#61

20:55

Berani. Begitu kata Pramodya Anata Toer saat ditanya; apa modal menulis. Keberanian menjadi pondasi penting dalam menelurkan ide-ide melalui untaian aksara. Di luar itu, terus-menerus menulis adalah cara terampuh mengasah kemampuan.

Dalam sebuah perbincangan yang tertera di buku Pram Melawan, orang yang sudah bolak-balik mengalami pengasingan itu menjelaskan, sebab, ketika karya sudah jadi, maka yang dihadapi seorang penulis itu ribuan orang. Karya tulisan itu anak rohani sang penulis.

Sejak mendapati jawaban singkat dari Pram dalam buku itu, aku sedikit tersentak. Sekalipun bukan penulis, sudah lama aku menyimpan hasrat untuk menuliskan segala unek-unek. Mulai dari ide sampai dengan curahan hati alias curhat.

Lebih dari itu, kata-kata lugas Bung Pram itu menjadi kian menohok lantaran aku baru menyadari bahwa keberanian itulah yang beberapa waktu belakangan ini seakan lenyap. Keberanian untuk menulis dan keberanian untuk menikmati kritik.

Dulu, beberapa tahun lalu, meski harus diakui juga kalau terkadang sempat merasa takut dikritik, aku seperti keranjingan dengan kritik. Sampai-sampai, aku meminta untuk dikritik. Keyakinanku, menulis itu; melakukan dan dikritik (dibaca). Kritik itu perhatian.

Karena itulah, semua tulisan-tulisan yang aku buat tanpa tedeng aling-aling. Kalau tak suka, ya buat tulisan yang menegaskan sikap ketidaksukaanku. Kalau memang sedang hendak curhat, ya sudah, curhat dengan polosnya. Ketika jadi polemik, ya sudah.

Tapi sekarang, aku mulai jarang mengharapkan kritik. Bahkan, ketakutan lebih merajai saat hendak membikin tulisan. Ketakutan acap lebih gagah dibanding upaya untuk membumikan ide. Satu-satunya alasan yang bisa dipahami; karena selama ini tak ada kritik, alhasil zona nyaman tak bisa ditinggalkan.

You Might Also Like

2 komentar