Coret Moret

Sajak Dulurku

18:03

Dulurku Lanang Bangkit

Kit…….

Wulan iki limang tahun kepungkur

Sliramu lair.

Ngancani aku ngrewangi bapak ibu.

Najan kadang mung dadine tukaran.

Aja salah tampa

Kabeh mau merga kowe adiku lan aku tresna

Ewa semana aku uga njaluk pangapura.

Dulurku lanang bangkit

Ayo wiwit dina iki pada ngatokna bektine marang wong tua

Kanti manut miturut lanm sregep sinau.

Kejaba saka kuwe.

Kowe aja nakal,

Aja dumeh lanang dewek.

Lan kuwe uga aja wedi merga ara nana kanca lanang

Mbok isih ana bapak.

Kit….

Aku lan adimu apit ora bisa paring hadiah.

Kejaba rasa syukur, muga muga Gusti Allah paring umur panjang

lan kepinteran.

Mung gegurit iki minangka rasa bungah syukurku.

Uga tak hadiahi Al Fatihah iki….

Slamet ya kit

Slamet……


[Sajak ini bikinan bapakku pas aku masih umur lima tahun. Kakak perempuanku yang baca puisi ini sewaktu ulang tahunku. Judul aslinya nggak ada, jadi aku bikin judul sendiri.]

Coret Moret

Sajak Rumah

19:39

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana ibu tertawa.
Menertawai tingkah polah adikku,
yang ternyata terus tumbuh dewasa.

Aku rindu rumah.
Saat ingat bagaimana ibu tertidur.
Tidur seraya terus menjaga matanya,
untuk menjaga seisi rumah.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana aku terjatuh dari motor.
Terjatuh dengan ci intan yang bergaya mengendarainya,
padahal waktu itu kami disuruh tidur.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana mata ini berinai air.
Menangis lantaran aku, ci intan, dan adik-adikku bertengkar,
untuk hal-hal yang sepele.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana seisi rumah tertawa.
Menertawai setiap polah anggota keluarga,
yang nggak terpikirkan.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana adik-adikku pagi kemarin.
Bangun tidur kesiangan, bergegas mandi, menyiapkan sarapan,
padahal detik jam terus menuju angka tujuh.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana aku bangun tengah malam.
Bangun lantaran aku terjatuh dari kasur,
malam itu aku bermimpi terjun payung.

Aku rindu rumah.
Saat aku ingat wajah-wajah kalian,
Ibu, papah, ci intan, mas didi, bisma, tanjung, satrio, dan tata.
Aku rindu rumah.

[24/07/10]

Catatan Kecil Hari ini

#11

18:55

Tanpa bir dan kondom, layani sepuasnya.

Satu baris kata itu ternyata berhasil memberikan satu pelajaran buatku. Padahal, awalnya, aku enggan melihat kata-kata itu. Bukan kata-kata itu terkesan nakal, tapi lebih lantaran proses kemunculan kata-kata itu.

Kata-kata nyentil itu yang jelas bukan rangkaian kata-kata jorok. Tapi, kalo provokatif sih iya. Hm, kata itu yang jadi spanduk Koperasi Kampus Unsoed (Kopkun). Serangkaian kata buat promosi swalayan.

Nah, lalu mana yang jadi pelajarannya. Pelajaran yang aku dapet bukan dipermainan kata itu, tentu. Melainkan, pada proses pemasangan spanduk itu.

Ya, kemaren, hari jumat malem, aku yang dapet jatah masang spanduk. Lebih sih tepatnya, aku yang nemenin temenku, ijonk, buat masang spanduk di jalanan sekitar kampus Unsoed.

Mulanya, sambil naik motor, kamu menilik titik-titik mana yang perlu dipasang spanduk. Jatah spanduk yang musti dipasang ada dua buah.

Kami, berkeliling buat melihat view yang bagus. Melihat spanduk-spanduk yang malang melintang dijalanan. Mengamati sisi kanan dan kiri jalan. Memandang pohon dan tiang listrik ataupun telpon.

Pengamatan ini menjadi penting adanya. Benar-benar sangat krusial. Salah posisi atau salah cara masang, bisa berabe jadinya. Bukan soal ongkos pemasangan yang bisa dipotong, tapi soal minimnya pelangggan yang membeli barang di Kopkun Swalayan. Maklum, ini kan tahun ajaran baru.

Malam semakin larut. Berbekal tangga lipat aluminium dan spanduk, aksi kami mulai. Aku memasang tangga di tiang listrik. Nah, si Ijonk pasang gaya buat masang tali di tiang. Dengan lincahnya dia menjeratkan tai dari tiang yang satu ke tiang yang lain. Aku cuma berjaga sambil memegangi tangga.

Aksi kami selesai pukul 1-an. Berbarengan dengan kabut yang menyelimuti Purwokerto.

Sebenernya, aku udah dikasih tau soal prinsip periklanan macam itu di ruang kuliah. Ironisnya hanya secuil doank.

Tapi, karena itulah aku jadi malu sendiri. Bagaimana bisa ilmu periklanan yang aku cari di ruang kuliah nggak bisa menjawab banyak soal teknis beriklan lewat spanduk. Hm, aku jadi malu sama orang-orang yang nggak perlu kuliah di Ilmu Komunikasi tapi paham seluk beluk pemasangan iklan. Bahkan kualitas hasil pemasangan iklan mereka jauh lebih efektif dan efisien.

Ya, di titik itulah aku mulai dapat pelajaran baru. Dan seperti kata seorang teman, saat ada pengetahuan baru, berarti ada gugatan yang bisa kita sampaikan. Minim-minimnya tanda tanya.

Nah, aku sekarang lagi menaruh curiga nih. Jangan-jangan, ilmu yang aku dapetin dari bangku kuliah, juga nggak ada gunannya di dunia kerja. Ah, jangan-jangan....

17-07-2010