Artikel: Purbalingga Era Kento

11:37

SEMENJAK pekan ketiga Agustus, persisnya selepas pelantikan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Purbalingga mulai memasuki babak baru. Namun karena perubahan lebih sebatas lingkungan Pendapa Dipakusuma, belum banyak yang menyadarinya.

Yang dirujuk fenomena di internal pemerintah kabupaten itu bukan segala camuk rasa yang membuncah di benak para pegawai negeri sipil (PNS), selepas kemenangan gemilang Pilgub Jateng. Atau malah tentang arah kegembiraan atas kemenangan tersebut.

Sebab yang lebih patut disimak oleh masyarakat Purbalingga adalah perubahan kinerja yang sedang terjadi di internal birokrasi Kabupaten Purbalingga. Bukan euphoria kemenangan. Perubahan yang terjadi pelan-pelan namun tetap sejalan dengan prinsip, beda pemimpin beda gaya.

Betul. Heru Sudjatmoko dan Sukento Rido Marhendrianto memang orang yang punya gaya berbeda. Terutama dalam urusan memimpin. Latar belakang yang berlainan bisa jadi yang membawa gaya yang berlainan pula bagi pasangan tersebut. Heru birokrat tulen, Kento perbankan berpengalaman.

Dan, perbedaan benar-benar mewujud nyata dalam satu bulan terakhir. Berbeda dengan gaya Heru yang tenang dan bertindak pelan namun pasti pada saat mengambil kebijakan, dalam hitungan hariKento langsung bergerak cepat. Taktis.

Seolah sudah siap mengambil alih kepemimpinan pemerintahan, Kento langsung bergerak lebih cepat dari saat ia berada di posisi sebagai wakil. Bak pebisnis melihat peluang yang bernilai, Pak Kento langsung berusaha melakukan terobosan.

Bila mengakses berbagai media massa yang beredar di Purbalingga, kita bisa melihat “rekaman” sebagian kecil upaya terobosan itu. Mulai dari penataan pejabat, city tour, sikap siap dikritik sampai dengan penegasan sikap zero tolerance for corruption.

Untuk rakyat di Kota Perwira, komitmen pemerintahan yang transparans dan anti-korupsi yang ditegaskan Kento sudah tentu menjadi titik cerah. Di Kota Knalpot, ketegasan seorang pemimpin menjadi sesuatu yang berharga.

Tetapi, komitmen dan apresiasi dari rakyat tak semata cukup menjadi modal bagi Kento membenahi Purbalingga. Sebab, efektivitas dan efisiensi kinerja yang didorong akan membawa imbas yang besar. Baik itu di tingkat masyarakat umum maupun internal birokrasi.

Birokrasi tetap menjadi elemen penting dalam hal perubahan itu. Mereka adalah mesin utama penggerak peningkatan kualitas kinerja pelayanan publik. Sekeras apapun pemimpin bergerak, apabila pasukannya enggan bergerak sudah tentu semua cuma menjadi wacana.

Jajaran birokrasi harus menjadi perhatian utama, mengingat selama ini Kento tidak mengakar di sana. Selama ini, jajaran birokrat lebih “menempel” pada Bupati, bukan Wakil Bupati. Sudah pasti, setelan kinerja tidak akan semudah itu klop. Apalagi dalam hitungan pekan.

Dalam kondisi macam itu, sudah tentu harus ada percepatan untuk menyelaraskan kinerja aparat pemerintahan dan pimpinan. Jangan sampai kemauan maju justru mendapatkan perlawanan dari dalam. Perlawanan dalam bentuk enggan untuk maju dan meningkatkan kinerja.

Namun, percepatan itu baiknya tidak memunculkan kondisi dimana pimpinan diperdaya bawahan, yang berstatus pemburu jabatan dan mendadak suka menempel ke pemimpin. Yang harusnya terjadi adalah pimpinan memberdayakan bawahan. Sehingga peningkatan kinerja pejabat betul-betul bisa terwujud.

Pembenahan internal itu krusial di tengah tingginya harapan rakyat akan kinerja pemerintahan versi Kento. Mereka tidak hanya haus akan pembangunan fisik, namun mereka sudah lapar dengan pelayanan publik yang baik dan keterbukaan dari pemerintah. Rakyat sudah semakin pintar.

Beberapa bulan terakhir perhatian rakyat kepada pemerintahan di Purbalingga juga sedang tinggi. Terlebih setelah terseretnya sejumlah pejabat di Dinas Pendidikan ke meja hijau. Baik itu karena tanda tangan palsu ataupun dugaan korupsi DAK Pendidikan.

Sebab itulah, jika upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten di bawah kendali Kento gagal memenuhi pengharapan itu, maka masyarakat akan semakin tidak percaya dengan negara. Yang mana, secara khusus bagi Kento pribadi, itu artinya peluang keterpilihan menjadi menciut.

Saya juga berharap akan ada yang asyik di Kota Perwira. Dan secara lebih khusus saya lebih berharap upaya-upaya Kento dan pasukannya itu tidak sebatas karena ingin beda. Layaknya, Bupati A yang tidak ingin disamakan dengan Bupati B atau Bupati C yang tak ingin disamakan dengan Bupati A.

Sebab dalam semangat “ingin beda” dengan pemimpin sebelumnya tidak pernah ada sinergitas, tidak ada penyelarasan kebijakan yang dulu dan yang mendatang. Bila itu terjadi, lagi-lagi rakyat yang jadi korban. Lagipula kalau asal beda, saya juga bisa.

* Tulisan ini pernah tayang di rubrik Public Service Satelit Post, 23 September 2013.

You Might Also Like

2 komentar

  1. terima kasih infonya !!!

    http://obattradisionalkolesterolalamiherbal.wordpress.com/

    BalasHapus
  2. jika kelamaan bergerak malah menjadi spekulasi di benak masyarakat, ada tarik ulur apakah di balik kelambanan ini

    BalasHapus