Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana ibu tertawa.
Menertawai tingkah polah adikku,
yang ternyata terus tumbuh dewasa.
Aku rindu rumah.
Saat ingat bagaimana ibu tertidur.
Tidur seraya terus menjaga matanya,
untuk menjaga seisi rumah.
Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana aku terjatuh dari motor.
Terjatuh dengan ci intan yang bergaya mengendarainya,
padahal waktu itu kami disuruh tidur.
Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana mata ini berinai air.
Menangis lantaran aku, ci intan, dan adik-adikku bertengkar,
untuk hal-hal yang sepele.
Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana seisi rumah tertawa.
Menertawai setiap polah anggota keluarga,
yang nggak terpikirkan.
Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana adik-adikku pagi kemarin.
Bangun tidur kesiangan, bergegas mandi, menyiapkan sarapan,
padahal detik jam terus menuju angka tujuh.
Aku rindu rumah.
Saat aku ingat bagaimana aku bangun tengah malam.
Bangun lantaran aku terjatuh dari kasur,
malam itu aku bermimpi terjun payung.
Aku rindu rumah.
Saat aku ingat wajah-wajah kalian,
Ibu, papah, ci intan, mas didi, bisma, tanjung, satrio, dan tata.
Aku rindu rumah.
[24/07/10]
Satu baris kata itu ternyata berhasil memberikan satu pelajaran buatku. Padahal, awalnya, aku enggan melihat kata-kata itu. Bukan kata-kata itu terkesan nakal, tapi lebih lantaran proses kemunculan kata-kata itu.
Kata-kata nyentil itu yang jelas bukan rangkaian kata-kata jorok. Tapi, kalo provokatif sih iya. Hm, kata itu yang jadi spanduk Koperasi Kampus Unsoed (Kopkun). Serangkaian kata buat promosi swalayan.
Nah, lalu mana yang jadi pelajarannya. Pelajaran yang aku dapet bukan dipermainan kata itu, tentu. Melainkan, pada proses pemasangan spanduk itu.
Ya, kemaren, hari jumat malem, aku yang dapet jatah masang spanduk. Lebih sih tepatnya, aku yang nemenin temenku, ijonk, buat masang spanduk di jalanan sekitar kampus Unsoed.
Mulanya, sambil naik motor, kamu menilik titik-titik mana yang perlu dipasang spanduk. Jatah spanduk yang musti dipasang ada dua buah.
Kami, berkeliling buat melihat view yang bagus. Melihat spanduk-spanduk yang malang melintang dijalanan. Mengamati sisi kanan dan kiri jalan. Memandang pohon dan tiang listrik ataupun telpon.
Pengamatan ini menjadi penting adanya. Benar-benar sangat krusial. Salah posisi atau salah cara masang, bisa berabe jadinya. Bukan soal ongkos pemasangan yang bisa dipotong, tapi soal minimnya pelangggan yang membeli barang di Kopkun Swalayan. Maklum, ini kan tahun ajaran baru.
Malam semakin larut. Berbekal tangga lipat aluminium dan spanduk, aksi kami mulai. Aku memasang tangga di tiang listrik. Nah, si Ijonk pasang gaya buat masang tali di tiang. Dengan lincahnya dia menjeratkan tai dari tiang yang satu ke tiang yang lain. Aku cuma berjaga sambil memegangi tangga.
Aksi kami selesai pukul 1-an. Berbarengan dengan kabut yang menyelimuti Purwokerto.
Sebenernya, aku udah dikasih tau soal prinsip periklanan macam itu di ruang kuliah. Ironisnya hanya secuil doank.
Tapi, karena itulah aku jadi malu sendiri. Bagaimana bisa ilmu periklanan yang aku cari di ruang kuliah nggak bisa menjawab banyak soal teknis beriklan lewat spanduk. Hm, aku jadi malu sama orang-orang yang nggak perlu kuliah di Ilmu Komunikasi tapi paham seluk beluk pemasangan iklan. Bahkan kualitas hasil pemasangan iklan mereka jauh lebih efektif dan efisien.
Ya, di titik itulah aku mulai dapat pelajaran baru. Dan seperti kata seorang teman, saat ada pengetahuan baru, berarti ada gugatan yang bisa kita sampaikan. Minim-minimnya tanda tanya.
Nah, aku sekarang lagi menaruh curiga nih. Jangan-jangan, ilmu yang aku dapetin dari bangku kuliah, juga nggak ada gunannya di dunia kerja. Ah, jangan-jangan....
17-07-2010
Oh iya, Pejawaran itu merupakan salah satu kecamatan di wilayah Banjarnegara. Tempatnya jauh dari pusat kota. Kurang lebih satu jam perjalanan. Itupun setelah menempuh jalanan yang terjal nan berkelok. Lebih dekat dengan dataran tinggi Dieng.
Tapi, untuk kesekian kali itupula, aku selalu dapet hal-hal yang menarik di sana. Seharian di sana, sudah banyak cerita yang diceritain sama desa itu. Sebuah kehidupan yang mungkin udah tergerus.
Di kecamatan dengan 17 desa itu, melihat fenomena; manusia perkasa. Yah, manusia yang punya kekuatan. Menariknya, nggak cuma laki-laki, namun juga perempuan.
Orang-orang desa itu emang nggak bergaya layaknya Samson atau Xena. Cara mereka menunjukan kekuatannya pun berbeda dengan cara superhero khas barat; menolong orang-orang yang diserang monster. Dan baju khas superhero pula.
Mereka itu sangat ala kadarnya. Bercelana dan kaos lengan panjang. Mengenakan penutup kepala. Sepatu boot pun nggak ketinggalan.
Manusia-manusia perkasa itu tampak di jalanan. Pagi tampak. Siang memunculkan batang hidungnya. Sore pun ada di depan mata.
Namun, hanya di siang hari, mereka mau unjuk kekuatan. Mereka emang bukan orang yang suka pamer. Aku musti mengakui itu.
Orang-orang pegunungan itu cuma menggendong seikat kayu bakar dalam jumlah banyak di punggung. Dengan bantuan kain jarit. Kalau nggak, ya menyunggu di kepala atau memikul tumpukan rumput buat ternaknya.
Ah, itu sih enteng. Mungkin itu ada yang dibenak. Aku pun begitu, awalnya. Namun, pas diliat baik-baik. Ternyata emang nggak gampang. Coba aja bayangkan, dengan beban sebanyak itu, jarak yang panjang, dari ladang hingga ke rumah. Menanjak pula.
Yang lebih mengagetkan, ternyata, diantara laki-laki dan perempuan dewasa itu, ada anak-anak pula. Di jam sekolah mereka malah unjuk kekuatan seperti halnya orang tua mereka. Aku nggak tau mau menyebut ini apa; miris atau dilematis.
Jalanan di mukaku itu, masih saja ramai.
Semua bersliweran begitu saja.
Ke depan, ke kanan, ke kiri, ke belakang.
Sedari pagi, masih saja begitu.
Saat malam menjelang, pun masih begitu.
Yang beda cuma cahaya ang dipancarkan saja.
Aku masih ingat, waktu kecil, aku dibikin kagum dengan cahaya kota Jakarta
Jakarta melong-melong, kataku.
Berbinar dan penuh cahaya.
Tapi, kini nggak lagi.
Cahaya di jalanan ini, nggak semempesona dulu.
Kini hanya menyakiti mataku.
Kendaraan-kendaraan itu, lewat terlampau cepat.
Nggak memberi kesempatan mataku untuk melihat lekat dirinya.
Aku pusing.
Itu, belum diitung dengan bunyi knalpot.
Selalu ada saja knalpot yang nggak ramah dengan pendengaranku.
Gara-gara itu, sesekali, aku memaki.
Kini, aku sedang menanti malam menjamah pukul 11 malam.
Saat itu, pertigaan di depan mataku ini, lengang.
Nggak ada lagi cahaya dan knalpot bising.
Di saat itulah, aku akan berjalan melenggang di tengah jalan.
Tanpa takut tertabrak dan dimaki.
Ya, aku-lah si raja jalanan.
[08/07/10]
Purwokerto tanpa ujan di sore hari. Oh betapa nikmatnya. Oh begitu indahnya. Begitu aku bersenandung dalam hati.
Seluruh keindahan dan kenimatan senja itu musnah waktu cacing di perutku keroncongan. Nila setitik rusak susu sebelangga.
Rasanya malu mengakui, aku belum sarapan hari ini. Uh, lapar.
Tapi, namanya juga lagi beruntung, jadi baru aja intro lagu kroncongan itu didengungkan, aku udah dapat tawaran makan gratis. Traktiran ulang tahun. Ijonk yang mbayarin. Meski Ultahnya udah lewat beberapa hari yang lalu, itu jelas nggak jadi soal.
Rumah makan di atas air, Mina Wisata, jadi sasaran utama. Ijonk ternyata sepakat. Di jalan, aku Ijonk dan Dodi bercanda, "unlimited mbok?".
Di Rumah makan yang terbilang luas itu, kamu kompak mesen gurameh bakar. Cuma minumnya yang beda.
Ternyata, makanan nggak kunjung datang. Jadi ya sudah, kami main "gethek", nonton sepasang arapaima gigas, sampai keliling nggak jelas gitu.
Wah, makan makanan enak emang nggak bisa lama. Semua serasa cepat. Tiba-tiba udah habis aja. Semua di lahap kurang dari 15menit. Mungkin semua lagi lapar, kayak aku ini.
Semua menu udah dilahap habis. Tangan udah di cuci. Dan Kami pun beranjak balik.
Ah, ternyata kami terjebak hujan. Lebih tepatnya kami "menjemput" ujan. Tempat yang kami tuju udah ujan duluan.
Dan kami-pun menghabiskan waktu lebih dari satu jam, hanya untuk menanti hujan yang tak kunjung reda.
Tau nggak Pah, kemarin, aku dipanggil dengan namamu.
Om Edot yang melakukan.
Pak Ipung, begitu sapanya.
Meski cuma ngbrol lewat fesbuk,
tapi aku tetep aja malu, jujur aja.
Aku merasa belum pantas disamakan denganmu.
Tapi, sebenernya, nggak cuma Om Edot yang begitu.
Masih banyak orang yang memanggilku dengan namamu.
Mulai dari Ibu sampai orang pasar yang biasa lewat.
Walau beda-beda orang, tapi alasan mereka sama;
rupa dan perawakan anakmu ini mirip denganmu.
Landaur alias landa duwur, kalo Om Edok bilang.
Ah, tapi tetep aja aku merasa belum pantas.
Aku malu, jika mereka selalu menyama-nyamakan aku denganmu.
Menyandingkan aku denganmu.
Coba bayangkan aja, kaki kirimu dapat gelar tendangan geledek,
namamu nggak cuma harum di desa tempat tinggal kita
dan Papah pun punya istri yang cantik.
Huh, maka itu, ada kebanggaan dan semacam kecemburuan
yang berkecamuk di benak ini, sekaligus.
Dan Papah pun tau, aku nggak pernah mengatakan pada siapapun.
Bukan sok misterius.
Bukan pula soal gengsi.
Tapi, aku cuma ingin dianggap sebagai lelaki olehmu.
[07/07/10]
Hari ini aku melihat namamu lagi
Aku teringat kembali dengan senyumanmu
Sekonyong-konyong saja ingatan itu muncul,
meski aku sebenarnya engan
Ah, aku nggak tau apa alasannya
Sajak ini, jelas nggak serupa dengan puisi-puisi yang aku kirim, dulu
Dan sajak ini, jelas sama nggak berartinya dengan sajak-sajaku yang dulu
Tapi, kamu pasti tau sajak ini buat apa
Mirip saat kamu pura-pura tanya
"kenapa sih kamu suka aku?"
Ya, sajak ini untuk senyumanmu.
[06/07/10]
Sabtu, 3 juli, ada tiga motor yang dipersiapkan. Semuanya penuh. Yang di depan cowok, sementara yang belakang cewek. Klaten adalah kota tujuannya. Orezh, Rini, Indra, Ade, aku dan Hanie hendak main ke rumah mbah Refi alias Rofik Suharwanto.
Ketiga Motor mulai melaju sekitar pukul 10.00. Rombongan nggak langsung ngebut aja ke Klaten. Tapi, mampir dulu kerumah Indra, buat makan siang dulu. Alhasil nyampe Klaten pukul 7.30 malem deh.
Nyampe di rumah Refi, wuih cape banget. Mata perih. Pantat juga panas banget rasanya. Tpi, tetep aja ada semacam rasa senang pas masuk rumah.
Malam itu, semua beranjak itur cepet. Mungkin gara-gara cape. Tapi, aku habiskan malam itu buat meratapi kekalahan memalukan Argentina atas Jerman. Huh...
Pagi menjelang. Aku bangun paling siang. Tapi, itu jelas bukan masalah. Ya wong cuma mau jalan-jalan di Desa Ceper. Kami keliling desa sambil bernarsis-narsis ria.
Setelah beberes, siangnya, kami menuju Jogja, sekalian balik Purwokerto. Tamansari dan Pekan Raya Yogyakarta (PRY), berhasil kami sambangi. Nggak perduli panas, nggak perduli kepulan asap kendaraan yang menjajali kota pelajar itu.
Di Tamansari, Orezh dan Rini menjadi pemandu rombongan. Mereka secara bergantian menjelaskan soal Tamansari. Terutama soal sejarahnya. Tentu aja diselingi dengan gaya-gaya berpose bersama.
Nah, kalo di PRY, semua punya aktifitas masing-masing. Mulai dari foto-foto, ngeliat sovenir, sampai duduk-duduk doank. Tapi, ya gitu, selalu ada kesamaan dia antara kami; kami sama-sama cape.
Ini kali pertama aku naik motor di jalanan jogja melewati gang-gang kecil. Ah, sampe sekarang, aku pun nggak bisa mengingat lagi. Hehehehe.... Tapi, tetep aja nyenengin.
Pasca makan malam, kami beranjak ke Purwokerto. Tapi, gara-gara dianggap udah malem, jadi ya nginep deh di rumah indra. Paginya, baru melanjutkan ke Purwokerto.
Pukul 08.59 kami sampai ke Purwokerto. Benar-benar Kota Mendoan. Nggak ada lagi pemberhentian sementara.
Ah, melelahkan, tapi tetep aja tiga hari yang nyenengin.
Masih inget sama lagu yang ada kata-kata itu sebagai liriknya. Aku masih ingat. Maklum aja, itu salah satu lagi favorit aku. Tapi, belakangan tahun ini, aku nggak lagi mendendangkan lirik-lirik sederhana itu. Lagu jaman kanak-kanakku itu, udah tergantikan sama lgu garapan Avenged Sevenfold, D'Masiv, atau malah Armada.
Namun, bukan berarti aku sama sekali lupa. Cuma udah lama nggak bersenandung lagu soal becak itu.
Pas lagi ngobrol bareng sama Apank dan Tarwin di sebuah kafe, aku kembali ingat sama becak. Malam itu, kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul. Becak jadi salah satu bahan yang sempat dibicarain.
Ketiga mantan Pimpinan Umum Lembaga Pers mahasiswa dari tiga fakultas itu banyak ngomongin soal nasib becak sekarang ini. Banyak pengalaman bersama becak yang kedua temenku ceritain. Dari banyak sisi. Namun, intinya hampir serupa. Becak dan tukangnya adalah salah satu "pasangan" yang menderita.
Aku lebih memilih buat ndengerin cerita yang mereka punya itu. Dan aku menikmatinya. Oya, aku juga setuju dengan mereka.
Ah, aku jadi inget nih. Dulu, pas aku TK, aku selalu naik becak. Terutama pas balik sekolah. Pernah suatu kali, saking ramenya anak-anak yang mau balik bareng becak langgananku, becak yang kami naikin sampai terbalik. Untung aja, waktu itu, becak masih berhenti dan si tukang belum duduk di kursinya.
Tapi, liat tukang-tukang becak itu. Mereka cuma menghabiskan waktunya buat berpose di becaknya. Sambil memejamkan mata pula alias tidur.
Kekuatan pria-pria tengah baya itu udah kalah sama kecanggihan mesin yang bertenaga berkuda-kuda. Itu belum lagi dengan anak-anak muda yang enggan betul naik becak. Apalagi buat jadi tukang becak.
Itu belum diitung sama razia-razia terhadap kereta yang nggak berkuda itu. Dikejar-kejar satpol PP bak sampah yang musti dihempaskan.
Huh...sayangnya, aku nggak bisa merangkai kata-kata indah. Kata-kata yang bisa membikin orang-orang bisa kembali bernostalgia dengan becak. Berbulan madu bersama becak di masa lalunya, dulu.
Yang ada dibenakku ini, cuma pikiran bisa menikmati keramaian kota yang ada dengan kereta nggak berkuda itu. Entah aku masih berani melakukan itu ato nggak. Huh..
01-07-2010