Aku lelah hari ini. Aku nggak yakin kenapa hari ini terasa sangat mudah cape. Mungkin lantaran terlalu banyak hal yang datang menghampiri secara bersamaan. Ini satu-satunya alasan yang bisa aku munculkan.
Hm, hari ini aku sms-an dengan ibuku. Sebenernya sih nggak lama aku sms-an sama ibu tercinta. Dan jujur aja, ini hal yang jarang yang aku lakuin. Jadi yah gitu, rasa aneh sekaligus senang.
Kami berbincang soal adikku yang hendak masuk SMA. Dia mendaftar di dua sekolahan. SMA 1 Bobotsari dan SMKN 1 Purbalingga. Yang satu deket, sementara yang lainnya, lumayan jauh. Satrio, adikku itu, emang ngebet banget masuk SMA Bobotsari. Sementara NEMnya, cuma 29-an. Dan ini titik pangkal persoalannya. Dan nggak tau kenapa, ogah bener kalo di suruh ndaftar ke SMA 1 Karangreja
SMA Karangreja sebenernya terbilang deket dibanding SMKN 1 Purbalingga. Selain itu, di Karang reja, banyak guru yang keluargaku kenal. Termasuk seorang teman sepermainanku, yang kebetulan masih saudara.
Tapi, Satrio masih aja enggan. Kalo dibilang jauh, kenapa dia mau kalo sekolah di SMKN 1. Untung aja, buat sementara ini, ibu masih menyetujui.
Aku sendiri, merasa bangga dengan adik cowo yang satu itu. Dan semua adik dan kakakku, tentu.
Dulu, aku musti datang ke Kantor BK, lantaran Satrio jarang masuk sekolah. Padahal dari rumah pamitnya buat sekolah. Sempat aku marah saat itu. Tapi, pas nyampe sekolahan, aku malah pake 'nada tinggi' pas ngbrol sama pak gurunya.
"Setiap anak punya cara perkembangan masing-masing. Jangan samakan adik saya dengan orang lain dong," itu kata-kata yang aku lontarin. Ah, marah betul aku waktu itu.
Tapi, aku sekarang bangga dengan dia. Dia lulus, meski dengan nilai pas-pasan. Soalnya, aku bukan meliat dari pencapaian nilainya, tapi dari usahanya buat memperbaiki diri.
Aku nggak pengin mempersoalkan dia sekolah dimana. Yang terlintas dipikiranku, aku cuma pengin ngeliat Satrio bisa sekolah dengan "ringan" dan tenang. Aku pengen ngeliat potensi yang selama ini terkubur dalam dirinya.
Sempat beberapa lama, ibu nggak lagi. Mungkin lagi sibuk. Tapi, kemudian sms lagi.
Ibu bilang kalo satrio tetap enggan ndaftar di Karangreja. Sampai teriak-teriak, kata ibu. Lalu ibu bilang "Aku kepengin kaya mas bangkit", cerita ibu menirukan kata-kata satrio yang sambil teriak itu.
"De, kamu ada yang mengidolakan," ledek ibu.
Jujur aja, aku malu. Ah, sial.
30-06-2010
sekarang, aku sudah tiga tahun lebih berada di purwokerto. malah ada semacam perasaan kalau kota ini menjadi kota kelahiranku yang kedua. setelah purbalinggaku yang perwira. aku banyak merasakan hal-hal yang sama sekali tak terduga dalam hidupku. sekaligus, mengantarkanku pada kuburan penyesalan karena tak mamu berbuat apapun sedari dulu buat bumi pijakanku.
namun, purwokerto telah menjadi sebuah cerminan yang menggelikan bagiku. mungkin jadi cermin mental orang banyumas dan sekitarnya. aku menyadari kalu purwokerto tak pernah akan berkembang jika tanpa camour tangan orang dari luar banyumas. lihat saja ruang-ruang kreatif macam film, tulisan, musik, atau yang lainnya, hampir tak pernah berasal dari buah tangan orang-orang banyumas. orang jakarta dan sekitarnyalah yang banyak berperan. mungkin aku menyarankan agar orang banyumas berterima kasih kepa orang-orang luar itu.
lalu, kemana orang-orang banyumas? aku melihat mereka lebih menyukai beranjak dari kota kecil ini. mereka enggan membangun kota ini. mereka lebih memilih pergi dari banyumas ini. seakan banyumas tak akan mampu menjamin kehidupannya. yah, meski setelah pergi jauh mereka juga cuma jadi pembantu rumah tangga. sayangnya, dalam hal akdemis pun mereka lebih memilih studi di kota lain.
memang sih ada yang tetap berada di banyumas. paling tidak remajanya. tapi, ini yag paling aku sesali, para kaum mudanya lebih menyibukan diri mereka dengan bersolek di muka cermin. atau malah sibk belajar bahasa loe-gue. padahal orang banyumas saja, mati-matian belajar ngomong ngapak.
hahahaha... aku nggak ngerti nih, aku mesti marah ato nggak. tapi, yang jelas, nggak berkembangnya kota kecil ini jelas ukan karena orang lain. tapi karena orang banyumas sendiri.
ya mbok?
28-07-2009
sms itu dikirim oleh seorang teman perempuanku semasa SMA dulu. aku kerap memanggilnya mbayu. sudah lama memang aku nggak pernah ngobrol dengannya. baru beberapa bulan ini aku sering smsan dengannya. dia sekarang sudah bekerja jadi staff administrasi di sebuah pabrik di bandung.
beberapa waktu yang lalu, dia cerita kalo punya niatan buat sekolah lagi. ingin kuliah. "gila" itulah kata yang pertama terpikirkan diotakku. aku udah hampir jadi sarjana, nah dia, baru punya niatan pengen kuliah. jujur aja, aku kaget!
dia pun bercerita kalo selama ini dia itu iri dengan teman seumurannya yang mampu menikmati bangku kuliah. makanya, dia masih memendam cita-cita menjadi seorang sarjana. dia pingin jadi guru!
demi cita-citanya itulah, dia akhirnya rela jauh dari keluarga buat kerja di kota kembang. bekerja keras demi mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya. sedikit demi sedikit.
makanya, meski sempet kaget, aku masih ngerasain seneng. sebuah kebanggaan, tentu. sementara aku di purwokerto sering ngeliat orang-orang yang katanya udah jadi mahasiswa kuliah seenaknya dan asal-asalan. temanku itu justru bersemangat buat kuliah.
"tolong cariin informasinya ya mz..." begitu katanya suatu waktu. dia hendak pulang ke desanya, untuk bekerja di sana, sambil kuliah.
dengan penuh semangat aku pun mencari universitas yang punya program keguruan. ketemu! ada satu, tapi swasta. aku pun langsung kesana, ngambil pamflet di ruangan panitia PMB.
busyet!! mahal bener kuliah di kampus ini, kataku pas ngeliat isi brosur pembiayaan. huh...apa mbayu itu bisa membayarkan semua pembiayaan ini. aku cuma bisa ngelus dada. serasa nggak tega memupupuskan impiannya itu. "argh...sial," kataku dalam hati.
tapi, akhirnya aku beranikan diri menceritakan semuanya. pembiayaannya dan tentu saja program studi yang ditawarkan.
dan, ternyata benar, uang yang dia tabung lebih dari tiga tahun ini belum juga cukup. meski hanya sekedar membayar awalannya aja. itu yang program reguler, belum yang nonreguler. lagi-lagi cita-citanya kembali terancam pupus sudah.
sejujurnya, aku malu sendiri. aku yang kuliah sampe sejauh ini aja masih belum berpikir layaknya apa yang dia pikirkan. mahasiswa amacam apa aku ini. yang katanya agen of change, tapi membantu teman sendiri aja nggak mampu.
"Huh..Q kul pie y maz?Mas biaya gde teing,q bngung mw nyari dar mana ge?" katanya lewat sms.
08-02-2010
tapi, status itu menjadi tampak menarik lantaran seorang teman perempuan yang lain itu ikutan komentar. "american pie bae," begitu katanya, sambil terkekeh-kekeh.
melihat komentar itu aku jadi ikutan komen. intinya sih, dah nggak jaman nonton film kaya gitu. sekarang itu jamannya alur sama makna cerita. dan ternyata temenku setuju. "aku be wis ora doyan," kata si empunya status. aku sih nggak ambil pusing kenapa dia nggak doyan lagi. mungkin emang nggak suka, mungkin sudah bosan. entahlah.
aku melewatkan pembahasan status itu lagi. aku nggak tau sampe mana ujungnya.
pagi ini, aku melihat acara "apa kabar indonesia" di tvOne. mereka berbincang soal kontroversi film "hantu puncak datang bulan" yang dibintangi andi soraya. ada LSF, andi soraya, FPI, ma sang produser.
fpi berkeras bakalan menentang semua film yang sok porno. ini soal moral bangsa, katanya. andi soraya berkilah ini adalah SENI. (kata ini sengaja aku besarin biar tampak ada penekanan). si produser sejalur dengan andi soraya. sementara lsf jadi pendiam yang tampak nggak amu disalahin.
emang, belakangan sumua film2 indonesia selalu ngedepanin soal seksualitas. seakan, yang ada di otak orang indonesia cuma seputar selangkangan doank. betul ato nggak, aku nggak mau menghakimi siapapun.
huft. aku bener-bener nggak ngerti. mungkin ini lantaran kebebalanku memahami itu semua. tapi aku tau kalo itu realitas sosial. mungkin juga seni.
makanya, aku terkadang menaruh curiga dengan semua film2 yang dibikin, adakah hal yang saru2 yang bisa dinikmati di sana? malah terkadang aku berpikir soal teater. mungkin akan beralih pad sex appeal biar semakin rame penonton mereka.
aku nggak munafik. ini hanya pemikiran, yang aku sendiri tak mudeng.
aku nggak mau ambil pusing. makanya, aku memilih "inbox" jadi tontonanku. padahal aku pun nggak suka!
05-02-2010
pagi tadi aku berangkat ke dinas pariwisata, kebudayaan, pemuda, dan olah raga purbalingga. lazim disingkat dinparbudpor. hal, yang bisa dikatakan, menyebalkan buatku. bagaimana tidak, harus bangun pagi, berangkat dengan kedinginan lantaran gerimis yang setia menyiram bumi.
sebagian dari kalian mungkin menganggap remeh apa yang aku lakukan. sedang sebagian yang lain mungkin ingin tau kenapa gerangan aku harus memburu pagi hanya untuk tiba di dinparbudpor. makanya, agar kalian merasakan kegeliannya sendiri, maka ada baiknya aku ceritakan kenapa aku musti berada di salah satu deretan kursi biru itu.
pagi itu, aku berada di sebuah aula yang tak cukup besar. dan aku pun sebenarnya lebih menganggap itu bukan sebagai aula. namun, yang pasti, aku benar-benar berada di sana bersama paling tidak dengan 40-an orang. putra dan putri. semuanya berasal dari berbagai wilayah di purbalingga. sekitar pukul 9.15 acara technical meeting kakang-mbakayu purbalingga 2009 dimulai.
ya, jangan heran kalau aku juga bagian dari peserta technical meeting itu.
sekarang, kalian mungkin sudah mulai merasakan sebuah kegelian yang tadi aku ceritakan. tapi, aku tak perlu lagi merasa malu atas kegelian yang mungkin kalian rasakan itu. seperti kata atut "kejujuran itu memang pedih". hanya saja, kejujuranku ini bukan suatu kepedihan. melainkan kelegaan yang teramat sangat.
huh...aku sendiri bingung, kenapa bisa aku berada di deretan kursi itu, guna mendengarkan cerita yang panjang lebar itu. yang jelas, asal mulanya tak seperti afid.
tapi sebenarnya, yang paling menarik buatku hari ini, bukan lagi soal bertebarannya wajah-wajah cantik jelita, mempesonanya muka-muka gagah itu, atau sedikitnya snack yang aku dapatkan. bukan itu semua. tapi, justru pernyataan-pernyataan tak terduga dari pak sucipto, kepala dinas bagian pariwisata purbalingga.
beliau memang berbicara banyak. ada juga pak kuncoro yang juga berbicara lebih banyak. namun, ada dua hal utama yang paling menarik perhatianku. paling tidak berhasil membangunkanku dari kantuk. yaitu soal KERUDUNG dan PUISI. mungkin ada baiknya aku juga sampaikan secra terpisah saja.
"pak bagaimana soal sanggul perempuan yang pakai kerudung?", tanya seorang peserta putri yang masih SMA. itu awalnya yang menjadikan adanya pembahasan soal kerudung. pak cipto memang tampak tak mempermasalahkan penggunaan kerudung sewaktu final nanti.
"itu hak anda", katanya.
hanya saja ada "tapinya". ya, nantinya ada semacam pengurangan nilai atas busana yang dipakai. soalnya ini soal filosofi budaya. dan kerudung tidak ada dalam daftar penjelasan filosofi budaya banyumasan.
waktu itu mengeluarkan sebuah pertanyaan, yang akan terjawab nanti waktu final. apakah perempuan itu akan menggadaikan kerudungnya demi ketenaran? atau mungkin pertanyaannya menjadi; adakan nanti yang berkerudung lagi saat final???
itu baru polemik soal kerudung. belum soal puisi!
"saya harap nanti tidak ada yang membaca puisi sewaktu uji ketrampilan", bagitu kata pak cipto, serius. alasannya, tanpa bakat pun semua BISA BACA puisi.
jujur saja, dalam hati aku tertawa. betul-betul tertawa. bagaimana tidak, aku mengenal teman-teman yang berjuang keras hanya untuk membaca puisi. bahkan waktu aku mencobanya pun terasa sukar betul. tapi, pak cipto malah menghimbau tidak baca puisi, lantaran semua bisa baca puisi.
aku tak tau bagaimana teman-temanku yang berjuang keras membaca puisi kalau berada di posisiku pagi itu.
ah, betul hari yang melelahkan plus menyenangkan. banyak pengalaman. banyak kegelian. oh ya, itu juga belum termasuk denga tingkah polah para calon "pedagang pariwisata" purbalingga itu. mungkin kalian memang harus melihatnya sendiri.
tak sabar menunggu nasib kota buruh di tangan pemuda-pemudi masa depan macam itu.
01-10-2010
Baca catatan. Belakangan, rutinitas macam itu yang aku lakuin pas lagi FBan. Awalnya sih, cuma buat seliangan biar nggak bosen aja.
Pas pertama-tama, aku cuma sempet baca catatan yang aku di-tag. Males juga kan kalo musti buka dinding orang-seorang. Tapi, selanjutnya malah jadi keranjingan gitu. Catatan yang punya judul menarik, ya dibaca aja. Dikasih komen juga. Meski nggak di-tag.
Kalo boleh jujur, tulisan temen-temen SMA,- bener-bener anak SMA lho yah, yang bikin aku malah suka baca catatan. Terlepas dari gaya menuliskannnya, aku belajar banyak dari mereka. Itu pasti.
Tapi, ada yang paling menarik dari catatan temen-temen SMA itu. Ini lebih dari sekedar judul tulisan yang seadanya, tema yang asik menggelitik, atau malah cara bercerita yang eksplosif.
Lebih dari itu. Yang menarik itu adalah ternyata, mereka itu bisa bikin catatan dalam sehari lebih dari satu. Dan itu dilakukan setiap harinya. "Bikin note kayak gini lama-lama jadi hobiku," kata seorang teman.
Coba bandingkan dengan para mahasiswa itu (termasuk para aktifis kampus). Jangan diliat dari panjang-pendeknya tulisan yang dibikin. Melainkan intensitas menulisnya. Ah, aku sendiri malu mengakuinya.
Malah gara-gara catatan temen-temen SMA itu, aku pernah iseng nanya sama seorang mahasiswa. "Berapa catatan yang pernah dibikin di FB?".
"Hehehehehehe..." Cuma begitu jawabannya yang dikasih.
Selain soal intensitas menulis, ada lagi hal yang menurutku menarik. Mereka itu yah, jarang banget sengaja nge-tag temen-temennya buat ngeliat tulisan yang dibikinnya itu. Menulis. Terbitkan. Itu pola yang lazim mereka lakuin.
Sekali lagi, coba bandingkan dengan kaum intelektual semacam mahasiswa. Kalo kita, pasti langsung tag orang. Bukan urusan bila itu ternyata tulisan pertama kita.
Aku nggak pernah bermaksud buat membandingkan, lantas melebih-lebihkan salah satu di antara keduanya. Aku hanya ingin bercerita sebagaimana temen-temen SMA itu bercerita banyak hal padaku.
Tapi, setelah ngbrol dengan dua perempuan dari dua fakultas yang beda. Jadi ada satu hal yang bikin akau tersentak. Menjadi sedikit bergairah lagi.
Ngalor-ngidul, mulanya. Banyak hal yang dipergunjingkan. Namun, ternyata, ngobrol dengan dua gadis itu ada kesamaannya. Sama-sama ngobrol soal Semester Pendek alias SP.
"Tuntutan orang tua lah," kata mahasiswi fisip 2008. Orang tuanya ternyata menuntut putrinya itu cepat lulus. Yah, meskipun habis lulus, entah mau apa.
Jika yang satu alasan tuntutan orang tua, nah yang mahasiswi ekonomi malah didorong rasa penasaran. Perempuan berjilbab angkatan 2009 itu penasaran dengan bagaimana proses SP. Dan apa yang sebeneranya dirasakan sama mahasiswa yang ikutan SP itu. "Aku nggak pengen ngecap begitu aja" ungkapnya.
Program kuliah 1,5 bulan itu memang bukan hal baru. Pro-kontra sudah ada sedari aku masuk kuliah. Tapi ya itu, SP nggak tergoyahkan eksistensinya.
Malah seiring dengan waktu, SP jadi semacam kebutuhan primer mahasiswa di Unsoed. Nggak perduli angkatan berapa pun. Aktivis anti komersialisasi atau bukan.
Ini menarik, khususnya buat aku. Jika dulu mahasiswa pro-kontra pada ranah esensi SP sebagai bentuk komersialisasi pendidikan dan dianggap mencederai proses belajar. Kalo sekarang, pro-kontranya malah seputaran harga SKS yang musti di bayar.
"20ribu, SP= Semester Pendek. 50ribu, SP= Semi Proyekan." Kalo nggak salah sampai ada poster buatan tangan yang di tempel di Kampus Orange.
Bahkan, aku beberapa kali melihat kalo ternyata konsumsi SP di mahasiswa angkatan 2009 terbilang tinggi. Malahan, mereka sudah bersiap-siap mengarungi SP selama 1,5 bulan kedepan.
Aku sendiri juga bingung kenapa begitu. Kualitas materi yang meningkat atau kualitas mahasiswanya yang turun.
Hm, aku masih nggak ngerti pemikiran mahasiswa jaman sekarang. Mungkin benar, aku terlampau tua untuk memahami apa yang mereka pikirkan soal kuliah.
15-06-2010
"Benih Yang Berkualitas Menghasilkan Buah Yang Berkualitas."
Kata-kata yang menarik itu jadi judul acara penerimaan anggota baru LPM Husbandry Fakultas Peternakan, 11-13 Juni. Pesertanya, jelas, para calon anggota baru LPM yang sekrang diketuai Gani (aku lupa nama lengkapnya).
Nampaknya acaranya mulur. Terbukti, saat aku datang, Apank masih ngerokok di sekre Husbandry. Padahal waktu sudah menunjuk pukul 15.30. Di ruang itu, Mantan PU Memi itu lagi asik ngbrol sama koordinator Aliansi Persma se-Unsoed, Asta. Dan seperti biasa, aku langsung nimbrung.
Aku datang bukan untuk melihat performa Apank sebagai pembicara, pastinya. Ketertarikanku itu lebih tertuju pada materi yang bakal disampaikan Apank. Diskusi soal pers mahasiswa kekinian. Ini jelas menarik. Terlebih lagi buat insan pers mahasiswa (persma).
"Objektifitas itu sebuah mitos!" Begitu Apank memulai pembicaraan. Bagi mahasiswa Managemen Unsoed itu, persma unsoed itu terlampau terjebak dengan kata itu. Alhasil, gerak dinamis persma pun tersendat.
Dengan menggebu-gebu Apank berbicara soal keberpihakan yang jadi semacam ruh dari persma. Kemudian soal persma sebagai sebuah gerakan yang jelas bebas nilai.
Mungkin nggak semua orang sepakat dengan pernyataan Apank itu. Tapi, mungkin nggak buat anak-anak Husbandry. Ini terlihat dari diamnya mereka. Kan kata orang tua, diam itu tanda setuju.
Namun, semakin lama aku merasa bosan juga hanya mendengarkan diskusi sore itu. Pertanyaan yang muncul masih belum tajam. Atau minimal menggelitik. Hanya seputaran, apa sih nilai-nilai persma, apa bedanya persma dengan pers umum, atau tentang narasumber off the record.
Nah, di tengah kebosanan itu, aku iseng bertanya dengan salah satu anggota baru Husbandry, - yang ajaibnya satu kecamatan denganku, Bobotsari. Alvi, namanya.
"Kenapa sih masuk Husbandry? mank bener-bener suka nulis?" tanyaku.
"Nggak suka nulis kok. Cuma pengen aja" ungkapnya sambil terkekeh-kekeh.
Wah, aku nggak nyangka bakal ada jawaban macam itu. Selama ini, aku mikir orang itu masuk persma cuma memenuhin hasrat hobinya, menulis. Ternyata, asumsiku nggak laku kali ini buat perempuan berambut panjang itu.
"Nah, menurut kamu, pekerjaan jurnalis sih ngapain aja?" tanyaku lag. Nah, kalo ini sih cuma pertanyaan ngetes doank.
"Nggak tau tuh. Hehehehe... kan baru mau memperdalam. Baru pengin." katanya. Tawa kecil pun menyusul jawabannya itu.
Nah loh. Kalo gini ngapain juga ikutan persma. Mau ngapa juga belum tau. Hal macam ini, mungkin yang nyebabin persma itu labil. Kehilangan identitas. Kayak yang dipermasalahin di diskusi Jumat sore itu.
Diskusi selesai bertepatan dengan adzan maghrib. Semua keluar dengan wajah yang sumringah. Seakan menggambarkan sebuah perasaan; lega. Dan aku nggak tau, lega lantaran apa.
Aku pulang. Bersepeda.
Teringat dengan empat tahun yang lalu saat muter-muter ke persma-persma. Anehnya, pertanyaan yang muncul di benak pun masih sama dengan saat awal-awal berkenalan dengan dunia pers kampus. Pers mahasiswa itu sebenarnya apa?
11-06-2010
Sembari menghilangkan bosan pada layar dinding facebook, aku membuka "tab" baru. Lantas menuliskan kata "google". Mulanya, aku bingung mau mencari apa di google ini. Terlampau banyak hal yang terdapat di sana. Dan aku bener-benar bingung mau cari apan. Ini mungkin yang disebut gejala ekstasi komunikasi. overload information.
Beberapa menit awal, pencarian berjalani serampangan. Klik sana, Klik sini. Nggak tentu arah.
Widji Thukul. Tiba-tiba kata itu mencuat dipikiran. Lalu, aku pun bergelut dengan kata-kata rangkaiannya. Lumayan lama
Ternyata, banyak cerita tentang pria berperawakan kecil itu. Bagaimana masa kecilnya. Bagaimana hidupnya sebagai seorang penyair. Atau malah nasib hidupnya yang tragis, yang nggak berujung.
Aku pernah suatu kali membaca puisi-puisinya di alun-alun Purbalingga. Kumpulan puisi itu dibaca sama yudho dan adhe. Tadarus puisi, kalo tino bilang. Cuma, waktu itu, kami bertiga nggak membaca puisi yang bikinan pria kelahirab Sorogenen, Solo, 26 Agustus 1963, keras-keras.
Aku ingin jadi peluru. Buku yang dibawa mbah yudho itu bar kali pertama aku ngeliatnya. Sampulnya biru warnanya. Lusuh. Mungkin lantaran udah terlalu lama disimpan.
Tapi, itu bukan perkenalanku yang pertama dengan barisan kata anak tukang becak itu. Melainkan saat masa-masa awa kuliah. Saat geliat pergerakan mahasiswa masih sedikit menyisakan aromanya.
Aku, ingat betul, saat teman-teman teater SiAnak membacakan puisinya itu. Terutama saat turut aksi."Hanya ada satu kata: Lawan!", begitu kata yang diteriakkan. Sangat provokatif.
Dan waktu mendengar kata itu diucapkan. Aku merinding. Merasa diriku itu kecil. Ini jujur saja.
Puisi-puisi buatan suami sipon itu membuka mata sipitku. Membuka mata biar ngeliat kalo terlampau banyak kenyataan menyedihkan. Yang ironisnya, aku nggak pernah tau hal itu. Meski aku udah kuliah.
Hm, kata-kata emang menggambarkan semuanya. Pun puisi widji thukul. Sebenarnya aku nggak terlalu yakin, apakah itu yang disebut puisi? Itu terlalu realistis. Bukankah kebanyakan puisi yang ada dan aku baca dari kecil bicara soal alam, pemandangan dan cinta.
Lalu, puisi itu bicara soal apa?
09-06-2010
Pertanyaan itu Firdaus yang melontarkan, siang itu di kumpulan perdana Pelopor di Barak Kopkun. Ada lima orang yang mendapat pertanyaan itu. Termasuk aku, yang nggak ngira bisa dapet pertanyaan itu.
Banyak jawaban, ternyata. Masing-masing punya cerita sendiri-sendiri. Tapi, kalo diliat-liat, nggak semuanya berbau kekonyolan. Ada yang cerita soal cewenya yang cantik-cantik, tapi udah mantan. Cerita soal pengalamannya dianggap jadi babyface. Ada juga yang kakaknya nggak pulang-pulang, kayak bang toyib. Cuma bedanya kalo kakaknya ini pergi lantaran disantet.
Huh. Aneh-aneh deh pokoknya. Tapi, sempet bikin ketawa juga sih.
Nah, kalo aku sih nggak ngomongin soal kekonyolan dalam arti konyol yang sebenernya. Soalnya aku masih susah mendefinisikan kekonyolan itu apa. Tiap-tiap otak punya definisi sendiri-sendiri kan. Dan nggak semua otak sama.
Ketimbang cerita kekonyolan yang secara frontal, aku milih cerita soal kebaruan. Semua hal-hal baru yang selama ini aku laluin. Terutama sedari mulai kuliah, sampai aku negtik tulisan ini. Buat aku sendiri, hal-hal baru itulah yang membikin aku malah ngelakuin hal-hal yang konyol. Mungkin malah dilabeli konyol.
Mulai dari masuk Jurusan Komunikasi padahal pilihan ketiga. Jadi kameramen dokumentrasi acara dadakan. Ikutan Lembaga Pers Mahasiswa. Kenal temen-temen yang sebanyak ini di sekitarku. Sampai ngerjain Skripsi yang idenya aja nemu di kantin.
Hm, aku nggak ngerti bakal kayak apaan aku ini jadinya kalo aku ini nggak berani ngelakuin hal-hal yang baru. Berprinsip katak lebih baik dalam tempurung.
Mungkin ini yang disebut pengalaman adalah guru yang paling baik. Yah, itulah yang sedang terjadi, mungkin.
Dan sekarang, aku lagi keranjingan cerita-cerita yang menarik dari teman-temanku. Aku hampir selalu melihat, mencuri dengar, bahkan malah beberapa kali bertanya, siapa tau dapat cerita-cerita menarik, baru ataupun konyol.
Nah, kalian punya cerita apa yang bisa aku dengerin? Aku selalu punya banyak waktu buat itu!!
24-05-2010
Pertigaan yang satu ini emang ramai. Motor bersliweran ngalor-ngidul, kanan ke kiri, lurus-belok. Kecepatannya pun nggak bisa dibilang pelan. Padahal lampu lalu lintas, cuma warna orange yang berkelap-kelip. Sama sekali nggak nunjukin kalo ini udah jam 11 malem.
Tapi, tiba-tiba terbesit pikiran yang bisa dibilang ngaco. "Kim, kalo pas lagi duduk gini, terus ngeliat motor tabrakan. Bres! kayaknya asik yah. Terus, habis itu, kita cuma ngeliatin doank. Nggak mbantuin sama sekali," itu yang terbersit di otakku.
Keji. Tega. Sadis. Ah, nggak juga kok. Buktinya beberapa teman malah tertawa aku bilang kayak gitu. Mereka malah melanjutkan imajinasiku yang sekonyong-konyong muncul pas liat pertigaan yang ramai itu.
Hm, kalo mau mengakui, itulah sebenernya kita. Penyuka kekerasan. Bahkan bisa jug adibilang penggila kekerasan.
Ini jelas bukan mengada-ngada. Banyak dari kita pasti hobi nonton OVJ. Lawakan paling "in" belakangan ini. Tapi, ada satu hal yang kurang kita insafi, kalo OVJ itu hobi mencintai kekerasan kita tersalur. LIat aja gaya kita pas lagi liat adegan menjatuhkan bintang tamu di atas perlengkapan sterofoam. Pemain terjungkal, penonton terbahak-bahak.
Nah, kalo ada demo yang dilabeli "demo anarkis" itu bentuk hasrat cinta kita atas kekerasan yang sifatnya nggak lucu.
Aku jadi inget, kalo temenku hobi ngebayangin seseorang dapat celaka dengan luka berdarah-darah. Jatuh dari lantai atas. Terjungkal dari bangku taman. Tertabrak bus. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Aku melihat jalan itu lagi. Aku melihat sebuah mobil ditabrak motor yang melaju cepat dari arah utara. Mungkin habis main dari Baturaden. Brak! Si pembonceng terpental ke depan. Menghantam aspal dengan keras. Tubuhnya yang dibalut hotpant dan kaos ketat nggak keliatan seksi lagi.
Sementara, Si pengendara motor nggak lagi necis. Mukanya menghantap cap mobil dengan keras.
Sementara itu, Si pemilik mobil membuka puntu mobilnya. Celingukan nggak tentu arah.
Nggak ada helm yang terlempar malam itu. Nggak juga ada kata "tolong!!!!"
23-05-2010
tapi, sekarang aku tak sedang curhat soal perasan tersindirku. ah, itu lupakan saja. aku hanya tiba-tiba terpikir (pikiran ini muncul sebelum aku terpikir soal puisi bikinan teman itu) soal banyaknya permasalahan di negara ini. muncul sebuah pertanyaan: kenapa selalu ada aja masalah?
jawaban pertama memang berbicara soal memang normalnya dunia itu penuh masalah. dan kudu ada masalah. dan ini nggak dosa.
tapi, aku nggak yakin betul dengan jawaban itu. jangan-jangan banyaknya masalah itu lantaran diri kita sendiri. lantaran kita terlalu bersikap kritis pada semua hal, terlalu skeptis atas berbagai fenomena yang berseliweran. jadi hal kecil pun bisa jadi masalah besar.
sambil menggaruk kepala, aku coba berfikir.
06-11-2009
aku ingat dulu saat facebook, masih membikin penasaran semua orang. banyak orang berbondong-bondong mendaftar. dan sekarang pun semakin menggila saja. semakin banyak saja orang yang mengakses. bahkan tak lagi lewat layar monitor di warnet-warnet, tetapi melalui layar kecil handphone kesukaan.
memang tak sedikit orang yang telah memanfaatkan facebook sebagai ruang (dalam arti yang sebenarnya). sebagai ruang interaksi. saat melihat ini aku menjadi kaum utopian yang senantiasa optimis melihat hasil teknologi macam ini. malah sempat terlintas mengganggap facebook sebagai public sphare alias ruang publik.
hanya saja, yang sedikit itu, masih tertutup oleh banyaknya orang yang menggunakan facebook sebagai "tempat sampah" narsis yang fenomenal. membuang unek-unek yang menggunung, tapi tanpa percuma. seraya menanti respon yang lucu-lucuan. aku malah sempat melihat seorang teman yang "berpacaran", berkasih-kasih wall to wall.
facebook menghapuskan tapat batas garis demarkasi antara dunia nyata dan dunia maya.
aku bukan sedang menghakimi apa dan siapa. aku malah melihatnya sebagai suatu hal yang luar biasa. ya, luar biasa!
begini maksudku, aku dan kita semua selalu dicekoki kalau bangsa kita ini bangsa yang ramah dan pemalu. tapi, sekonyong-konyong label itu hancur berkeping oleh ruang bernama: facebook. sifat ketertutupan (kalau berlebihan disebut munafik) yang selama ini ada, tergantikan oleh keterbukaan. bukankah itu luar biasa??
sejenak teringat dengan analogi seorang teman yang menyebut 'robot modernisme'. terlalu muluk? menurutku tidak, malah justru tepat. mahluk pengguna yang tak tahu-menahu kenapa musti menggunakan teknologi. menurut pada sistem yang melingkupi. bedanya, kalau robot itu sistem elektronik, sedangkan kita sistem kapitalis.
bebas dari belenggu ketertutupan di dunia nyata, tapi malah terbelenggu oleh kerangkeng alienasi. lalu apa makna kebebasan? oh...
31-10-2009
hi imoet...
mungkin kamu bakalan kaget saat surat ini benar-benar udah ada di tanganmu. surat yang mungkin nggak bakalan pernah diharapin kamu sepanjang hidupmu. mungkin lantaran aku yang membikin surat ini. mungkin juga karena ini adalah surat. sebuah lembaran-lembaran yang sekarang udah nggak jamannya lagi.
aku pun ragu saat menuliskan surat ini. mungkin lebih tepatnya lagi takut. yah, takut, nanti, setelah benar-benar surat ini udah kamu baca, sikapmu bakalan berubah padaku. tapi, aku memilih memberanikan diri. aku lebih ingin menjadi 'binatang jalang', meski nanti terluka akan tetap menerjang.
maka itu, aku meminta sedikit waktumu untuk membaca surat ini. walau bahasanya tak seromantis apa yang terlintas di benakmu. apalagi mendayu-dayu.
marlina. apakah kamu tahu kabar macam apa yang aku dengar tentangmu? kata mereka kamu telah berubah. kamu udah jadi sesosok marlina yang berbeda. bukan ragamu. tapi, sikap yang kamu tunjukan. kata mereka kamu udah begitu terbuka, begitu romantis, dan begitu-begitu yang lainnya. mulanya, aku nggak percaya. dan yang lebih penting lagi, aku nggak tau apa perubahan yang kamu alami itu benar-benar baik untukmu.
aku terperangah. jujur saja. perasaan nggak karuan itu, aku rasain pas aku liat wall fesbukmu. yang mereka katakan ternyata benar. puisi-puisi cinta bertebaran di mana-mana. di status. di catatan pula. di kebingungan yang begitu cepat menderaku itu, aku tau kalau kamu ternyata udah menerima cinta dari hati seorang pria.
tampaknya, pria itu begitu luar biasa. puisi-puisi indah dan kata-kata rayuan pun banyak tercipta untukmu. entah itu gombal, alay, lebay, atau justru dari dalam hati. entahlah. mungkin begitu caranya untuk mengumbar rasa cintanya. sebuah perasaan yang yang terus meledak-ledak dalam hatinya. layaknya seorang yang baru pernah menemukan cintanya. maka itu pula, aku nggak mau menilai perihal apa yang dia lakukan untukmu. toh, aku juga seorang pria.
tapi, yang aku sayangkan. kenapa kamu nggak pernah cerita soal hubungan kalian itu. huft....
saat melihat foto profilmu, aku ingat dengan pacarku semasa SMA, dulu. beberapa waktu lalu, di curhat soal pacarnya. katanya, pacarnya sungguh posesif. dan belakangan pacarnya itu ma\lah mengabaikannya. dan dia hendak bertanya apakah lebih baik putus saja? tentu aku nggak komentar banyak. soalnya, itu hidupnya, cintanya. dan aku bikan dewa cinta.
ah, udah lah. aku tau kamu nggak pernah mau aku bandingkan dengan pacarku semasa SMA, dulu. nggak soal cara berpikir. nggak juga soal kecantikan.
namun, kali ini, nampaknya ada kesamaan diantara kalian berdua. kalian berubah setelah mengenal pria yang kalian damba-damba kala menjelang ke peraduan. yang namanya selalu menghiasi kotak masuk hape kamu dan dia. betul-betul mirip.
tapi, marlina. taukah kamu, aku pun mulai was-was. apakah akhirnya, nasib cintamu akan sama dengannya? aku nggak berani membayangkannya. sungguh.
marlina. tentu kamu ingat (dan kuharap ingat) saat kita duduk di bawah pohon itu. pohon yang di depannya hanya ada hamparan rumput yang bergoyang kecil saat didera angin sepoy-sepoy. nggak semirip tanah lapang milik doraemon. nggak juga seteduh ladang ilalang layaknya setting di film seven pounds.
kita duduk di sana. aku bercerita tentang hidupku. dan kau bercerita soal sisi lain hidupmu. sisi lain yang nggak pernah kamu tampakkan sebelumnya. bercerita tentang beban yang selama ini kamu pendam dalam-dalam dengan canda tawa.
kamu menangis di bawah rindangnya pohon itu. aku hanya terdiam. aku bingung. nggak tau harus gimana. namun, ada satu hal yang pasti, ada semacam janji kecil di benak ini. aku nggak bakal melihat air itu mengalir lagi dari sudut matamu. untuk yang kedua kali. atau yang keselanjutnya.
pun begitu soal cintamu. semoga masa bulan madumu nggak cuma berumur bulanan aja. terlepas dari baik atau tidaknya pria itu untukmu. sebab seperti yang aku bilang, aku juga seorang pria.
marlina. sebenarnya aku enggan mengakhiri surat ini dengan sebuah diktean soal hidup, soal urusan cintamu. maka itu jangan anggap aku sedang mengguruimu. anggap aja ini sebagai sebuah harapan kecil, yang mungkin belum tentu terkabul.
marlina. akan terasa menyesal sekali kalau ternyata lembaran surat ini justru menyakiti hibunganmu dengan pria itu. sungguh, aku nggak pernah bermaksud begitu. dan aku pun tau kamu nggak bakal menanggapi surat ini secara berlebihan. apalagi negatif sifatnya. bukankah kita udah sama-sama dewasa.
marlina, temanku. betapa berat aku mengakhiri surat ini. beratnya setara dengan saat aku menyapamu dengan kata "hi imoet...". sungguh berat.
marlina. terima kasih udah meluangkan sedikit waktumu untuk membaca surat ini. nggak perlu kamu balas surat ini dengan surat yang lainnya. cukup bantu aku dengan mewujudkan janki kecilku itu. dan, seandainya, janji kecilku nggak terwujud. aku pun masih selalu jadi temanmu. tentu begitu kan?
terima kasih marlina. salam hangat untuk hatimu.
.Tanpo Aran.
salam.