“Teman-teman tahu apa itu alay?”
tanyaku pada saat berbincang-bincang dengan sejumlah mahasiswa di salah
satu kampus di Purwokerto, Banyumas Jawa Tengah, hari Minggu pagi ini.
Aku masih duduk satu meja dengan Pak Adi. Masih berdiskusi hal yang sama; Facebook. Akan tetapi, arahnya tak lagi mengenai pengaruh situs itu dalam hal proses komunikasi semata. Melainkan pengaruhnya kepada kehidupan manusia.
"Wah pak, kalau ada pengguna Facebook yang naif, bisa berbahaya juga yah penggunaan media sosial semacam itu," kataku merujuk pada banyaknya orang yang tak sadar bahwa apa yang dilakukannya di dunia sosial bakal berpengaruh pada pelabelan tertentu yang bakal dilekatkan orang kepadanya.
Aku hendak bertemu dengan seorang dosen, Tri Nugroho Adi. Pria tersebut sudah menjadi pembimbing skripsiku, sedari dua tahun lampau. Selain dia, masih ada dua dosen baik nan pintar yang membantuku, Edi Santoso dan juga Agoeng Nugroho.
Jadi begini; dalam
konstelasi bertanya dan menjawab, hal yang lebih penting dari kedua hal
itu adalah "bertanya". Demikian Dewi Dee Lestari berujar. Ia beralasan,
menjawab tak banyak berkutat dari kata-kata seorang manusia yang tak
lepas dari pemahaman orang tersebut. Bisa berubah.
Belakangan, aku berangkat agak siang. Bukan lantaran berubah menjadi orang yang malas. Hanya saja, aku ingin berangkat agak siang. Yah hitung-hitung, sedikit menikmati mentari pagi sedikit lebih lama dibanding dengan hari-hari di pekan sebelumnya. Mencoba menikmati hidup.
Kemudian, pada situasi macam itu, salah satu pilihanku adalah menonton teve. Bukan menjadi tiviholic, hanya ingin mengetahui apa yang terjadi di luar dunia rutinku. Semua aktifitas menonton itu aku lakukan selepas melakukan aktifitas pagihariku, tentu. Terutama mengantar adik atau ibuku.
Menonton Dahsyat di RCTI untuk mengupdate perkembangan musik di tanah air. Menonton Selebrita pagi di Trans7 untuk mengetahui berita selebritis Indonesia. Menonton Friends di ANTV untuk melihat perbincangan hangat apa yang menarik. Menonton Ipin Upin untuk memperbaharui mental kekanak-kanakan.
Teruntuk bapak,
Pak, hari ini aku bingung. Entah untuk ke berapa kali aku merasakan ini. Bingung lantaran hal yang sama. Kau tahu, hari ini aku kembali dituntut untuk bersikap atas esebuah permasalahan. Penyikapan yang lebih condong pada dua hal; kasih sayang dan juga kedisiplinan.
Kau mungkin sudah tahu duduk cerita lengkapnya, jadi aku tidak akan bercerita panjang lebar soal persoalan itu. Aku hanya ingin ngdrumel atas yang aku rasakan hari ini. Yah, paling tidak, kau jadi tahu, apa yang sebenarnya anakmua rasakan ini.
Kemarin malam, pikiranku terganggung dengan imajinasi yang sederhana, namun membutuhkan jawaban, segera. Pernyataannya semacam ini, bagaimana akhir cerita yang menarik bagi kisah cinta segitiga. Entah kenapa aku ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang terselip di rongga-rongga otak ini.
Sebenarnya, itu bukan pengalaman pribadi, yang pada akhirnya memojokanku untuk bersikap dewasa dan memilih jawaban atas apa yang aku alami. Sekali lagi, itu bukan pengalaman pribadi. Aku hanya bisa mengistilahkannya sebagai dampak dari kebanyakan nonton iklan drama korea.
Belakangan, seorang teman kerap bercerita bahwa dirinya sangat hebat dan patut dihargai. Ia merasa dirinya berasal dari keluarga yang luar biasa besar. Orang tuanya yang satu, ternama. Sementara orang tuanya yang satunya lagi sudah sangat berpengaruh.
Sampai-sampai, kata dia, bila mendengar nama orang tuanya saja, semua orang "bertekuk lutut" kepadanya. Minder. Segan. Atau bahkan menjadi berpikir ulang untuk "menjatuhkan" harga dirinya, bagaimanapun caranya.
Kucing kecil itu berlari kesana kemari. Namun, ia lebih banyak berada di bawah meja. Ia bermain-main di sana. Bermain kabel mouse yang terletak di atas meja. Disentuh-sentuhnya kabel yang menggelantung itu dengan kaki kanannya.
Setelah bosan, ia beralih kepada lembaran koran Suara Banyumas Suara Merdeka, yang terletak di bawah meja. Mulanya, kucing kampung berwarna abu-abu itu hanya menduduki lembaran koran terbesar di Jawa Tengah itu. Mungkin lantaran dingin.
Tetapi, kemudian, kucing kecil yang dalam beberapa pekan terakhir, rajin mendatangi rumah itu justru masuk dalam lipatan koran itu. Seakan dia masuk kedalam sana untuk menjadikan kertas itu sebagai rumah. Tempat penghangat yang tepat untuk melindungi diri dari sergapan dingin di hari yang mendung.
Pagi ini, kucing yang asyik bermain dengan dunianya itu, menjadi tontonanku. Kata adik perempuanku, kucing yang belum bernama dan hanya dipanggil "puss" itu memang manja dan lucu. Tetapi, induknya selalu tampak marah bila si puss itu dipegang. "Grrr," begitu adiku menirukan gaya induk si puss. Aku hanya tersenyum.
Polah si puss itu menjadi menarik buatku, lantaran aku menyadari sesuatu. Aku menyadari bahwa ada titik-titik dimana kita itu seharusnya memiliki daya untuk terus mencoba mengenal hal-hal baru. Memainkan hal yang tak dikenal itu dengan tangan dan seluruh indrawi.
Bermain gaya kucing, yang acuh itu, menjadi pertanda, belajar dengan modal ingin tahu, ingin mengenal sesuatu yang baru adalah hal yang wajar. Hal yang memang lumrah dilakukan. Tidak hanya oleh kucing, tetapi juga manusia itu sendiri. Kita.
Bagiku, hewan yang juga dikenal sebagai salah satu predator handal itu mengajarkan bahwa tidak perlu ragu untuk belajar. Tidak perlu memikirkan ini itu, yang sebenarnya tak jelas justrungnya. Yang sejatinya, pikiran negatif yang biasa kita sebut sebagai pertimbangan, itu tidak selamanya benar-benar.
Bukankah, bisa saja, hal negatif itu hanya buah atas stigma negatif yang tercipta dari persinggungan neuron-neuron yang memang hanya ada di otak saja. Kucing kampung itu mengajari, paling tidak aku sendiri, bahwa kemampuan belajar, mengenal hal baru adalah hal penting. Belajar dengan sedikit mengabaikan rasa malu.
[06/11/2011]
[06/11/2011]