan juga menggunakan tali untuk menjerat kayu, layaknya koboi dari negeri Paman Sam.]
Lebih baik aku jauhi saja tatapanmu.
Biar kebimbangan ini sirna.
Sebab, tampaknya, inspirasi tak kunjung kudapat.
Sesuatu yang dari dulu selalu kurengkuh dari tatapanmu
Kamu yang mulai enggan.
Atau aku yang mulai bosan.
Aku lelah dalam keterpasungan.
Aku lelah membohongi diri.
Tapi, aku rasa, tatapanmu tak lagi bisa menggambarkan.
Mencipta berbagai cerita penuh nyata.
[21/11/2010]
Belakangan, aku malah kepikiran soal nama blog bikinanku ini. Pas aku ngasih nama "Rumah Imajinasi", semangat yang coba aku tularkan bukan main.
Aku pengin semua memainkan imajinasi yang ada di otaknya. Buat aku pribadi, aku jadi semakin semangat buat nulis. Buat menghasilkan cerita-cerita yang nggak kalah menariknya sama cerita di film-film bikinan temen-temenku.
Yah, paling nggak, aku bisa mempraktekan rumusan sederhana yang ditularkan guruku semasa SMA dulu. Tulis apa yang kamu pikirkan, bukan pikirkan yang mau kamu tulis. Kira-kira begitu bunyi pesan guru Bahasa Indonesia-ku, dulu.
Tapi, sekali lagi, ternyata menjadi sosok-sosok yang bisa nyiptakan imajinasi dalam bentuk cerita nggak gampang. Terutama, buat aku sendiri, lantaran terlalu banyak yang dipikirin.
Bagus-jelek. Pas-mengganjal. Wagu-asyik. Dan berbagai pertentangan mendasar lainnya. Mulanya, aku menafikan pertentangan semacam itu. Tapi nyatanya, aku cuma menunda kemeranaanku sendiri. Ah, sial betul aku ini, musti terjebak dalam pertentangan itu.
Lantaran keterjebakanku itu, berbagai imajinasi yang harusnya dengan gampang tercipta pun sirna sudah. Ini kesialan yang sungguh pantas diratapi.
Maka itu, aku sempet terpikir, apa aku harus mengubah nama blogku ini. Biar terasa lebih realistis. Biar lebih terasa mudah digapai.
[17/10/2010]
And please, let me be free
I can face the truth.
Entah kenapa penggalan kata itu begitu menggodaku. Sungguh ingin mendengar kata-kata itu diulang-ulang di telinga ini. Sudah hampir sebulan, sejak lagu "pretend" milik Secondhand Serenade itu diunduh, lagu itu diputar diulang-ulang. Lagi, lagi dan lagi. Rasanya enggan bosan.
Aku mencoba mencari jawaban akan ketertarikanku itu. Bukankah, kata orang, selalu ada alasan atas sebuah rasa ketertarikan. Meskipun itu sekedar "pingin ajah".
Dan, senyatanya, itu bukan hanya soal "pingin ajah". Bukan semata lantaran easy listening. Atau malah gara-gara lirik-lirik itu mengandung nilai-nilai keromantisan. Bukan itu.
Setelah berpikir sekian lama, terang sudah. Aku agaknya bisa sedikit menyimpulkan kenapa begitu doyan dengan lirik itu. Tanpa tersadari, aku hanya ingin bebas!
Namun, bukan bebas yang sekonyong-konyong. Hanya bebas menghadapi kebenaran itu sendiri. Hanya ingin bisa menghadapi kebenaran.
Orang gagal. Kuliah yang tak kunjung kelar. Dan keterbatasan. Kebenaran-kebenaran yang selalu dipungkiri. Hanya untuk mendapatkan sebuah kepercayaan diri.
Haduh, bahasaku kembali tidak bisa terpahami. Rasanya, sulit benar berbincang dengan bahasa dan tema yang ringan. Huh!
Hal itulah yang merupakan kebenaran bagiku. Berbicara ngelantur. Walah.
[12/11/2010]