Catatan Kecil Hari ini

#20

18:36

Untuk kesekian kalinya, aku membaca 'catatan pinggir' majalah Tempo. Tulisan yang dibuat secara berkala, mingguan, oleh Goenawan Muhammad itu selalu membikin bingung. Sekaligus penasaran. Entah hanya aku-kah yang merasakan demikian setiap membaca 'caping'.

Hari ini, aku membaca caping yang berjudul orakel. Sebuah sarana untuk menjembatani "jarak antara dewa-dewa dan manusia", yang sebenarnya nggak gampang buat dijembatani.

Tapi, sekali lagi, aku bingung. bukan bingun dengan alur ceritanya. Melainkan, bingung sebenarnya dia itu sedang bicara dengan siapa? Terkadang, aku memang tidak pernah mengerti, dia berbicara dengan siapa. Kalau seorang teman bilang, GM menggunakan bahasa "langit".

Lewat orakel, GM berbicara tentang dewa-dewa, soal monotheisme, politheisme dan juga pantheistik. Aku lantas berpikir, apa di Indonesia ini muncul tema-tema seputaran itu? Ah, apakah cerita kali ini ada hubungannya dengan keributan di Yogyakarta? Aku bingung.

Meski berulang kali bingung, aku selalu suka membaca caping. Salah satunya lantaran gaya bahasa dan diksi yang terpakai. Namun, setelah baca caping, selalu ada pertanyaan yang muncul. "Sebenarnya, apa yang kamu baca?"

Jujur saja aku ingin bertanya soal itu. Aku heran betul, kenapa dia punya banyak cerita, banyak sudut cerita yang bisa digunakan. Hingga rasanya dia melangkah seribu langkah lebih jauh dari pada aku.

"Katakanlah itu takhayul. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya." Yah, dengan kata-kata itulah orakel ditutup.

Mungkin tulisan itu buatku masih absurb. Mungkin lantaran dangkalnya otakku. Tapi mungkin benar juga, siapa tahu ada yang berharga di dalamnnya (di otakku).

[03/12/2010]

Sobekan Kertas

Ceramah

17:53

Dilihat dari manapun, ini jelas bukan kali pertama buatku. Rasanya, kalau tak salah mengingat, aku sudah merasai hal ini, sejak aku menapakan kaki di dunia yang sedang kugeliti. Jadi, jelas bukan hal yang asing buatku.

Tapi, entah kenapa, rasanya berbeda. Asing. Baru. Ah, mungkin karena aku sudah lama sudah tidak kena ceramah saat berkerja.

Huh. Aku memang tiak menyangka bisa kena ceramah. Saat itu, aku cuma berdua. Dan, saat itupun, tampaknya, pembicaraan kami itu sudah hampir berakhir. Tapi, entah malaikat mana yang membisiki dia untuk memberikan petuah.

Dia berbicara terus-menerus. Sementara aku, hanya memegangi lenganku yang berbalut jaket kain warna coklat. Aku hanya diam. Sesekali melempar senyum dan manggut-manggut.

"Jangan membuat fitnah. Jangan menyakiti orang lain," begitu katanya, tiba-tiba.

Ah, aku kaget betul saat itu. Bukan soal aku jarang mengikuti ceramah secara langsung, kecuali saat Sholat Jumat. Tapi lebih disebabkan, apa yang dia katakan itu.

"Kenapa anda bilang seperti itu?" tanyaku. Tapi, hanya dalam hati.

Aku menangkap kesan, aku ini selayaknya seorang penyebar fitnah yang tak bertanggung jawab betul. Pengumbar kesalahan orang yang hobi lempar batu sembunyi tangan. Pria yang datang mendekat hanya untuk mencari celah untuk menjatuhkan.

Sial betul aku ini. Mendapatkan label semacam itu. Apa aku serendah itu. Apa aku se-"bau kencur" itu. Betul-betul.

Kata-kata dan pertanyaan semacam itu justru yang berlalu lalang dipikaranku. Sampai-sampai, yang apa-apa yang dikatakannya tak masuk ke telingaku, yang sebelah manapun. Aku bukan sedang difensif dengan ilmu yang diberikan. Hanya saja, seburuk itukah profesiku. Hingga perlu senantiasa "ditatar".

Saat, aku melepas genggamanku, aku tersadar dia mengatakan sesuatu. "Ini kata-kata Nabi Muhamad, yang disampaikan melalui sunah dan hadist," tuturnya.

Sekali lagi, aku tak sedang menghiraukan semua petuah indahmu. Aku hanya sedang berpikir. Memikirkan, sebenarnya bagaimana pola pikir yang dia pakai. Atau mungkin yang mereka pakai.

[02/12/2010]

Sobekan Kertas

Eneng

18:29

Eneng. Begitu namanya. Aku tak terlalu yakin, lima huruf itu namanya. Aku tak yakin. Tapi, aku tak mampu berbuat banyak untuk lebih tau namanya yang sesungguhnya. Sebab, perempuan berambut panjang itupun hanya ingin dipanggil dengan nama itu. "Panggil saja, Eneng," ucap dia.

Penampilan Eneng, sangat menarik perhatian. Kaos berwarna merah jambu, melekat kuat di tubuhnya. Sementara itu, rok mini, sangat mini, melingkar dipanggulnya. Warnanya hitam dan berumbai-rumbai. Bagi mata seorang pria, jelas sangat menarik perhatian. Minimal, melirik.

Malam itu, perempuan berperawakan kecil itu memulai berbincang denganku. Namun, caranya agak aneh. Kami saling tanya, dengan menggunakan layanan "pesan" di hape. Bukan saling SMSan. Hanya saling meninjukan jawaban dan pertanyaan lewat monitor.

"Mirip kayak anak SMA yah," komentarku soal cara berkomunikasi aku dan Eneng.

Tapi, mungkin, cara itu memang yang paling pas buat kami berbincang. Tempat kami berbincang, memang sangat bising. Ruangannya juga gelap. Hanya sebersit sinar hijau menerangi. Asap rokok-pun, sangat peka terasa. Dan Eneng pun ternyata tak tahan dengan asap rokok.

"Mataku udah perih banget nih. Tolong ambilin tisu dong," pintanya. Aku mengambilkan tisu, beserta wadahnya yang putih warnanya.

Kami berbincang lagi. Ternyata Eneng, mahasiswa D3 di Unsoed Purwokerto. Masuk 2007, dan baru lulus tahun ini. Dia dari daerah Pengandaran, Ciamis.

"Pantai yah," kataku spontan. Aku sendiri bingung, kenapa kata itu malah yang keluar. Seakan yang ada di otak hanya kata: pantai. Tapi, mau bagaimana lagi, memang begitu adanya.

Tapi, berkat ketololanku berkomentar itu, pikiranku malah jadi bertanya-tanya. Benarkah dia semuda itu. Kok rasanya dia terlampau tua untuk umur segitu. Atau tren yang ada memang begitu adanya. Umur muda, muka "boros".

Itu baru satu pertanyaan yang urung kutanyakan. Sebenarnya, aku ingin tanya; apakah kamu itu yang disebut ayam kampus? Kalau iya, sudah berapa lama? Ah, tapi tak pantas. Rasanya begitu.

Dua jam, hampir. Musik terus bertalu-talu. Entah apa saja yang udah masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Atau juga sebaliknya. Entah.

Yang terang, Eneng yang masih cari pekerjaan, tak jua mengeluarkan suaranya yang seirama dengan alunan musik. Mungkin hanya beberapa bait. Mungkin hanya beberapa kata. Eneng mengaku tak bisa menyanyi. "aku suka lagi ya sudah lah," tutur dia.

Dua jam, kali ini, sudah berlalu. Eneng dan temannya pergi dengan kedua temanku. Entah kemana. Mereka pergi dengan mobil. "Mereka mau....," ucap temanku yang lain.

[01/12/2010]