Coret Moret

Sajak Rumah

19:39

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana ibu tertawa.
Menertawai tingkah polah adikku,
yang ternyata terus tumbuh dewasa.

Aku rindu rumah.
Saat ingat bagaimana ibu tertidur.
Tidur seraya terus menjaga matanya,
untuk menjaga seisi rumah.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana aku terjatuh dari motor.
Terjatuh dengan ci intan yang bergaya mengendarainya,
padahal waktu itu kami disuruh tidur.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana mata ini berinai air.
Menangis lantaran aku, ci intan, dan adik-adikku bertengkar,
untuk hal-hal yang sepele.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana seisi rumah tertawa.
Menertawai setiap polah anggota keluarga,
yang nggak terpikirkan.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana adik-adikku pagi kemarin.
Bangun tidur kesiangan, bergegas mandi, menyiapkan sarapan,
padahal detik jam terus menuju angka tujuh.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana aku bangun tengah malam.
Bangun lantaran aku terjatuh dari kasur,
malam itu aku bermimpi terjun payung.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat wajah-wajah kalian,
Ibu, papah, ci intan, mas didi, bisma, tanjung, satrio, dan tata.
Aku rindu rumah.

[24/07/10]

Catatan Kecil Hari ini

#11

18:55

Tanpa bir dan kondom, layani sepuasnya.

Satu baris kata itu ternyata berhasil memberikan satu pelajaran buatku. Padahal, awalnya, aku enggan melihat kata-kata itu. Bukan kata-kata itu terkesan nakal, tapi lebih lantaran proses kemunculan kata-kata itu.

Kata-kata nyentil itu yang jelas bukan rangkaian kata-kata jorok. Tapi, kalo provokatif sih iya. Hm, kata itu yang jadi spanduk Koperasi Kampus Unsoed (Kopkun). Serangkaian kata buat promosi swalayan.

Nah, lalu mana yang jadi pelajarannya. Pelajaran yang aku dapet bukan dipermainan kata itu, tentu. Melainkan, pada proses pemasangan spanduk itu.

Ya, kemaren, hari jumat malem, aku yang dapet jatah masang spanduk. Lebih sih tepatnya, aku yang nemenin temenku, ijonk, buat masang spanduk di jalanan sekitar kampus Unsoed.

Mulanya, sambil naik motor, kamu menilik titik-titik mana yang perlu dipasang spanduk. Jatah spanduk yang musti dipasang ada dua buah.

Kami, berkeliling buat melihat view yang bagus. Melihat spanduk-spanduk yang malang melintang dijalanan. Mengamati sisi kanan dan kiri jalan. Memandang pohon dan tiang listrik ataupun telpon.

Pengamatan ini menjadi penting adanya. Benar-benar sangat krusial. Salah posisi atau salah cara masang, bisa berabe jadinya. Bukan soal ongkos pemasangan yang bisa dipotong, tapi soal minimnya pelangggan yang membeli barang di Kopkun Swalayan. Maklum, ini kan tahun ajaran baru.

Malam semakin larut. Berbekal tangga lipat aluminium dan spanduk, aksi kami mulai. Aku memasang tangga di tiang listrik. Nah, si Ijonk pasang gaya buat masang tali di tiang. Dengan lincahnya dia menjeratkan tai dari tiang yang satu ke tiang yang lain. Aku cuma berjaga sambil memegangi tangga.

Aksi kami selesai pukul 1-an. Berbarengan dengan kabut yang menyelimuti Purwokerto.

Sebenernya, aku udah dikasih tau soal prinsip periklanan macam itu di ruang kuliah. Ironisnya hanya secuil doank.

Tapi, karena itulah aku jadi malu sendiri. Bagaimana bisa ilmu periklanan yang aku cari di ruang kuliah nggak bisa menjawab banyak soal teknis beriklan lewat spanduk. Hm, aku jadi malu sama orang-orang yang nggak perlu kuliah di Ilmu Komunikasi tapi paham seluk beluk pemasangan iklan. Bahkan kualitas hasil pemasangan iklan mereka jauh lebih efektif dan efisien.

Ya, di titik itulah aku mulai dapat pelajaran baru. Dan seperti kata seorang teman, saat ada pengetahuan baru, berarti ada gugatan yang bisa kita sampaikan. Minim-minimnya tanda tanya.

Nah, aku sekarang lagi menaruh curiga nih. Jangan-jangan, ilmu yang aku dapetin dari bangku kuliah, juga nggak ada gunannya di dunia kerja. Ah, jangan-jangan....

17-07-2010

Meniti Jalanan

Manusia Perkasa Itu Ada di Pejawaran

18:41

Ini jelas bukan kali pertama aku main ke sana. Kelokan, tanjakan dan turunan tajam serta hawa dinginnya, jelas sudah aku akrabi. Meski hanya sebatas yang aku bisa.

Oh iya, Pejawaran itu merupakan salah satu kecamatan di wilayah Banjarnegara. Tempatnya jauh dari pusat kota. Kurang lebih satu jam perjalanan. Itupun setelah menempuh jalanan yang terjal nan berkelok. Lebih dekat dengan dataran tinggi Dieng.

Tapi, untuk kesekian kali itupula, aku selalu dapet hal-hal yang menarik di sana. Seharian di sana, sudah banyak cerita yang diceritain sama desa itu. Sebuah kehidupan yang mungkin udah tergerus.

Di kecamatan dengan 17 desa itu, melihat fenomena; manusia perkasa. Yah, manusia yang punya kekuatan. Menariknya, nggak cuma laki-laki, namun juga perempuan.

Orang-orang desa itu emang nggak bergaya layaknya Samson atau Xena. Cara mereka menunjukan kekuatannya pun berbeda dengan cara superhero khas barat; menolong orang-orang yang diserang monster. Dan baju khas superhero pula.

Mereka itu sangat ala kadarnya. Bercelana dan kaos lengan panjang. Mengenakan penutup kepala. Sepatu boot pun nggak ketinggalan.

Manusia-manusia perkasa itu tampak di jalanan. Pagi tampak. Siang memunculkan batang hidungnya. Sore pun ada di depan mata.

Namun, hanya di siang hari, mereka mau unjuk kekuatan. Mereka emang bukan orang yang suka pamer. Aku musti mengakui itu.

Orang-orang pegunungan itu cuma menggendong seikat kayu bakar dalam jumlah banyak di punggung. Dengan bantuan kain jarit. Kalau nggak, ya menyunggu di kepala atau memikul tumpukan rumput buat ternaknya.

Ah, itu sih enteng. Mungkin itu ada yang dibenak. Aku pun begitu, awalnya. Namun, pas diliat baik-baik. Ternyata emang nggak gampang. Coba aja bayangkan, dengan beban sebanyak itu, jarak yang panjang, dari ladang hingga ke rumah. Menanjak pula.

Yang lebih mengagetkan, ternyata, diantara laki-laki dan perempuan dewasa itu, ada anak-anak pula. Di jam sekolah mereka malah unjuk kekuatan seperti halnya orang tua mereka. Aku nggak tau mau menyebut ini apa; miris atau dilematis.