Facebook: Ini Sensasiku, Kamu?

06:38

Sejatinya, kita selalu dituntut untuk memainkan peranan, dengan atribut
tertentu agar bisa diterima  lingkungan. Pada kondisi tertentu, tuntutan itu, 
memaksa kita mengenakan "topeng" hanya demi bisa dianggap orang lain.  
Dengan tergopoh-gopoh, aku menuju ke Kantor jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed Purwokerto. Ada yang hendak aku temui. Meski datang jauh-jauh dari Purbalingga, bukan seorang perempuan yang hendak aku temui.

Aku hendak bertemu dengan seorang dosen, Tri Nugroho Adi. Pria tersebut sudah menjadi pembimbing skripsiku, sedari dua tahun lampau. Selain dia, masih ada dua dosen baik nan pintar yang membantuku, Edi Santoso dan juga Agoeng Nugroho.
Akan tetapi, aku bertemu dengannya, kali itu, bukan hendak meminta bimbingan tugas terakhir sebagai seorang mahasiswa. Melainkan justru meminta dia membubuhkan tanda tangan di lembar pengesahan skripsi.

"Pak, sudah menggunakan Facebook, merasakan sensasi tertentu?" aku melancarkan pertanyaan yang sudah aku simpan lama-lama, selepas mengantongi tanda tangannya. Aku duduk di depannya, mengajukan pertanyaan sederhana itu dengan serius.

Pertanyaan itu jadi penting lantaran saat seminar proposal skripsi yang aku beri judul "Facebook Sebagai Panggung Sandiwara; Sebuah Studi Dramaturgi" ia belum pakai situs itu. Tetapi menjelang ujian akhir, dia sangat rajin update status.

Pak Adi, begitu dia disapa, hanya tertawa. Sangat lepas. Aku terkejut, jujur. Pasalnya, selama menempuh bangku kuliah, kami justru mengenalnya sebagai sosok serius nan teoritis. Mendengar tawa yang mengaung di kantor yang sepi, aku meyakini dia merasakan sensasi saat menggunakan situs bikinan Mark Zuckenberg.

"Menurut kamu, mana yang sebenarnya yang menjadi karakter saya, yang di Facebook apa yang di sini," dia justru menyerang balik dengan pertanyaan. Ditanyakannya hal itu dengan senyam-senyum, namun seakan tetap membutuhkan jawabanku.

Aku jawab begini, "Menurut saya, yang dituturkan di status memang ada yang sebagian yang nyata. Tapi lebih banyak yang dimanipulasi  pak," kataku. Anggapanku salah. Dikatakan apa yang dituturkannya di situs adalah sosok yang sebenarnya dari dirinya. Tidak ada rekaan, tak ada manipulasi di "panggung sandiwara".

Dalam skripsiku, lebih melihat situs yang diidentik dengan warna biru itu menjadi "tempat pelarian" bagi sebagaian orang-orang. Semacam migrasi yang dilakukan karena seseorang tersebut ingin lebih diterima oleh lingkungan sekitarnya.

Hal itu, kentara dari banyaknya orang yang sukar berbicara secara face to face mendadak tangkas merangkai kata-kata yang membius orang untuk menjempoli statusnya. Yang diam gampang mengumpat. Yang minder jadi puitis. Yang serius jadi suka melawak.

"Wah, ternyata yang di kampus itu malah bukan sosok yang sebenarnya yah pak," kami tertawa lepas. Dengan tawanya itu, sekali lagi ia menegaskan sensasi yang dialaminya itu.

Karena itu, Pak Adi menjelaskan, sewaktu ujian, saya tanya tentang kemungkinan adanya orang yang tak memainkan peranan tertentu di Facebook. "Benar-benar apa adanya," ucap dosen yang memberikanku pekerjaan rumah untuk membikin artikel tentang skripsiku itu. (bersambung)

[25/11/2011]

You Might Also Like

10 komentar

  1. saya trmasuk org pendiam,,
    tpi kl di facebook bisa cerewet,,hehheeh

    BalasHapus
  2. hahah.. kalau mas bangkit? benar adanya seperti itukah yang di facebook? hahahha.. :)

    BalasHapus
  3. Hehe. banyak juga kok temenku yang kayak gitu, ternyata. Awalnya heran, tapi karena banyak yang kayak gitu, ya jadi merasa hal itu; normal. hehe

    BalasHapus
  4. buat mas afit, menurut sampeyan gimana? kita kan tetangga, masa nggak ngerti? haha

    BalasHapus
  5. aku juga orang pendiam + pemalu kalo ma cewe :(

    BalasHapus
  6. kok bisa gitu yah? perempuan memang sosok misterius yang berpengaruh sama cowok yah?

    BalasHapus