Lepas bergaya di komplek Dieng Plateu, setahun silam. Pengin jalan-jalan. |
Kebebasan adalah bagaimana cara kita menciptakan bukan perihal mencari |
[06/11/2011]
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku masih memandangmu langsung
Sementara kau bermain-main dengan handphonemu
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku masih berbicara denganmu
Sementara kau asyik berucap melalui pesan singkat
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku masih melempar senyum padamu
Sementara kau terkekeh dengan ujaran di layar handphone
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku masih duduk di tepimu
Sementara kau berjalan-jalan di kotak masuk pesan
Sudah kali ketiga aku menduduki kursi ini
Aku menghela napas, dan berniat beranjak
Namun, kau justru masih bertanya; kenapa kau suka padaku?
[16/09/2011]
Sudah untuk kesekian kali terbangun di Kota Satria, dalam sepekan ini. Namun, lantaran bangun terlampau pagi, aku memutuskan untuk mencari sarapan. Dan yang aku tuju adalah Bakul Gorengan di sebelah selatan Kampus Orange Unsoed Purwokerto.
Di pertigaan Jalan Kampus, orang-orang sangat sibuk. Kendaraan berlalu-lalang kesana kemari, dengan alsan masing-masing, yang tak terjelaskan oleh asap kendaraan. Aku mencoba menyeruput mocacino panas di gelas kecil, sambil ditemani mendoan anget dan lontong. Ah, suasana yang sangat jarang ternikmati.Tengah menjamah keramaian jalan, pria paruh baya itu bercerita. Sebenarnya, dia sudah bercerita sedari tadi, namun aku mengabaikan sekian banyak ceritanya. Aku sedang mencoba memahami keramaian. Lagipula, ia tidak sedang bercerita kepadaku. Hanya saja, penggalan ceritanya, ada yang menarik perhatian.
"Wong sekolah ganu karo siki pancen bedane pol (Sekolah dahulu dengan sekarang memang sangat berbeda)," kata dia sambil menyeruput kopi panas, sementara jarinya mengapit rokok. Pria bertopi itu sedang membandingkan masa sekolah di Sekolah Rakyat (SR) dan sekolah di masa modern ini.
Seisi warung gorengan itu hanya tersenyum. Kami memang tidak tahu, semasa dulu semacam apa. Dia menjelaskan, dulu, semasa ia masih anak-anak, setiap anak harus berangkat ke sekolah. "Nek ora mangkat ya mas, nganti diparani nang gurune (Kalau tidak berangkat mas, sampai dijemput oleh gurunya)," tuturnya selepas membuang asap rokok.
Adegan semacam itu, menurutnya, sudah barang tentu tidak pernah akan terjadi lagi. "Siki tah muride arep sekolah ya ngonoh, ora ya ngonoh. Guru-gurune wis ora urusan maning (Sekarang muridnya mau sekolah ya silahkan, tidak ya silahkan. Guru-gurunya sudah tidak peduli lagi)," ujar dia.
Huh. Aku menghela nafas. Mencoba meresapi apa yang dikatakan orang tua itu. Kopi instan pagi itu terasa terlalu manis. Si pria tua melanjutkan kerjanya. Kendaraan masih memadati jalanan. Mahasiswa asyik memperindah wajah dan penampilan mereka.
Sementara itu, di bawah matahari yang sama, anak-anak di pinggiran masih sibuk menjadi pembantu rumah tangga atau merangkai rambut menjadi bulu mata atau rambut palsu di plasma. Tanpa bisa menjawab pertanyaan mereka sendiri; inyong kapan bisa sekolah? (Aku kapan bisa sekolah)
[05/10/2011]
Aku masih bisa menatapmu
Mendung menggelayut, sedari tadi
Sementara aku hanya bisa memandanginya
Tak sanggup protes, kendati ingin memudarkannya
Mirip saat aku enggan betul kepura-puraan mereka
Mendung menggelayut, sedari tadi
Di balik jendela aku mencoba mengartikan keberadaannya
Ingin bertanya, namun malah bingung mau bertanya apa
Tak beda dengan ketika merasai keegoisan mereka
Mendung menggelayut, sedari tadi
Aku memilih mengacuhkan, mengalihkan pandangan darinya
Memilih berkaca pada cermin kusam di lemari tua
Sembari bertanya; mendung mana, hidupmu atau langitnya.
[24/08/2011]
Foto diambil saat nonton upacara pengibaran bendera merah putih dalam rangka HUT ke 66 Kemerdekaan RI di Alun-alun Purbalingga, 17 Agustus 2011.
Klik! Pengait di helm putih sudah erat mencengkram. Hari sudah melewati senja, yang tak terlampau spesial, sedari berpuluh-puluh menit yang lalu, saat mengintip langit dari balik kaca hlem yang benar-benar kusam. Entah ada hubungannya atau tidak, muka inipun tak jauh berbeda dengan muka hlem itu. Kusam.
Motor belum beranjak saat Fadli Padi menuturkan satu persatu kata bagian dari lirik lagu lawas, Mahadewi. "...Namun satu bintang yang berpijar, teruntai turun menyapaku...". Belum lama berselang, pesan singkat dari Resti, kembali diterimanya.
"Cintalah.... Jadi kita sama-sama saling mencintai, haaaaa," kata Resti lewat pesan singkat yang diterima di handphone miliknya. Seketika, suram dan lelah yang setiap sore setia mengendap tepat di antara alisnya, sirna. Tanpa disadarinya, senyum itu mengembang.
"Ada tutur kata terucap, ada damai yang kurasakan. Bila sinarnya sentuh wajahku, Kepedihanku-pun... terhapuskan," sayup-sayup potongan lagu itu, kembali terdengar.
Sambil terus merenges, dan menahan rasa penasaran yang semakin menguat, dia membalas pesan singkat Resti itu, secepat yang dia bisa. Dia bertanya, sejak kapan ada rasa seperti itu, bohong ah. "Sejak SMA...." balas satu-satunya perempuan yang memesonanya sedari bangku SMP.
***
"Nggak kenapa-kenapa.... Emm.. mau ngasih kabar juga, pernikahanku diundur jadi bulan aji, tanggal 2 November". Pesan dari Resti itu kembali diterimanya. Dia juga kembali tersenyum, kecut.
[30/06/2011]
Foto diambil pas "menengok" lebih dalam melihat kehidupan kaum buruh rambut dan bulu mata palsu di Purbalingga, Rabu 22 Juni 2011.
Siang ini, hampir sama dengan siang kemarin. Panas. Aku meyakini itu, pun kamu merasai itu. Tapi sudahlah, mungkin ini yang digariskan atas manusia-manusia yang hidup di Kota Perwira, macam aku dan kamu.
"Oya, pernah dengar lagu Armada Band yang judulnya Pemilik Hati?" tanyaku lewat pesan singkat yang kukirim, siang ini. Kau ternyata sudah tahu soal lagu itu. "ya, malah punya nih di hape. Kenapa?" tanyamu membalas pesan singkatku.
"Aku kirim lagu itu buat kamu... (kayak kirim lagu di radio, hehehe)," kataku.
"Menggambarkan isi hatimu yah?" tanyamu, lagi.
"Menurutmu?" tanyaku basa-basi. Seperti biasa, kau akan dongkol saat kau bertanya dan aku jawab dengan pertanyaan balik. Aku hanya bilang, "apa kau membutuhkan jawabanku? Apa itu ada artinya?"
Kau pun lantas menjawab dengan singkat. "Ajeeeeegggggg..."
[08/06/2011]
Foto diambil pas Iwan Fals dan Ki Ageng Ganjur lagi "mengaji" di Alun-alun Purbalingga dalam bingkai acara Extraligi Drarum Coklat, Kamis (2/6).
[03/06/2011]
SEORANG teman bilang, dia sudah lama tak naik bianglala. Tapi, saat mau naik, dia berpikir berulang kali. Pasalnya, dia merasa permainan itu hanya untuk anak-anak saja, sementara orang dewasa, hanya cukup jadi penonton.
KETIKA liburan datang, pasar malam bisa jadi tempat paling tepat untuk melepas penat. Banyak permainan yang sungguh bisa menjadikan senyum-senyum bertebaran.
Foto diambil pas lagi ada pasar malam di komplek GOR Goentoer Darjono Purbalingga, Rabu 1 Juni 2011 lalu
[02/06/2011]
[dua]
Kau tahu, aku selalu heran dengan jalinan "benang" yang ada di antara aku dan kau. Aku sama sekali tak mampu mengejawantahkan jalinan benang yang ada di antara aku dan kau. Apakah itu ternyata kusut atau malah sebenarnya sangat indah. Aku tak tahu.
Kau tahu, terkadang aku mengira aku dan kau itu layaknya aktor dan aktris. Memainkan sebuah episode tentang kisah dua hati. Memang, tak sendah cerita dramatis Romeo dan Juliet di negeri antah berantah itu. Tapi aku terkadang merasa, kita tengah bermain dalam satu babak sinema elektronik atau mungkin film pendek.
Kau duduk di sampingku. Itu memang bukan hal yang aneh. Ya, kau memang sudah beberapa bulan ada di sampingku. Menghabiskan separuh harimu ada di dekatku. Mungkin, bisa dibilang, hanya saat jam istirahat kau tidak di sampingku.
Kau tahu, itu adalah momen gila yang paling tak terduga dalam hidupku. Kau duduk di sampingku sebagai teman satu bangku. Padahal, sebelumnya, aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan.
Tapi kau duduk di sampingku? Aku pikir itu permainan Tuhan yang paling gila. Aku kira, aku dan kau dalam satu kelas saja sudah jadi hal yang di luar bayanganku. Tapi, kau di sampingku" Ya, ini gila. Betul-betul gila.
***
"I've been waiting for a long time/for this moment to come//.... I'm so much closer than/I have ever known...//" Greenday mengembalikan nalarku. Kubangan di hadapanku.
[04/05/2011]
Dan, malam itu, Parni tak banyak bersuara
Bersama kekasih pujaannya, dia mengendap-endap
Menghiraukan perih dan ngilu yang ada
Ya malam itu, di kebun Wachidin
Dan, malam itu, Parni tak banyak bersuara
Membiarkan air mata lerus meleleh di pipinya
Sang kekasih, pun menghiraukan isak Parni
Ya, malam itu, di kebun Wachidin
Dan, malam itu, Parni tak banyak bersuara
Amin, kekasih pujaannya, juga begitu
Yang pasti, perut Parni sudah kempis
Tak seperti saat bertemu Amin, sore sebelumnya.
[28/04/2011]
Bangkit
Aku, bukan kamu
Bangkit
Tinggi, bukan rendah
Bangkit
Kurus, bukan gemuk
Bangkit
Tak peka, bukan tak mengerti
[21/4/2011]
BUATAN TANGAN : Purbalingga dikenal sebagai sentra knalpot di Indonesia. Produk lokal buatan tangan orang Purbalingga itu, udah dikirim sampai keluar Jawa.
PASANG KNALPOT : Beberapa pekerja bengkel knalpot lagi masang knalpot di bengkelnya di wilayah Dusun Pesayangan, Kelurahan Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga. Tiap hari, rata-rata bengkel knalpot melayani 3-5 pemasangan knalpot.
[19/04/2011]
Sekonyong-konyong aku jadi teringat tentang cerita sosok-sosok manusia, pada zamannya masing-masing, yang berkehendak jadi Tuhan. Baik dengan menjadi juru ramal yang mampu memprediksi apa yang bakal terjadi kedepan, atau dengan cara yang jauh lebh gampang; mengaku-aku dirinya itu Tuhan. Cara berbeda yang berbuah pada resiko yang berbeda pula.
Tapi yang terpikir olehku, bukanlah sebuah rasa iri ingin melakukan apa yang mereka lakukan. Bukan itu.
Aku malah berpikir, apa enaknya jadi Tuhan. Menjadi sosok yang tahu segala-gala. Dari yang sangat tersembunyi, pun dengan yang sampai "ada dipelupuk mata".
Selalu ditanya ini, ditanya itu. Sudah dijawab salah, tak dijawabpun tetap dicaci. Hampir seperti melihat manusia yang mencaci hujan, pun juga panasnya kemarau. Lalu apa enaknya jadi Tuhan.
Hampir serupa dengan saat kita bermain games, tapi kita tahu awal dan akhir ceritanya. Belum tahu permainnannya tapi sudah tahu nasib si lakon. Lalu apa enaknya jadi Tuhan.
[18/04/2011]
Jumat yang lambat. Begitu aku menyebut hari ini. Kendati semua orang, pun aku, selalu mengganggap hari ini hari yang singkat, aku tetap ingin menyebutnya demikian. Paling tidak, sekedar untuk hari ini.
Kendaraanku pun melaju dengan lambat. Kecepatannya, sama sekali tak menyentuh angka 40 Km/jam. Aku membiarkan semua kendaraan mendahuluiku. Yang mampu aku salip, hanya sepeda yang berjalan dengan tenaga manusia, bukan mesin. Sungguh, bukan seperti aku yang biasanya.
Aku memang tengah menunggumu. Sembari menikmati lantunan pelan lagi dari pemutar lagi di handphone, aku berharap kau tiba-tiba muncul. Melempar pandangan. Melempar senyum "Gasik bangete pangkate (pagi sekali berangkatnya)," katamu mencandaiku.
Ini, yang aku lakukan, tak ubahnya yang aku lakukan dulu, semasa berseragam putih-abu-abu. Mengira-ira jam berangkatmu ke sekolah, lantan menghitung-hitung kecepatan langkahku.
Saat perhitungan tepat, kita akan bertemu. Di saat itu pula, kita, terutama kamu, akan mengganggapnya sebagai "kebetulan". Tak perduli itu benar-benar sungguhan "kebetulan" atau tidak, aku tak peduli. Toh, kesempatan itu bukan hanya sesuatu yang kebetulan semata, namun bisa juga diciptakan. Itu yang aku yakini.
Ah, yang pasti, aku berjalan denganmu. Kamu di sampingku. Hal semacam itu pula yang tengah aku damba.
"Don’t make me change my mind/Or I wont live to see another day/I swear it’s true/Because a girl like you is impossible to find/It’s impossible//" begitu Secondhand Serenade bergumam lirih.
Satu meter, sepuluh meter, ratusan meter. Semua sudah terlalui. Entah apa saja yang sudah terabaikan oleh pandanganku. Sepanjang jalan, hanya memandangi kaca spion. Ya hanya mengintip-intip sembari berharap.
"...And I will try to fix you...." tutur Coldplay.
[01/04/2011]
Entah berapa jam aku menatap layar komputer ini. Pagi aku menatapnya. Beranjak siang, aku masih memandanginya. Dan, kini, aku masih betah memandanginya. Yang sedikit memuakan, sebenarnya, aku hanya melihat dan membuka hal-hal yang itu saja. Monoton.
Entah berapa hari aku duduk di kursi besi ini. Di kursi berbusa berbalut karpet merah ini, memandang hal yang sama, menyentuh hal yang serupa dan berlaku yang tak berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Di kursi yang tak lagi empuk ini, aku pun mendengar hal yang sama, berulang-ulang. Monoton.
Entah berapa bulan aku berjibaku di kota ini. Bertarung di dunia yang tidak disangka-sangka. Dunia yang penuh dengan intrik, cuap-cuap dan bunga busuk berbusa. Semua berkata serupa; memuji diri sendiri. Semua bertindak sama; tak mau kalah. Semua bersikap sama; tak mau disalahkan. Monoton.
Entah berapa tahun aku bernapas di bumi ini. Berebut udara dengan sesama manusia. Bersikutan dengan srigala berbulu domba. Bertindak ini, berlaku itu. Namun semuanya serupa. Berulang-ulang. Monoton.
[31/3/2011]
Menyusuri ratusan meter teroroar di kotaku
Senin pagi yang cerah
Hari ini, aku berjalan
Di tengah jalan beraspal, puluhan motor berlalu lalang
Melaju cepat, entah hendak kemana
Hari ini, aku berjalan
Angkutan orange penuh berjejal
Perempuan beraneka seragam, ada di sana
Hari ini, aku berjalan
Pak polisi dan Pak satpam terus mengatur laju
Tapi, semua masih saja semrawut
Hari ini, aku berjalan
Orang-orang mengeluh ini itu
Sesuai selera mereka
Hari ini, aku berjalan
Menyusuri ratusan meter teroroar di kotaku
Peluh membasahi, tak terelakan
[21/03/2011]
Semakin ku menyayangimu semakin kau menyakiti ku
Semakin ku mencintaimu semakin kau menghancurkan ku
....
walau kau tak pernah membalas cintaku padamu.
walau apapun kau kan kusayangi
setulus hatiku, seumur hidupku kumencintaimu.
....
Rangkaian kata-kata itu bukanlah ciptaanku. Itu sudah tentu. Aku jelas tidak akan mampu membuat kata-kata semacam itu. Kata-kata itu bagian dari lirik lagu "sampai kapanpun" yang dinyanyikan Ungu Band.
Aku tak sedang merasa apa yang Ungu lantunkan. Namun, memang, beberapa hari ini, melalui suara Pasha, lirik itu mampir ke telingaku. Pikiranku justru berlarian kesana dan kemari. Otak ini kembali memainkan imajinasi-imajinasi kecil. Aku mencoba merasai apa yang ada di lagu itu.
Aku mencoba menjadi sosok yang mencintai seseorang sampai kapanpun. Meski diacuhkan, meski tidak dianggap. Aku merasa, rasanya hebat benar, jika aku menjadi semacam itu.
Sebab, aku selalu berpikir, bukankah mencintai itu suatu hal yang sangat pamrih. Bukankah, orang selalu berujar, mencintai untuk dicintai. Yah, meski apapun itu bentuk pamrih yang coba diraih. Ah!
[20/03/2011]
Pesan singkat itu terkirim sekitar Pukul satu dini hari, tadi. Tiba-tiba saja, aku mengirimkan pesan singkat itu padamu. Hanya sesuatu yang aku lakukan dengan sekonyong-konyong. Maka itu, aku senang, kamu tak bertanya ini itu. Terlebih, tanya soal alasan aku berkirim pesan itu. Jujur saja.
Aku jelas tak romantis, dari kata-kata itu, kamu bisa melihatnya. Itu sudah barang tentu bukan. Namun, yang terang, apa yang kamu lakukan, jadi semacam inspirasi bagi terangkainya kata-kata sederhana.
Kamu pasti akan selalu ingat dengan "perjanjian" yang kita bikin. Perjanjian kamu tidak bakal mengeluh lagi atas semua yang kamu lalui. Alasanmu, terlalu banyak mengeluh, hanya akan menjadikan dirimu tampak tak dewasa.
Sebenarnya, aku tidak terlalu yakin dengan hal semacam itu, hal yang kamu yakini itu. Aku masih ragu atas keterkaitan antara keluhan dan kedewasaan itu. Tapi, yah, aku akan mengabaikan itu semua. Sebab, yang terlebih penting itu ya senyummu.
Ya, sudahlah. Toh semua masih baik-baik saja. Yang terpenting, senyummu masih selalu menghiasi pagi. Bukankah hal yang semacam itu, jauh lebih baik.
"Hari ini berbeda dengan hari kemarin. Itu sudah barang tentu. Bukan lantaran nama harinya yang berlainan, satu sama lain. Tapi lebih pada asa yang tersemat di pagi ini dan pagi kemarin."
[18/03/2011]
Ada cemburu
Ada rindu
Meski tak pernah ada kata
"aku suka padamu"
Ada cemburu
Ada rindu
Saat kau bersamanya
Saat kau jauh
Ada cemburu
Ada rindu
Meski tidak ada yang
bicara tentang cinta
[07/03/2011]
Ah, sudah lama banget nggak nulis di blog. Pengin banget nulis, tapi sayangnya harus ngurus yang lain. Jadi bikin tulisan yang singkat aja dulu deh.
Ini hari kedua, aku naik angkutan kota alias angkot
Setelah sekian lama hanya bersikap egois dengan motorku
Melaju dengan cepat dan mengklason jika yang lain menghalangi.
Bahkan, memaki.
Ini hari kedua, aku naik angkot
Warnanya orange dan melaju dari Bobotsarii ke Purbalingga
Dengan jarak sejauh itu, ternyata kendaraan itu sepi.
Berjejal jika jam sekolah dan jam berangkat kerja ke pabrik.
Ini hari kedua, aku naik angkot.
Di sana, aku mendengar banyak cerita.
Mulai dari sepinya pasar segamas, murahnya leasing hingga serangan wereng.
Penggalan kisah yang mungkin hnya terdengar sayup-sayup bagi para petinggi.
Ini hari kedua, aku naik angkot.
Memandang semua dengan mata terbuka.
Menikmati kota perwira dari sisi terendahnya.
Mencibir kemegahan semua yang jadi kebanggaan.
[02/02/2011]
Tapi, jelas, nggak mungkin di Purbalingga, ada disediakan tempat berhubungan intim secara outdoor di alam bebas. Sebuah tempat yang menawarkan tempat yang alamiah dan udara yang segar. Sekali lagi, nggak ada tempat seperti itu yang disediakan secara sengaja.
Nama ML Adventure Zone itu, sejatinya merujuk pada nama Munjuluhur Adventure Zone. Tempat yang biasa dijadikan buat outbond orang di Purbalingga. Tempatnya di Kecamatan Bojongsari.
Or I won't live to see another day....
Tapi, aku selalu merasa, kata-kata itu selalu memiliki kekuatan. Kekuatan untuk memaksa. Ya memaksa, kalau tidak mau dianggal mengancam. Memaksa orang lain agar mau bertindak sesuai dengan pikiran kita.
[30/01/2011]
Aku nyanyi sampe teriak-teriak. Yah mirip kayak orang lagi nyanyi di ruang karokean deh. Sampe urat-urat di lehar itu kenceng semua. Suara aja kadang sampe serak sendiri.
Cuma jelas, aku bukan anak band yang penampilannya "gaul " abis. Aku juga bukan lagi dalam rangka persiapan ikutan seleksi talent show khas teve Indonesia. Dan, aku juga bukan penyanyi dadakan yang bisanya beraksi di kamar mandi, tentu.
Aku nyanyi-nyanyi layaknya rocker itu di atas sepeda motor. Sambil duduk santai mengendarai motor, aku nyanyi. Suara dikeluarkan dengan terpaan angin malam yang kencang mendera.
Belum tahu kenapa aku kayak gitu. Hm, meski ditanyain sama orang lain, juga belum tentu tahu kan. Wah. Wah. Wah.
Semoga apa yang diharapkan ada jejaknya. Nggak cuma ngawang-ngawang ajah.
hehehee.
29/01/2011
Desa yang biasanya tenang itu bergejolak lantaran sebuah rekaman dari handphone dengan tipe SGH J750 milik seorang warga. Rekaman yang kemudian hari di-burning dalam compact dick alias cd itu berisi percakapan tiga orang warga. Si pemilik hape, warga dan salah seorang warga yang berhasil lulus dalam seleksi perangkat desa.
Intinya, percakapan Sabtu 16 Oktober 2010 itu berisi tentang pembenaran bahwa si perangkat desa yang baru itu memberikan sejumlah uang pada salah satu perangkat desa. Si perangkat desa yang baru, dijanjikan lulus, jika menyetor puluhan juta rupiah.
Ternyata ada empat warga yang tak lulus seleksi perangkat desa yang turut mengaku menyetor uang pada dua oknum perangkat desa itu. Dalam rentang dua tahun terakhir, duit disetor secara bertahap. Dan besaran yang berbeda satu sama lain.
"Meski sudah dikembalikan sesaat sebelum pengumuman, saya tetap merasa tertipu. Saya tetap mempertanyakan kenapa hal tersebut terjadi," tandas pria berkumis yang gagal dalam pemilihan.
Warga pun geger. Warga dua dusun pun lantas menggeruduk desa.
Protes warga sengaja dibarengkan dengan kunjungan kerja (kunker) Komisi A DPRD Purbalingga. Warga sudah berkumpul di aula desa sejak Pukul 09.00 WIB, pasalnya jadwal kunker memang segitu. Namun acara baru dimulai Pukul 11.30 WIB.
"Lah nek kaya kiye tah mulaine maghrib. Malah pada bubar kabeh," cetus seorang warga.
"Nunggu rapat komisi dulu," kata seorang perangkat pada warga yang mulai gelisah.
***
Lagi asyik berbincang dengan warga, kemudian datang seorang perempuan berkerudung. Dia berbicara dengan seorang warga yang duduk di sebelah, dengan agak berbisik.
"Mengko rika aja anarkhis yah. Aja melu nek ribut-ribut. Mbok mengko dicekel polisi, malah repot. Padahal rika ora ngerti apa-apa," tukas perempuan yang ternyata perangkat desa baru itu.
Pria bertopi yang diduduk di sebelah itu pun hanya cengengesan. "Lah mung kepengin ngerti kiye arep pada demo apa thok koh. Malah kaya arep ngapa," tutur dia.
***
Para wakil rakyat datang. Warga kembali bergelora. Selepas acara seremonial, warga memulai aksinya; persidangan!
"Kami minta dua oknum perangkat dihadirkan ke depan forum," tandas di koordinator lapangan (korlap). Si perangkat desa baru yang suaranya terekam pun turut disidang.
Setelah menjelaskan duduk permasalahan pada tamu yang hadir. Tiga orang itu dipersilahkan menjawab tuduhan. Namun ketiganya ternyata kompak dalam memberikan jawaban; semua itu tidak benar!
Ratusan warga yang hadir tak menyangka tiga orang tersebut mengelak. Padahal bukti rekaman itu sudah disodorkan. Warga Senon mengajukan tuntutan: lakukan sumpah pocong.
"Kami semua cuma ingin pangakuan dan kemana uang warga itu sebenarnya," ucap di korlap aksi.
Meski warga mendukung. Mulai dari Ketua Komisi A hingga Kades menolak hal tersebut. Satu persatu undangan yang hadir "lepas tangan". Anggota Komisi A memilih pulang. Sementara camat dan jajaran muspika yang lain, silih berganti meyakinkan warga.
"Hukum positif. Bukan hukum semacam ini. Sumpah pocong tidak menyelesaikan masalah," tandas mereka, bergantian.
Nampaknya, warga meragu dengan mekanisme hukum administratif dan hukum pidana yang ada. Warga melihat prosesnya bakal panjang. Tak ada jaminan penyelesaian masalah itu. "Kami ingin masalah ini diselesaikan hari ini juga," kata si korlap yang pernah tinggal di Jepang.
Jajaran muspika kecamatan pun makin gencar meyakinkan warga. Tarik ulur pendapat pun tak terelakan.
Namun, pada akhirnya si korlap pun setuju melalui jalur hukum pidana dan hukum administratif. "Asalkan ada jaminan dan perangkat desa ini diberi hukuman skorsing," tukas si korlap yang disambut teriakan warga.
[20/01/2010]
Tulisan soal gambaran demonstrasi yang berhasil aku temui di Purbalingga itu berhasil menyedot perhatian orang banyak. Terutama orang-orang yang berada di Purbalingga. Makanya, nggak heran kalau sekarang, tulisan itu yang punya rating nomer wahid di blogku ini.
Ada semacam kepuasan, ternyata. Saat setiap orang memperhatikan hasil karyaku itu. Terlebih jauhnya title "kesempurnaan" pada tulisan itu. Sampai-sampai aku selalu tersenyum sendiri, kalau liat di statistik, banyak orang melihat tulisan itu.
Tapi, semakin ke sini, aku makin menyadari, kalau mereka semua itu sama sekali nggak ngasih komentar. Jujur, aku heran dengan hal ini.
Aku menilai, ada dua kemungkinan yang bisa saja jadai jawaban atas keherananku itu. Pertama, orang-orang yang baca itu, emang nggak paham cara ngasih komentar di blog. Mungkin gara-gara nggak punya blog jadi nggak suka komentar secara langsung. Positif thinking.
Kedua, aku berpikir, kalau orang-orang itu, nggak siap untuk berbincang dalam bentuk bahasa tulisan. Nggak mau berdiskusi. Tulisan dibals dengan tulisan.
Yah, hampir serupa sama psywar pemain bola yang mau berlaga di laga derby. Kalimat dibalas kalimat. Bukan kalimat ataupun tulisan dibalas dengan pasal pencemaran nama baik. Aw.
Aku rasa ada yang salah. Entah mana yang salah. Entah siapa yang salah. Entah apa yang salah. Aku rasa ada yang salah.
[20/01/2011]
Rasanya, kata-kata itulah yang jadi satu-satunya pelajaran yang paling nikmat buatku minggu ini. Mungkin, malah bisa dikatakan, kenikmatannya, melahap es krim di tengah hari dengan panas menyengat.
Ada semacam kekonyolan dalam pengalaman yang aku lalui Jumat (7/1) lalu itu. Kekonyolan yang terpaksa lahir, cuma lantaran aku enggan bertanya. Lebih tepatnya sih, gengsi nanya. Mungkin itulah kenapa pengalaman yang nggak pernah dinyana itu, begitu nikmat. Kalau nggak mau disebut; menampar!
***
Siang itu, aku berniat ngambil foto jembatan yang pondasinya ambles. Jadi nggak bisa dilewatin kendaraan. Kecuali sepeda motor, itu pun giliran lewatnya. Jembatan Kali Putat itu ada di Desa Kalijaran, Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga.
Mulanya, aku dibikin kebingungan nyari jembatan yang ambrol Kamis (6/1) siang sekitar Pukul 14.30 WIB itu. Butuh waktu sekitar 30 menit buat nemui jembatan yang melintang di Kali Putat tersebut.
Hampir putus asa, aku ambil keputusan serampangan. Mengambil jalan belok kekiri. Ajaib. Jembatan itu ketemu! Wah, bener-bener lega tuh rasanya.
Jeprat-jepret. Ambil beberapa gambar. Tanya orang yang kebetulan di sana. Waktu itu, lagi banyak warga yang lagi mancing ikan lele di sungai, jadi ya rame.
Semua berjalan dengan lancar. Sangat mudah. Namun, petaka dimulai setelah semuanya dianggap beres.
***
Waktu sudah mapir menunjuk Pukul 10.00 WIB. Sudah terlampau siang, sedangkan aku berkehendak berangkat ke Purbalingga. Aku putuskan mengambil jalan yang berbeda dengan jalur berangkat. Biar lebih dekat, pikirku.
Keputusan mengambil jalur yang beda memang lebih didasari rasa ingin tahuku. Aku pingin tahu, jalan itu akan tembus ke wilayah Kabupaten Purbalingga sebelah mana. Saat itu, semangat petualanganku betul-betul memenuhi otakku.
Motor dipacu. Pertigaan dekat jembatan, aku lewati begitu saja. Terus melaju di tengah jalan aspal di Desa Kaliori, Karanganyar. Semakin jauh, jalan aspal halus semakin sirna. Digantikan dengan jalan yang sempit. Dan tak ada aspal, hanya jalan berbatu. Kayak kali sat.
Saat itu aku tak merasa aneh. "Mungkin inilah sisi lain Purbalingga. Ketimpangan antara pembangunan di kota dan di desa. Pusat kota jadi mercusuar yang tak akrab dengan desa," itu yang ada dibenakku.
Maka itu, motor terus menerabas jalan batu itu. Tak perduli, jalan itu sungguh tak nyaman untuk dilalui. Sangat tak nyaman. Sungguh.
Terus melaju, namun kok seperti tak ada ujung. Aku pun makin nggak tau, di mana aku ini sebenarnya. Di desa yang samakah. Atau sudah berganti desa dan kecamatan. Belum lama naruh curiga, aku menemukan diriku menemukan jalan buntu.
Jalan yang aku lalui berujung pada sungai tanpa jembatan. Dengan kata lain, aku nyasar!
Motor langsung kubalik arah. Sambil clingukan, jalan berbatu itu aku lewati lagi. "Aku harap nggak ada yang liat," kataku dalam hati, sambil senyum malu sendiri.
Namun, sial memang sial. Bukannya jalan pulang ditemukan, aku malah menemukan jalan buntu lagi. Kali ini bukan sungai yang "menghalangi" jalanku, melainkan hamparan luas berwarna hijau yang lazim dikenal sebagai sawah.
Motor terpaksa berbalik arah, lagi. Mau tidak mau kan.
Sebenarnya, aku bisa saja tanya sama orang yang ada di sepanjang jalan. Sebenarnya, ada beberapa warga yang sempet aku temui di jalan. Tapi rasanya enggan betul. Gengsi betul.
Saat itu, aku mikirnya, kalau aku tanya sama orang, aku malu karena dianggap nggak kenal daerahku sendiri. Ah, kenapa juga aku bisa ngerasa kayak gitu.
Tapi, aku akhirnya, tanya sama anak kecil. Yang mungkin kadar malunya, akan lebih kecil dibanding nanya sama orang dewasa kan. Aku diberi petunjuk sama anak kecil itu, motor dipacu lagi. Aku kembali ke pusat Desa Kaliori. Motor juga aku kebut ke arah jembatan Kali Putat.
Aku berbalik dengan kecepatan semaksimal mungkin. Berkejaran dengan waktu yang sudah mendekati tengah hari. Bayangkan, ternyata aku tersesat selama hampir satu jam. Gila.
Aku mengambil jalan ke kiri saat melalui pertigaan yang dekat jembatan. Pertigaan yang sudah dari awal aku lewati. Dan, ternyata, aku bisa sampai di Desa Banjaran, Kecamatan Bojongsari. Desa yang jadi tujuanku sedari mula.
***
Ah, inilah akibatnya terlalu gengsi. Cuma gara-gara nggak mau nanya, semua jadi ribet. Jadi nyasar nggak jelas.
Huh. Bukan bermaksud menggurui, tapi kayaknya harus benar-benar jangan malu bertanya. Bertanyalah sebelum ditanyai; Nyasar yah?
[08/01/11]
Lagi demo di depan Disdik
Hari ini, kali pertama aku melihat secara langsung demonstrasi di Purbalingga. Sungguh pemandang yang asing di kota perwira.
Senin (3/1) kemarin, aku sebenarnya sudah mendengar kabar demonstrasi itu. Aku mendapat kabar itu dari surat yang ditujukan ke Polres yang ditembuskan ke beberapa pihak. Terutama yang jadi tujuan tempat aksi.
LSM ***** Purbalingga yang menjadi motor gerakan itu. Fokus persoalannya mengenai pelaksanaan Dana Alokasi Khusus alias DAK Pendidikan TA 2008 hingga 2010.
Mereka mendatangi Dinas Pendidikan (Disdik), Kantor Kejaksaan Negeri dan DPRD Purbalingga. Ada Sekitar dua truk dan satu pikap. Alamak banyaknya. "Ada sekitar 250an orang," tutur si koordinator aksi.
Mereka kebanyakan masih berusia muda. Mereka turun dari truk dengan menenteng tulisan-tulisan. Kedatangan mereka pun disambut Satpol PP dan petugas kepolisian Polres Purbalingga.
Wah, ketegangan macam apa yang bakal tercipta. Dorong-mendorong kah. Teriakan tuntutan yang terus bertalu-talu kah. Atau malah membongkar paksa gerbang.
Ah, sungguh banyak bayangan adegan yang tercipta. Sungguh harus aku akui, aku senang. Senang melihat orang-orang berjubel menuntut lewat jalur demonstrasi.
Namun, rekaan adegan heroik di otakku, sirna sudah. Aksi gagah, yang aku anggap sakral, malah berubah bak lawakan wagu. Tak ada indah-indahnya sekalipun.
***
Di Aula Disdik, perwakilan LSM itu ditemui petinggi Disdik. Si pendemo pun mengajukan beberapa tuntutan.
"Kenapa saat pengadaan tidak menyesuaikan dengan juklis yang ada?" tanyanya.
Si ketua panitia, menjawab dengan tenang. Tanpa mikrofon, namun, pasti terdengar jelas. Sementara sambil mendengar pada hadirin yang datang disandingkan snack ringan.
"Semua yang anda tanyakan sudah saya jelaskan pada Polres. Saya sudah dipanggil dua kali mengenai persoalan itu untuk klarifikasi," jelas pria yang siang itu berkacamata.
Menurut dia, penyidik Polres justru mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam, luas dan detail. "Maka itu, akan lebih baik, jika anda melihat di BAP yang ada di Polres," tutur pria yang rambutnya memutih.
Tak dinyana, para pendemo itu mengangguk. Mengiyakan jawaban dari ketua pengadaan DAK 2010.
Aksi pun dilanjut ke Kantor Kejaksaan Negeri. Itupun tak sampai lima menit. Mereka melaju ke kantor dewan.
"Lah penonton kecewa. Purbalingga memang sudah terkondisikan," celetuk salah satu wartawan sambil tersenyum.
***
Sementara warga yang pakai truk menikmati terik matahari, sejumlah perwakilan demonstran masuk ke ruang Ketua DPRD. Dinginnya AC, kursi nan empuk dan snank pun menyambut kedatangan mereka.
Di ruangan yang berjubel,- berjubel lantaran polisi dan wartawan ikut masuk, LSM itu meminta DPRD turut mengawal kasus tersebut.
"Purbalingga amburadul. Tolong kami. Kami sudah jenuh," tegas perwakilan LSM yang berbaju gelap dengan nada meninggi.
Suaranya saat itu sengau. Seperti hendak menanggis. Saat itu, aku berpikir, seperti itukah air mata buaya?
Dan, seperti biasa, anggota dewan pun berjanji akan menindak lanjuti. Pertemuan itu hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit. Semua, bubar jalan.
***
Nah, kalo ini lagi di ruangan Ketua DPRD
Penonoton kecewa. Mana ada demontrasi semacam itu. Apa itu yang namanya demonstrasi khas Purbalingga?
"Demonstrasi cuma buat mengejar poryek saja. Biasa lah kayak gitu," ucap seorang wartawan. Alamak.
"Kalau seperti ini, yang senang yang polisi dan wartawan," ujar wartawan yang lain.
***
Siang beranjak sore. Aku masih di depan layar monitor. Mengetik sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaan. Tiba-tiba handphone berdering.
"Mas bangkit? Sedang dimana?" tanya pria dari Disdik yang tidak lain si ketua pengadaan DAK 2010.
"Iya pak. Lagi di kantor, Gimana?" jawabku.
"Tadi katanya yang demonstrasi ribut di kantor LSM. Karena bayaran ikut demo belum dibagi," ucapnya. Sinyal hape pun error. Pembicaraan terputus. Tut tut tut.
Aku cuma terbengong. Wadaw.
[04/01/11]
Betapa syahdunya senandung sexophone
Hingga mampu tergambar dengan jelas
Segala suasana yang menghimpitku
Perih senang ada di sana
Betapa syahdunya senandung sexophone
Tak ada suara, selain rangkaian nada
Begitu murni dan tulus terasa
Hanya nada yang memainkan ritme
Betapa syahdunya senandung sexophone
Rintikan hujan pun turut temani
Semua bersatu padu, saling menjalin
Suasana nyaman, nada menyenangkan
Betapa syahdunya senandung sexophone
Terlebih disertai rintikan hujan
Terlebih tanpa sosok manusia
Yang ada hanya nada, nada dan nada
[02/01/11]
Belajar bikin blog emang nggak ada matinya yah. Dulu pusing ngolah settingan blog. Nah sekarang, malah pusing mainan smiley.
Tapi, sekarang udah mendingan tahu soal smiley.
Lain waktu belajar yang lain lagi ah.