Catatan Kecil Hari ini

#23

08:33

Belakangan trafic di blog bikinanku lagi rame banget. Lagi banyak banget yang melongok halaman blogku ini. Terlebih, setelah aku merilis tulisan "Demosntrasi, Lawakan Gaya Baru", awal Januari lalu.

Tulisan soal gambaran demonstrasi yang berhasil aku temui di Purbalingga itu berhasil menyedot perhatian orang banyak. Terutama orang-orang yang berada di Purbalingga. Makanya, nggak heran kalau sekarang, tulisan itu yang punya rating nomer wahid di blogku ini.

Ada semacam kepuasan, ternyata. Saat setiap orang memperhatikan hasil karyaku itu. Terlebih jauhnya title "kesempurnaan" pada tulisan itu. Sampai-sampai aku selalu tersenyum sendiri, kalau liat di statistik, banyak orang melihat tulisan itu.

Tapi, semakin ke sini, aku makin menyadari, kalau mereka semua itu sama sekali nggak ngasih komentar. Jujur, aku heran dengan hal ini.

Aku menilai, ada dua kemungkinan yang bisa saja jadai jawaban atas keherananku itu. Pertama, orang-orang yang baca itu, emang nggak paham cara ngasih komentar di blog. Mungkin gara-gara nggak punya blog jadi nggak suka komentar secara langsung. Positif thinking.

Kedua, aku berpikir, kalau orang-orang itu, nggak siap untuk berbincang dalam bentuk bahasa tulisan. Nggak mau berdiskusi. Tulisan dibals dengan tulisan.

Yah, hampir serupa sama psywar pemain bola yang mau berlaga di laga derby. Kalimat dibalas kalimat. Bukan kalimat ataupun tulisan dibalas dengan pasal pencemaran nama baik. Aw.

Aku rasa ada yang salah. Entah mana yang salah. Entah siapa yang salah. Entah apa yang salah. Aku rasa ada yang salah.

[20/01/2011]

Meniti Jalanan

Ini Nyasar, Bukan Sok Tahu

18:30

"Malu Bertanya, Sesat di Jalan"

Rasanya, kata-kata itulah yang jadi satu-satunya pelajaran yang paling nikmat buatku minggu ini. Mungkin, malah bisa dikatakan, kenikmatannya, melahap es krim di tengah hari dengan panas menyengat.

Ada semacam kekonyolan dalam pengalaman yang aku lalui Jumat (7/1) lalu itu. Kekonyolan yang terpaksa lahir, cuma lantaran aku enggan bertanya. Lebih tepatnya sih, gengsi nanya. Mungkin itulah kenapa pengalaman yang nggak pernah dinyana itu, begitu nikmat. Kalau nggak mau disebut; menampar!
***

Siang itu, aku berniat ngambil foto jembatan yang pondasinya ambles. Jadi nggak bisa dilewatin kendaraan. Kecuali sepeda motor, itu pun giliran lewatnya. Jembatan Kali Putat itu ada di Desa Kalijaran, Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga.

Mulanya, aku dibikin kebingungan nyari jembatan yang ambrol Kamis (6/1) siang sekitar Pukul 14.30 WIB itu. Butuh waktu sekitar 30 menit buat nemui jembatan yang melintang di Kali Putat tersebut.

Hampir putus asa, aku ambil keputusan serampangan. Mengambil jalan belok kekiri. Ajaib. Jembatan itu ketemu! Wah, bener-bener lega tuh rasanya.

Jeprat-jepret. Ambil beberapa gambar. Tanya orang yang kebetulan di sana. Waktu itu, lagi banyak warga yang lagi mancing ikan lele di sungai, jadi ya rame.

Semua berjalan dengan lancar. Sangat mudah. Namun, petaka dimulai setelah semuanya dianggap beres.
***

Waktu sudah mapir menunjuk Pukul 10.00 WIB. Sudah terlampau siang, sedangkan aku berkehendak berangkat ke Purbalingga. Aku putuskan mengambil jalan yang berbeda dengan jalur berangkat. Biar lebih dekat, pikirku.

Keputusan mengambil jalur yang beda memang lebih didasari rasa ingin tahuku. Aku pingin tahu, jalan itu akan tembus ke wilayah Kabupaten Purbalingga sebelah mana. Saat itu, semangat petualanganku betul-betul memenuhi otakku.

Motor dipacu. Pertigaan dekat jembatan, aku lewati begitu saja. Terus melaju di tengah jalan aspal di Desa Kaliori, Karanganyar. Semakin jauh, jalan aspal halus semakin sirna. Digantikan dengan jalan yang sempit. Dan tak ada aspal, hanya jalan berbatu. Kayak kali sat.

Saat itu aku tak merasa aneh. "Mungkin inilah sisi lain Purbalingga. Ketimpangan antara pembangunan di kota dan di desa. Pusat kota jadi mercusuar yang tak akrab dengan desa," itu yang ada dibenakku.

Maka itu, motor terus menerabas jalan batu itu. Tak perduli, jalan itu sungguh tak nyaman untuk dilalui. Sangat tak nyaman. Sungguh.

Terus melaju, namun kok seperti tak ada ujung. Aku pun makin nggak tau, di mana aku ini sebenarnya. Di desa yang samakah. Atau sudah berganti desa dan kecamatan. Belum lama naruh curiga, aku menemukan diriku menemukan jalan buntu.

Jalan yang aku lalui berujung pada sungai tanpa jembatan. Dengan kata lain, aku nyasar!

Motor langsung kubalik arah. Sambil clingukan, jalan berbatu itu aku lewati lagi. "Aku harap nggak ada yang liat," kataku dalam hati, sambil senyum malu sendiri.

Namun, sial memang sial. Bukannya jalan pulang ditemukan, aku malah menemukan jalan buntu lagi. Kali ini bukan sungai yang "menghalangi" jalanku, melainkan hamparan luas berwarna hijau yang lazim dikenal sebagai sawah.

Motor terpaksa berbalik arah, lagi. Mau tidak mau kan.

Sebenarnya, aku bisa saja tanya sama orang yang ada di sepanjang jalan. Sebenarnya, ada beberapa warga yang sempet aku temui di jalan. Tapi rasanya enggan betul. Gengsi betul.

Saat itu, aku mikirnya, kalau aku tanya sama orang, aku malu karena dianggap nggak kenal daerahku sendiri. Ah, kenapa juga aku bisa ngerasa kayak gitu.

Tapi, aku akhirnya, tanya sama anak kecil. Yang mungkin kadar malunya, akan lebih kecil dibanding nanya sama orang dewasa kan. Aku diberi petunjuk sama anak kecil itu, motor dipacu lagi. Aku kembali ke pusat Desa Kaliori. Motor juga aku kebut ke arah jembatan Kali Putat.

Aku berbalik dengan kecepatan semaksimal mungkin. Berkejaran dengan waktu yang sudah mendekati tengah hari. Bayangkan, ternyata aku tersesat selama hampir satu jam. Gila.

Aku mengambil jalan ke kiri saat melalui pertigaan yang dekat jembatan. Pertigaan yang sudah dari awal aku lewati. Dan, ternyata, aku bisa sampai di Desa Banjaran, Kecamatan Bojongsari. Desa yang jadi tujuanku sedari mula.
***

Ah, inilah akibatnya terlalu gengsi. Cuma gara-gara nggak mau nanya, semua jadi ribet. Jadi nyasar nggak jelas.

Huh. Bukan bermaksud menggurui, tapi kayaknya harus benar-benar jangan malu bertanya. Bertanyalah sebelum ditanyai; Nyasar yah?

[08/01/11]

Sobekan Kertas

Demostrasi, Lawakan Gaya Baru

19:16


Lagi demo di depan Disdik

Hari ini, kali pertama aku melihat secara langsung demonstrasi di Purbalingga. Sungguh pemandang yang asing di kota perwira.

Senin (3/1) kemarin, aku sebenarnya sudah mendengar kabar demonstrasi itu. Aku mendapat kabar itu dari surat yang ditujukan ke Polres yang ditembuskan ke beberapa pihak. Terutama yang jadi tujuan tempat aksi.

LSM ***** Purbalingga yang menjadi motor gerakan itu. Fokus persoalannya mengenai pelaksanaan Dana Alokasi Khusus alias DAK Pendidikan TA 2008 hingga 2010.

Mereka mendatangi Dinas Pendidikan (Disdik), Kantor Kejaksaan Negeri dan DPRD Purbalingga. Ada Sekitar dua truk dan satu pikap. Alamak banyaknya. "Ada sekitar 250an orang," tutur si koordinator aksi.

Mereka kebanyakan masih berusia muda. Mereka turun dari truk dengan menenteng tulisan-tulisan. Kedatangan mereka pun disambut Satpol PP dan petugas kepolisian Polres Purbalingga.

Wah, ketegangan macam apa yang bakal tercipta. Dorong-mendorong kah. Teriakan tuntutan yang terus bertalu-talu kah. Atau malah membongkar paksa gerbang.

Ah, sungguh banyak bayangan adegan yang tercipta. Sungguh harus aku akui, aku senang. Senang melihat orang-orang berjubel menuntut lewat jalur demonstrasi.

Namun, rekaan adegan heroik di otakku, sirna sudah. Aksi gagah, yang aku anggap sakral, malah berubah bak lawakan wagu. Tak ada indah-indahnya sekalipun.
***

Di Aula Disdik, perwakilan LSM itu ditemui petinggi Disdik. Si pendemo pun mengajukan beberapa tuntutan.

"Kenapa saat pengadaan tidak menyesuaikan dengan juklis yang ada?" tanyanya.

Si ketua panitia, menjawab dengan tenang. Tanpa mikrofon, namun, pasti terdengar jelas. Sementara sambil mendengar pada hadirin yang datang disandingkan snack ringan.

"Semua yang anda tanyakan sudah saya jelaskan pada Polres. Saya sudah dipanggil dua kali mengenai persoalan itu untuk klarifikasi," jelas pria yang siang itu berkacamata.

Menurut dia, penyidik Polres justru mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam, luas dan detail. "Maka itu, akan lebih baik, jika anda melihat di BAP yang ada di Polres," tutur pria yang rambutnya memutih.

Tak dinyana, para pendemo itu mengangguk. Mengiyakan jawaban dari ketua pengadaan DAK 2010.

Aksi pun dilanjut ke Kantor Kejaksaan Negeri. Itupun tak sampai lima menit. Mereka melaju ke kantor dewan.

"Lah penonton kecewa. Purbalingga memang sudah terkondisikan," celetuk salah satu wartawan sambil tersenyum.
***

Sementara warga yang pakai truk menikmati terik matahari, sejumlah perwakilan demonstran masuk ke ruang Ketua DPRD. Dinginnya AC, kursi nan empuk dan snank pun menyambut kedatangan mereka.

Di ruangan yang berjubel,- berjubel lantaran polisi dan wartawan ikut masuk, LSM itu meminta DPRD turut mengawal kasus tersebut.

"Purbalingga amburadul. Tolong kami. Kami sudah jenuh," tegas perwakilan LSM yang berbaju gelap dengan nada meninggi.

Suaranya saat itu sengau. Seperti hendak menanggis. Saat itu, aku berpikir, seperti itukah air mata buaya?

Dan, seperti biasa, anggota dewan pun berjanji akan menindak lanjuti. Pertemuan itu hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit. Semua, bubar jalan.
***

Nah, kalo ini lagi di ruangan Ketua DPRD

Penonoton kecewa. Mana ada demontrasi semacam itu. Apa itu yang namanya demonstrasi khas Purbalingga?

"Demonstrasi cuma buat mengejar poryek saja. Biasa lah kayak gitu," ucap seorang wartawan. Alamak.

"Kalau seperti ini, yang senang yang polisi dan wartawan," ujar wartawan yang lain.
***

Siang beranjak sore. Aku masih di depan layar monitor. Mengetik sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaan. Tiba-tiba handphone berdering.

"Mas bangkit? Sedang dimana?" tanya pria dari Disdik yang tidak lain si ketua pengadaan DAK 2010.

"Iya pak. Lagi di kantor, Gimana?" jawabku.

"Tadi katanya yang demonstrasi ribut di kantor LSM. Karena bayaran ikut demo belum dibagi," ucapnya. Sinyal hape pun error. Pembicaraan terputus. Tut tut tut.

Aku cuma terbengong. Wadaw.

[04/01/11]