Catatan Kecil Hari ini

#40

23:29

Kemarin malam, pikiranku terganggung dengan imajinasi yang sederhana, namun membutuhkan jawaban, segera. Pernyataannya semacam ini, bagaimana akhir cerita yang menarik bagi kisah cinta segitiga. Entah kenapa aku ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang terselip di rongga-rongga otak ini.

Sebenarnya, itu bukan pengalaman pribadi, yang pada akhirnya memojokanku untuk bersikap dewasa dan memilih jawaban atas apa yang aku alami. Sekali lagi, itu bukan pengalaman pribadi. Aku hanya bisa mengistilahkannya sebagai dampak dari kebanyakan nonton iklan drama korea.

Catatan Kecil Hari ini

#39

23:26

Belakangan, seorang teman kerap bercerita bahwa dirinya sangat hebat dan patut dihargai. Ia merasa dirinya berasal dari keluarga yang luar biasa besar. Orang tuanya yang satu, ternama. Sementara orang tuanya yang satunya lagi sudah sangat berpengaruh.

Sampai-sampai, kata dia, bila mendengar nama orang tuanya saja, semua orang "bertekuk lutut" kepadanya. Minder. Segan. Atau bahkan menjadi berpikir ulang untuk "menjatuhkan" harga dirinya, bagaimanapun caranya.

Sobekan Kertas

Aku dan Si Puss

17:14

Kucing kecil itu berlari kesana kemari. Namun, ia lebih banyak berada di bawah meja. Ia bermain-main di sana. Bermain kabel mouse yang terletak di atas meja. Disentuh-sentuhnya kabel yang menggelantung itu dengan kaki kanannya.

Setelah bosan, ia beralih kepada lembaran koran Suara Banyumas Suara Merdeka, yang terletak di bawah meja. Mulanya, kucing kampung berwarna abu-abu itu hanya menduduki lembaran koran terbesar di Jawa Tengah itu. Mungkin lantaran dingin.

Tetapi, kemudian, kucing kecil yang dalam beberapa pekan terakhir, rajin mendatangi rumah itu justru masuk dalam lipatan koran itu. Seakan dia masuk kedalam sana untuk menjadikan kertas itu sebagai rumah. Tempat penghangat yang tepat untuk melindungi diri dari sergapan dingin di hari yang mendung.

Pagi ini, kucing yang asyik bermain dengan dunianya itu, menjadi tontonanku. Kata adik perempuanku, kucing yang belum bernama dan hanya dipanggil "puss" itu memang manja dan lucu. Tetapi, induknya selalu tampak marah bila si puss itu dipegang. "Grrr," begitu adiku menirukan gaya induk si puss. Aku hanya tersenyum.

Polah si puss itu menjadi menarik buatku, lantaran aku menyadari sesuatu. Aku menyadari bahwa ada titik-titik dimana kita itu seharusnya memiliki daya untuk terus mencoba mengenal hal-hal baru. Memainkan hal yang tak dikenal itu dengan tangan dan seluruh indrawi.

Bermain gaya kucing, yang acuh itu, menjadi pertanda, belajar dengan modal ingin tahu, ingin mengenal sesuatu yang baru adalah hal yang wajar. Hal yang memang lumrah dilakukan. Tidak hanya oleh kucing, tetapi juga manusia itu sendiri. Kita.

Bagiku, hewan yang juga dikenal sebagai salah satu predator handal itu mengajarkan bahwa tidak perlu ragu untuk belajar. Tidak perlu memikirkan ini itu, yang sebenarnya tak jelas justrungnya. Yang sejatinya, pikiran negatif yang biasa kita sebut sebagai pertimbangan, itu tidak selamanya benar-benar.

Bukankah, bisa saja, hal negatif itu hanya buah atas stigma negatif yang tercipta dari persinggungan neuron-neuron yang memang hanya ada di otak saja. Kucing kampung itu mengajari, paling tidak aku sendiri, bahwa kemampuan belajar, mengenal hal baru adalah hal penting. Belajar dengan sedikit mengabaikan rasa malu.

[06/11/2011]